“Kitab Nikah” Kiai Kholil Bangkalan

3,512 kali dibaca

“Menikah itu termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan sunahku, maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian atas umat-umat yang lainnya. Siapa yang mempunyai kekayaan, maka menikahlah, dan siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena sungguh puasa itu tameng baginya”. (HR. Ibnu Majah)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa pernikahan termasuk salah satu dari sederet ajaran Islam yang sangat dianjurkan bagi kaum muslimin. Karena itu, Nabi Muhammad mengamalkan dalam laku hidupnya.

Advertisements

Selain menjadi ajaran Islam, pernikahan juga merupakan salah satu jalan untuk menghalalkan (memperbolehkan) seorang laki-laki dan perempuan hidup dalam satu rumah, agar tidak terjadi perzinaan antara keduanya. Walau begitu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, terutama bagi seseorang yang hendak melangsungkan akad pernikahan.

Begitu urgennya soal nikah, tidak mengherankan, apabila para ulama menelurkan karya-karyanya di bidang fikih, terutama fikih munakahat, tak terkecuali ulama Nusantara. Salah satunya adalah Syaikhona Kholil Bangkalan, salah seorang ulama kesohor asal Bangkalan, Madura, yang juga merupakan sang maha guru para ulama-ulama Jawa.

Di antara muridnya adalah KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), KH Muhammad Hasan Sepuh (pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo Jawa Timur), KHR As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iah Sukorejo, Situbondo), KH Zaini Mun’im (pendiri Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo Jawa Timur), dan lain-lain.

Selain namanya masyhur, Kiai Kholil Bangkalan juga termasuk ulama produktif dalam menghasilkan karya kitab. Sekitar 20 karangan lebih yang sudah terlahir dari jari-jemari beliau. Salah satunya adalah As Silah Fi Bayani al-Nikah, kitab matan fikih yang memfokuskan kajiannya pada persoalan seputar pernikahan.

Dalam kitab As Silah Fi Bayani al-Nikah, Kiai Kholil Bangkalan mengulas secara lugas ihwal pembahasan pernikahan. Sayangnya, kitab ini tidak memuat keterangan tahun kapan ditulis. Yang pasti, kitab ini dijilid bersamaan dengan karya KH Ahmad Qusyairi Siddiq Lasem, Tanwirul Hija Nadhom Safina al-Najah.

Kitab As Silah Fi Bayani al-Nikah ini terdiri dari 95 halaman dengan terbagi menjadi beberapa sub pembahasan. Pertama, Kiai Kholil mengulas tentang hukum menikah. Menurutnya, hukum menikah bisa beragam. Adakalanya wajib, haram, sunah, dan makruh. Menikah menjadi wajib, jika keinginan (syahwatnya) seseorang sudah tidak bisa dikontrol dan apabila dibiarkan (tidak melangsungkan pernikahan), maka khawatir akan terjerumus dalam perzinaan.

Menyitir pendapat sebagian ulama, Kiai Kholil menyatakan:
اِذَا قام الذَّكرُ عَمِيَ الْبَصَرُ وزال الخَذَرُ
Artinya: “Apabila alat kelamin (syahwat) sudah memuncak maka mata akan buta dan kewaspadaan akan sirna”. (hal. 67)

Kemudian, menikah akan menjadi haram jika dilakukan oleh seseorang pada saat mempelai wanitanya sedang menjalani masa iddah, dilakukan saat sedang ihram, dan menikahi mahramnya sendiri. Sementara menikah menjadi sunah, apabila seseorang memiliki keinginan untuk menikah dan ia menyadari, bahwa jika tidak menikah akan tetap mampu menahan diri untuk tidak berbuat zina kendati hatinya tidak tenang. Dan terakhir, menikah dihukumi makruh jika menikahi seorang wanita yang bodoh, buruk akhlaknya, dan seseorang yang pernah bercerai.

Kedua, menjelaskan tentang tujuan sebuah pernikahan. Menurut Kiai Kholil, selain menunaikan ajaran Islam, pernikahan juga memiliki tujuan yang sangat mulia. Di antaranya; memperoleh kebahagiaan dengan wanita yang cantik (pasangan yang baik), mengontrol pandangan mata dari hal-hal yang tidak diperbolehkan, dan melahirkan seorang anak saleh yang dapat mendoakan kedua orang tuanya. Sebagaimana pernyataannya: (hal. 69)
المقصود منه الاستمتاع بالمرأة الجميلة وغض البصرعمالايحل النظر والولد الصالح يدعوله

Ketiga, menjelaskan tentang rukun nikah dan syarat mempelai laki-laki. Menurutnya, rukun menikah ada lima; mempelai laki-laki dan wanita, wali nikah, dua saksi, dan adanya ijab-qabul. Kemudian syarat mempelai laki-laki; murni seorang laki-laki, harus ditentukan laki-laki yang akan menjadi suaminya, tidak dalam keadaan ihram baik haji maupun umrah, dan juga bukan termasuk mahramnya.
Kemudian, Kiai Kholil memberi keterangan lanjutan bahwa; seorang laki-laki yang mau menikah tidak disyaratkan harus kaya. Akan tetapi, sudah dianggap cukup jika ia memiliki biaya (maskawin), nafkah dan pakaian setiap harinya juga tempat tinggal. Untuk memperkuat argumennya, Kiai Kholil menyitir firman Allah swt.: (hal. 71)
وانكحوا الايامى منكم والصا لحين من عبادكم وامآئكم ان يكونوا فقرآء يغنهم الله من فضله والله واسع عليم
Artinya: “Dan nikahilah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur: 32)

Keempat, menjelaskan syarat mempelai wanita yang hendak dinikahi. Menurutnya, ada lima syarat bagi mempelai wanita; murni (benar-benar) seorang perempuan, harus ditentukan wanita yang akan dinikahi, tidak sedang menjalani ihram-baik umrah maupun haji, tidak termasuk mahram, dan tidak sedang menjalani ‘iddah atau masih terikat oleh sebuah tali pernikahan.

Kelima, menjelaskan syarat ijab dan qabul. Menurutnya, syarat ijab ada dua; menyebutkan ungkapan menikah atau menikahkan, sehingga tidak sah jika ijab diungkapkan dengan membolehkan atau membeli. Kemudian, lafaz ijab diucapkan oleh seorang wali nikah atau wakil dari seorang wali.

Sementara qabul terdapat empat syarat; yaitu adanya kesesuaian antara perkataan ijab dan qabul (misal, jika yang akan dinikahi Hindun, maka qabul-nya juga Hindun), antara ungkapan qabul dan ijab harus bersambung (tidak boleh ada pemisah, seperti adanya jeda waktu yang cukup lama dan pembicaraan selain qabul), dan ungkapan qabul diucapkan oleh mempelai laki-laki atau yang mewakilinya dalam akad nikah.

Demikianlah sebagian pembahasan yang terdapat dalam kitab As Silah Fi Bayani al-Nikah karya Syaikhona Kholil Bangkalan, yang dapat diulas dalam tulis pendek ini. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan