Kisah Subki dan Sulima

1,029 kali dibaca

Tujuh kelopak kembang pinang kering beserta tujuh potong lidi yang diikat benang putih tersimpan rapat dalam kepalan tangan Subki. Baginya, memegang benda itu bagaikan memegang kehidupan Sulima, istrinya yang sudah empat bulan terbaring sakit. Ia beranggapan pada benda itulah nyawa Sulima dipertaruhkan; hidup atau mati.

Dari balik pintu, ia memastikan Sulima sudah tidur pulas. Kemudian melangkah pelan, tubuhnya diatur sedemikian ringan agar tak menyenggol benda-benda yang bisa menimbulkan bunyi. Dengan gerak tertatih dan penuh awas, kemudian menaruh benda yang dipegangnya itu di bawah kasur Sulima. Ada kebahagian terpancar dari kedua bola matanya saat benda-benda itu berhasil ia taruh sesuai petunjuk dukun tanpa membuat Sulima bangun.

Advertisements

“Maaf, sayang. Aku terpaksa melakukan semua ini di saat kamu sedang pulas. Sebab jika tidak demikian, kamu pasti menolak yang magis dan memarahiku dengan kasar,” getar lirih bibir Subki diricik butiran air mata. Sebentar menggelengkan kepala sebelum akhirnya keluar; khawatir Sulima tiba-tiba bangun.

***

“Mohon kamu jangan masuk dan jangan mendekati aku, Mas. Aku terkena TBC, aku khawatir menular lewat napas. Jangan salah paham. Aku bilang menjauh karena aku sayang kamu, Mas!” suara Sulima memelas.

“Kamu itu kena guna-guna.”

“Aku tidak percaya guna-guna dan sihir. Aku lebih percaya ilmu medis, karena itu ilmiah.”

“Dari dulu kamu memang begitu. Kalau aku lebih percaya ilmu magis, karena ada lebih dulu, sejak zaman nenek moyang kita.”

‘Itulah kesalahanmu, Mas. Percaya kepada yang tidak ilmiah.”
“Apa semuanya harus ilmiah? Kalau tidak ilmiah tapi terbukti itu juga bagus kan?”
“Magis tak pernah terbukti.”
“Jangan sombong kamu!”

Subki melirik Sulima dengan wajah bagai dipupur cabai. Matanya tampak memendam amuk kebencian. Kebencian yang sebenarnya tumbuh dari rasa cinta dan sayang kepada Sulima. Ia membenci Sulima karena tidak percaya pada magis yang—menurutnya—bisa mengancam nyawa istri tercintanya itu.

“Tak ada maksud lain setiap kali aku menyarankanmu untuk percaya pada hal magis, kecuali niat mulia karena aku ingin menyelamatkan nyawamu, Sayang.”

“Sama, Mas. Aku memintamu menjauh dariku biar kamu tidak tertular penyakitku. Aku melakukan itu dengan petunjuk medis juga karena aku mencintaimu.”

Subki tak menyahut. Hanya menghela napas berat, seraya melepas pandangnya ke halaman.

“Tolong keluar dari ruangan ini, Mas. Ini demi cintaku padamu, Mas. Agar kamu tidak tertular, atau setidaknya pakailah masker,” ulang Sulima.

“Hmmm. Cintamu dan cintaku seperti ini,” jelas Subki seraya menunjukkan dua butir telur di atas meja; besar dan putihnya sama, tetapi terpisah oleh selembar kertas. Lalu ia melangkah gontai keluar kamar, masih dengan raut wajah yang menunjukkan ketaksudian. Sulima tersenyum melihat suaminya mau menuruti permintaannya untuk mejauh, sebab dirinya tak ingin suaminya itu tertular penyakit TBC yang dideritanya.

***

Sudah hampir seminggu Subki sering menjerit sambil meronta-ronta sendirian di dalam kamar karena menahan rasa sakit di kepalanya. Selain itu, ia juga kerap mual dan muntah. Ia terpaksa menyediakan wadah khusus dari kaleng bekas yang diletakkan bersisian dengan kaki dipan tempat tidurnya untuk menampung muntahannya.

“Gara-gara jin di simpang tiga jalan Aswan,” ujarnya lirih, menirukan perkataan dukun yang sering ia datangi.

Meski kedua matanya perih kemerahan oleh terkaman rasa ngantuk dan meski berkali-kali mulutnya menguap, tapi ia tak bisa tidur, kecuali ketika malam berlalu menyisakan sepotong bulan di penghabisan waktu subuh. Kalaupun dirinya berhasil tidur, itu cuma sebentar, lalu kepalanya kembali sakit, seperti ada puluhan jarum yang melukainya dari arah kegaiban. Membuat tubuhnya begitu kurus, kering, dan menampakkan dengkulan tulang. Ketika cahaya pagi sedikit memaparnya melalui ventilasi, ia kian tampak bagai tengkorak hidup yang sekadar punya mata lebar nan cekung dan rambut gimbal awut berparam ketombe. Tenaganya juga terkuras. Saat berjalan, ia harus memakai tongkat.

Melihat keadaan suaminya begitu, Sulima kian tak bisa membendung air mata. Dari balik jendela berkaca transparan, ia melihat Subki dengan mata sembab dan bengkak, sambil meyakini; Subki terkena penyakit lambung. Perlahan ia bangkit dan tertatih menuju kamar sebelah dengan bantuan sebatang tongkat, tiba berdiri di pintu menyandarkan tubuhnya ke daun pintu.

“Ayo periksa ke Puskesmas, Mas. Sepertinya kamu terkena infeksi lambung. Menurut ilmu medis, jika lambung bermasalah biasanya berpengaruh ke kepala,” ujar Sulima dengan suara gemetar.

“Medis lagi. Ini bukan penyakit lambung kata Ki Surakna. Dukun sakti itu. Penyakitku ini karena pengaruh jin jahat di simpang tiga jalan Aswan,” suara Subki keras menghentak. Tapi tak membuat Sulima terkejut, justru ia merasa lucu.

“Magis lagi. Itu tidak mungkin. Sebab banyak orang yang lewat di jalan itu tapi aman-aman saja, Mas.”

“Kamu jangan bilang begitu. Aku yakin penyakitmu itu juga karena pengaruh jin jahat di jalan itu.”

“Ayolah, Mas, berpikir logis.”

“Itu logis.”

“Masa jin logis, kan tak terlihat, Mas?”

“Masa bakteri logis. Kan juga tak terlihat?”

“Bakteri dapat dilihat melalui mikroskop, Mas.”

“Sama, jin juga bisa dilihat dengan mata batin seorang dukun.”

***

Seusai salat Subuh, Sulima mengangkat bantal dan seprai setelah semalam curiga ada benda aneh yang sempat terhidu dan tertindih punggungnya saat tidur. Benar saja, pagi itu ia menemukan kelopak kembang pinang kering beserta tujuh potong lidi yang diikat benang putih di bawah kasur. Sontak ia kaget dengan benda-benda itu. Diambilnya perlahan dan ia amati beberapa saat; kelopak kembang pinang itu sangat kering dengan bagian-bagian yang telah keropos jadi semacam abu, menguar bau tak sedap. Sedang benang putih yang mengikat tujuh lidi itu sudah kusut dengan warna nyaris pudar.

“Hmmm, ternyata,” gumam Sulima dalam hati sembari tersenyum. Kemudian membuang benda-benda itu ke tempat sampah. Kala itu, kebetulan Subki datang tertatih dengan sebatang tongkat dan melihat terhadap apa yang dilakukan istrinya.

“Mengapa kaubuang benda itu? Itu bukan guna-guna. Justru itu benda ritual pengobatan yang disarankan dukun.”

Sulima terkekeh laiknya orang sehat. Ia mengulangi tawa asyiknya itu dalam waktu yang lumayan lama karena merasa apa yang dilakukan suaminya sangat lucu. Ia tak sadar jika tawanya itu membuat dada Subki marah.

“Jika kamu selalu melecehkan keyakinanku kepada magis, maka mulai saat ini kita tidak usah bertemu. Titik.”

Subki membalikkan badan. Kembali terdengar bunyi ujung tongkat mengetuk lantai yang semakin lama semakin menjauh. Sulima kembali terkejut dengan pernyataan suaminya. Berkali-kali ia memanggil Subki, tapi Subki tetap tak menyahut. Suara ketukan tongkat di tangan Subki sudah jauh terdengar di balik tembok, menuju arah kamar belakang di dekat dapur.

Hari setelah itu, Sulima seperti hidup dalam kesendirian. Subki benar-benar tak datang lagi ke kamarnya. Sulima hanya bisa mendengar suara jeritan suaminya saat mengaduh sakit dari arah kamar di dekat dapur. Dalam kesendirian itu, ia mengingat serangkain kisah perjalanan rumah tangganya dengan Subki. Kadang membuat Sulima tersenyum, dan kadang membuatnya berurai air mata.

Setelah purna satu minggu tak saling bertemu, akhirnya Sulima dan Subki sama-sama merindukan satu sama lain, terlebih saat keduanya sama-sama dalam keadaan sakit. Di hari kesepuluh sejak tidak saling bertemu, Sulima membincangkan sesuatu yang mendesak kepada Ridwan, keponakannya yang biasa bertugas mengambil obat TBC ke Puskesmas.

“Nanti tolong pamanmu bujuk agar mau periksa ke dokter biar penyakitnya cepat ditangani,” pinta Sulima kepada Ridwan.

“Tadi saya melihat paman Subki minta bonceng ke Man Sumo. Saat sebentar berpapasan saya bertanya hendak ke mana. Katanya mau pergi ke dukun.”

Sulima terkejut mendengar jawaban itu. Ia menggelengkan kepala sebelum kedua tangannya merapikan tali masker tepat mengait telinganya.

“Dia memang terlalu percaya kepada magis. Sudah jutaan rupiah yang ia habiskan pergi ke dukun.”

***

Sepulang dari dukun, Subki langsung masuk ke kamar Sulima. Ia mendekati istrinya itu dengan tatap mata penuh pengharapan.

“Tumben Mas Subki ke sini?” tanya Sulima bernada ketus walau sebenarnya ia bahagia dengan kedatangan suaminya setelah lama tidak bertemu karena egonya masing-masing untuk mempertahankan magis dan medis.

“Aku ingin minum ludahmu dan menghirup napasmu. Kata dukun, itu yang bisa menyembuhkan penyakitku,” suara Subki memelas. Tangan ringkihnya baru bisa kembali menyentuh pipi istrinya setelah sekian lama selalu hidup dalam sitegang.

Sulima sangat terkejut mendengar pernyataan Subki. Ia hanya bisa mematung. Menganga dengan kedua mata tak kedip.

“Aku sedang mengidap penyakit TBC, Mas. Secara medis, jika kamu minum ludahku atau menghirup napasku, kamu pasti tertular,” ucap Sulima. Ia mulai merapikan masker dan mencoba menggeser tubuhnya.

“Itu kan secara medis, tapi kalau secara magis justru itu jadi obat bagi penyakitku. Ayolah, Sayang.”

Sulima tak menyahut. Ia berusaha menghindar, tapi Subki sigap memeluk tubuh istrinya. Meski Sulima meronta, Subki terus membuka masker yang dipakai Sulima hingga ia berhasil mencecap ludah istrinya itu dan menghirup napasnya.

Sulima menangis histeris. Ia tak ingin suaminya tertular penyakitnya. Sementara Subki tertawa riang karena merasa telah berobat.

Hari-hari berlalu begitu saja. Semakin hari Subki semakin membaik hingga ia benar-benar sehat kembali. Keadaan tubuh dan berat badannya kembali normal seperti semula. Sulima pun demikian, ia juga semakin membaik. Sudah tak berbatuk dan sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Tapi keduanya tetap sama-sama cemas.

“Meski kamu sudah membaik, tapi aku tetap cemas, Sayang. Karena kamu tidak mau pada pengobatan magis, padahal kamu kena sihir,” suara Subki pelan.

“Sama, Mas. Meski Mas Subki sudah baik tapi aku tetap cemas, karena Mas Subki pernah menghirup napasku, bisa saja benih penyakit TBC masih bersarang di tubuhmu, Mas.”

Lalu keduanya hanya bisa saling tatap dari dekat, tapi serasa tetap ada sekat.

ilustrasi: lukisan sahat simatupang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan