Kisah Sepatu dan Refleksi Diri

3,594 kali dibaca

Sebuah buku kumpulan cerpen dengan judul Dan Sepatu pun Menertawanku adalah sebuah metafor atas gambaran diri sendiri. Judul ini merupakan salah satu judul cerpen yang ada di dalamnya. Bisri Mostafa, penulis cerpen ini, ingin menyampaikan bahwa terkadang tampilan luar tidak selalu sejalan dengan kondisi dalam. Dalam bahasa melineal “don’t judge the book with the cover” (jangan nilai sebuah buku hanya dengan tampilan luarnya saja [cover buku]). Meskipun, dalam realitas percoveran, tampilan cover buku turut andil dalam peminatan pembaca.

Bermula dari acara wisuda anaknya, keakuan si aku serasa lebih hebat dari teman lamanya semasa mondok dulu. Memang, Bisri Mustafa tidak secara frontal menggambarkan keangkuhan si aku. Dengan kelihaian penulis, egosentris keakuannya terbersit hampir tak terlihat. Ada, tapi mirip tak terjangkau. Nampak, tapi nyaris tak terlihat. Tetapi, dari alur kisah dan rangkaian cerita keakuan si aku beserta keangkuhannya dapat kita rasakan. Dari situlah kemudian sepatu mulai menertawakan(ku), dan sejak itu pula (aku) mulai menertawakan diri sendiri.

Advertisements

Rasulullah bersabda, “Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di duniasantri.co, Bisri Mustafa sudah tidak asing lagi. Cerpennya bersileweran menghiasi keseharian palt-form ini. Plot, alur, dan klimaksnya begitu dahsyat. Kisah yang mengalir, deras, bagaikan arus sungai di musim penghujan. Mengalir hingga hilir, dan pembaca (setidaknya menurut saya) terkaget-kaget atas konflik dan klimaks yang dibangun. Bukan saja pada Dan Sepatu pun Menertawanku, tetapi pada cerpen-cerpen lainnya (yang ditulis Bisri Mustafa di buku ini) juga memberikan pengalaman baca dan deskripsi yang membangun ruang imaji.

Membincang buku Dan Sepatu pun Menertawakanku bukan semata Bisri Mustafa. Masih banyak lagi penulis yang santri, sekaligus santri yang penulis, atau pun penulis yang lagi nyantri (pro-kesantrian). Seperti, Atiqatul Fitriyah yang memaknai kehilangan lewat Ale terhadap ikan. Bahwa, anak sekecil Ale pun merasakan kesedihan dan keharuan ketika melihat ikan yang ia pelihara mati.

Khanifah, lewat kisah “Jalu” yang secara emosional terperangkap dalam musibah keluarga. Tragedi kebakaran dan merenggut seluruh keluarganya menyebabakan Jalu berada dalam tekanan psikologis. Beruntungnya Jalu dekat dengan pesantren yang kemudian menampungnya dengan penuh kasih sayang. Kiai Soleh bisa membuat Jalu tertawa dengan seekor kambing yang melahirkan. Kiai Soleh juga mampu membimbing Jalu hingga hafal Surat Al-Mulk.

Machus melalui I’am dan Jismu meramu kisah persahabatan yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Saling menolong tanpa pambrih. Memberi tidak untuk mengharapkan balasan apa-apa. Melalui kisah Sumardin, Juca berkisah tentang pedagang kaki lima. Tidak puas dengan sayur lontong, beralih pada nasi goreng. Rizki sudah ditentukan oleh Tuhan, tapi kewajiban manusia harus berusaha. Berlatar tempat kumuh dan becek, Juca mencoba berkisah tentang orang-orang kecil dan miskin.

Melalui penglihatan imajinatif, dari bapak tua yang renta tersebab oleh peperangan, Luqman Hakim, menggambarkan suasana batin dan kenyataan melalui seorang pemuda yang kakinya hancur oleh senjata. Setting peperangan seringkali membuat suasana muram, semuram seorang perawat yang memberitahukan bahwa Pak Tua itu buta karena terkena mesiu. Pak Tua berbohong? Entah, karena sangat mungkin terdapat panorama indah dari siluet jiwa yang tertekan. Yang buta karena peperangan.

“Dialog” yang ditulis oleh Eva Maulidyah, ingin mengisahkan tentang suasana malam (Ramadhan) dari sisi lain. Melalui “dialog” dipahami bahwa tidak akan lama lagi Syawal datang. Itu artinya, bulan yang penuh berkah dan kesucian akan pergi. Beruntung, si aku masih diberi peringatan oleh si dia bahwa masih ada beberapa malam lagi untuk lebih fokus dalam ibadah. “Dialog” dalam cerpen ini lebih kepada percakapan batin dan komunikasi imajinasi.

“Harmoni dalam Sinekdoke,” Anang Zunaidi berkisah tentang persahabatan yang beragam etnis dan ras. Namun demikian, perbedaan itu menyatu dalam satu pintu kontrakan untuk bersama. Meski terjadi konflik, pada akhirnya keenam sahabat itu tetap dalam pars pro toto dan totem pro parte; sebagian untuk keseluruhan atau keseluruhan untuk sebagian.

“Cermin Kimin (Kado Ulang Tahunku)” karya Mukhlisin membangun citraan dalam kisah metafor. Selaras dengan “tawa sepatu” dalam cerpen ini ingin dibangun nuansa berkaca diri. Kalau dalam bahasa A Mustofa Bisri (Gus Mus) “Melihat Diri Sendiri.” Buruk muka cermin dibelah adalah perumpamaan terhadap seseorang yang memandang dirinya baik, sementara yang lain jelek. Maka ketika di dalam cermin itu tergambar “kera” atau lainnya, biarpun kaca dipecah dan dihancurkan, karakter diri sebagai pecundang tetap melekat erat. “Bercermin” sebagai bagian dari “Man arofa nafsahu, arofa Robbahu.”

“Doa Orang Gila,” cerpen yang ditulis oleh Nopinta Sigit Widodo ini menceritakan tentang orang kaya yang pailit. Tersebab oleh karakternya yang pemalas, suka berjudi, dan bersikap hidup mewah, Slamet akhirnya bangkrut yang semula kaya raya dengan harta warisan bapaknya. Meskipun terlihat cacat logika dan sesat pikir karena doa orang gila yang dianggap mustajab, namun setidaknya kita mengerti bahwa ikhtiar (Slamet bersembunyi di musala setelah dikejar massa karena akan mencuri motor metik) adalah bagian dari sebuah ikhtiar. Cepat atau lambat perbuatan Slamet yang ingin mencuri motor pasti ketahuan. Tetapi Nopinta Sigit Widodo membangun kisahan agar terjadi dugaan-dugaan bagi pembaca.

Meskipun saya tidak menemukan esensi cerita dari “Yang Merawat Kehidupan,” oleh Nuribi Hariyanto, tetapi cerpen ini melukiskan beragam kisah yang rumit. Mbok Salamah, tokoh utama yang sendiri di masa senja, harus menelan pil pahit ketika kerinduannya terhadap Ramadan, anaknya yang merantau, harus terkubur. Meskipun tidak secara tekstual disebutkan, tetapi dari indikasi dialog dan alur cerita, virus corona menjadi penyebabnya. Kisah oleh Nuribi Hariyanto ini terkesan rumit. Saya harus membaca berungkali untuk memahaminya. Tetapi, klimaks dari kisah ini benar-benar tidak terduga. Sebuah kisah yang inspiratif, sekaligus perlu renungan imajinatif.

Dan Sepatu pun Menertawakanku, adalah kumpulan cerpen yang kaya akan kisah dan sangat inspiratif. Sebagai seorang santri, alumni santri, pemerhati santri, dan kontibutor duniasantri.co, selayaknya membaca buku ini. Apa kata dunia (duniasantri.co?) jika kontributor saja tidak membaca buku ini? Sebenarnya masih banyak topik-topik pilihan yang dibahas di buku ini. Namun tidak selayaknya saya ujarkan, karena membaca langsung kisah di dalamnya akan lebih memberikan pengalaman yang lebih dahsyat.

Buku dengan ketebalan ix + 285 halaman, ukuran 13 x 20,5 cm, sangat proporsional, dan terlihat luxs. Diterbitkan oleh Yayasan Jejaring Duniasantri, Agustus 2020. Masih hangat untuk dibaca dan dinikmati, apalagi saat sedang santuy di rumah karena dampak covid-19. Buku yang recomended untuk dibaca dan dapat dijadikan referensi, serta dapat dijadikan refreshing di saat jenuh oleh pekerjaan.

Ingin mendapat suasana lebih? Tidak akan berlebihan jika saya merekomendasikan Anda untuk membaca buku yang cukup tebal ini. Meski tidak semuanya, setidaknya banyak dari kisah ini yang membangun kisah rekaan kepesantrenan. Ada banyak topik yang yang diangkat oleh penulis yang sudah malang melintang di dunia per-cerpen-an. Itu artinya, yang menurut Mohamad Sobary, Esis, (dalam endors buku ini) mengatakan bahwa “Semangat menertawakanku diri sendiri dan kerendahan hati sosok pribadi yang tak mungkin untuk direndahkan.”

Sementara menurut Hasan Aspahani, sastrawan, (dalam endors buku ini juga) mengatakan bahwa “Santri dan duniasantri bisa jadi sumber pemasok cerita dan inspirasi besar bagi bangsa ini.” Sudah selayaknya kita bernostalgia dan ber-muwajjahah dengan buku yang penuh hikmah dan memberikan pengalaman membaca yang dahsyat. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan