Kisah Pesantren yang Tak Disengaja

2,591 kali dibaca

Adakah sebuah pondok pesantren yang berdiri secara tidak disengaja? Ada. Dan begitulah faktanya.

Adakah Masyhudi Hamid yang memulai kisah ini. Dia tinggal di Klaten, Jawa Tengah. Sedangkan orang tuanya tinggal di Bantul. Suatu ketika dia berniat untuk mengirimkan salah satu anaknya ke Bantul, supaya bisa jadi teman untuk orang tuanya. Juga sebagai bentuk baktinya kepada orang tua.

Advertisements

Maka terpanggillah seorang anak laki-laki bernama M Katib Masyhudi. Seorang anak yang bandel. Agak susah diatur. Meskipun, bagi seorang Masyhudi Hamid, tidak ada yang berani membantah, apalagi melawan.

Katib yang ditunjuk oleh bapaknya untuk pergi ke Bantul, gembira betul. Sebab, ia akan segera keluar dari kandang. Bagi Katib, ia adalah burung, dan perintah dari bapaknya itu adalah perintah untuk keluar dari kandang. Ia pun menyanggupi perintah bapaknya itu. Namun, dengan otak cerdasnya, ia membuat suatu akal-akalan. Suatu strategi. Diajaknya dua orang dari Klaten yang bersedia ikut pergi bersamanya ke Bantul. Jadi, Katib pergi ke Bantul bersama dua orang temannya itu.

“Di sini monggo, Kang. Tidak usah bayar. Mau sekolah di mana terserah. Mau ngaji di mana-mana juga terserah. Silakan. Tapi ada satu catatan, ngurusi simbah di rumah.” Begitulah bujuk rayu yang dikatakan oleh Katib pada kedua teman agar ikut bersamanya ke Bantul.

Berjalannya waktu, dua orang teman Katib sangat senang tinggal di Bantul. Mari saya beritahu nama desanya: Wonokromo. Mereka berdua merasa mendapatkan banyak kemudahan. Kemudahan mendapat pendidikan, kemudahan akses ngaji, dan lain sebagainya. Meski harus mengurus simbahnya Katib, tidak masalah. Mereka tetap senang berada di Bantul, di Pleret, Wonokromo. Sebab, Wonokromo adalah kampung santri. Ada banyak kiai sepuh dan alim. Mereka berdua bisa ngaji ke siapa saja. Apalagi, Wonokromo adalah bagian kecil dari Yogyakarta, daerah yang berjulukan “Kota Pelajar”. Ingat. Belum ada namanya pondok pesantren.

Dua orang teman Katib kemudian mengajak teman-temannya yang ada di Klaten untuk ikut serta pergi ke Wonokromo. Iming-imingnya adalah: ngaji. Benar sekali bahwa orang-orang Klaten pada saat itu sedang senang-senangnya ikut ngaji, tapi sulit mendapat dukungan. Masyhudi Hamid adalah orang yang merintis kegiatan ngaji di Klaten sana. Kepada Masyhudilah orang-orang Klaten mengaji. Namun, karena Masyhudi adalah mantan tentara yang sezaman dengan Soeharto, ada banyak pihak yang memusuhinya.

Meski demikian, Masyhudi tidak takut sama sekali. Dia laksana Umar bin Khattab dalam dakwahnya. Orang-orang yang ngaji kepadanya sangat setia. Apa yang dikatakan oleh Masyhudi pasti dilaksanakan, bagaimanapun susah atau menyakitkannya. Meski begitu, banyak juga orang yang ketakutan untuk ikut ngaji dengan Masyhudi. Walhasil, banyak orang Klaten yang memendam hasrat untuk ngaji. Orang-orang inilah yang kemudian terpanggil untuk turut pergi ke Wonokromo menyusul dua orang teman Katib itu.

Berawal dari dua orang, bertambah jadi tiga orang, empat orang, dan seterusnya. Selama beberapa tahun mereka seperti orang yang merantau. Tinggal di Wonokromo untuk ngaji kepada kiai-kiai sepuh dan alim. Kalau ngaji quran mereka pergi ke kediaman Kiai Wahab al-Hafidz. Kalau ngaji kitab mereka pergi ke kediaman Kiai Syifa. Kalau ngaji nahu mereka pergi ke kediaman Kiai H Kholiq dan Kiai H Abdul Mukti. Mereka, para kiai inilah, yang menjadi pentolan atau rujukan utama keilmuan di Wonokromo.

Tertarik Ikut Ngaji

Lama-kelamaan, Katib pun tertarik untuk ikut ngaji bersama teman-temannya itu. Akhirnya Katib ikut ngaji. Ngaji yang sama persis dengan teman-temannya. Ia mengikuti prosedur yang ditunjukkan oleh teman-temannya itu. Harus ke mana harus bagaimana. Namun, karena mungkin dianugerahi kecerdasan yang lebih, Katib justru lebih dulu bisa menguasai beragam keilmuan, terutama nahu-saraf untuk membaca kitab, dibanding teman-temannya. Padahal, ia ikut ngajinya belakangan.

Beberapa waktu setelah itu, Katib merasakan gelisah. Menurutnya, teman-temannya ngaji dari dulu sampai saat itu sesungguhnya belum paham betul. Kemudian Katib berinisiatif untuk membuat suatu majelis ngaji di rumah, di samping tetap mengikuti jadwal ngaji kepada para kiai sepuh.

Semuanya sepakat untuk usulan ini. Maka mulailah majelis itu bergerak. Dengan caranya sendiri, Katib menyampaikan apa yang didapatnya dari para kiai sepuh. Fasilitas yang digunakan ya apa adanya. Yang menjadi papan tulis adalah daun pintu. Sementara kapurnya dibawa oleh teman-teman Katib dari sekolah.

Ikatan Santri Klaten

Singkat cerita, teman-teman Katib semakin banyak. Ada belasan. Karena ingin membuat suatu ikatan di antara mereka, Katib berinisiatif untuk memberi label “santri” untuk mereka. Tapi ia belum berani membuat pondok pesantren. Maklumlah. Katib hanyalah orang baru di Wonokromo. Di tengah berjayanya para kiai sepuh, mana mungkin ia mendirikan pondok pesantren? Katib merasa kerdil. Oleh karena itu, ia menggagas ISKA (Ikatan Santri Klaten) yang menghubungkan teman-temannya yang belasan itu dengan santri-santri lain di sekitar Wonokromo. Baik Jejeran, Kanggotan, Brajan, dan lain-lain.

Singkat cerita lagi, Katib akhirnya berani untuk memproklamasikan pondok pesantren. Tapi, pondok pesantren tanpa nama. Memang tidak diberinya nama. Orang-orang sekitar kerap menyebut pesantren itu dengan “Pondok Pesawat” atau “Pondok Motor Mabur” karena rumah Katib agak mirip dengan pesawat terbang. Itu sebelum gempa. Ada lagi yang menyebutnya dengan “Pondok Klaten”. Itulah pondok pesantren putra.

Menjadi Al-Hamidiyah

Kemudian kakak Katib, yang namanya Ahsin, membuat pondok pesantren putri. Niat itu didukung oleh Masyhudi. Bahkan diberi modal santri awal. Nama pondok pesantren itu Al-Hamidiyah. Namun kemudian karena beberapa hal, Ahsin pindah ke Magelang, sehingga Al-Hamidiyah tidak terurus, terkatung-katung. Melihat itu, Katib nembung kepada kakaknya untuk ngrumat santri-santri putri yang sudah ada di Al-hamidiyah. Diizinkan. Jadilah kemudian ada pondok pesantren putra dan putri dengan nama Al-Hamidiyah.

Pondok pesantren ini pada saat itu berpindah-pindah tempat, sebab belum punya gedung sendiri. Inilah pondok pesantren yang dimulai dengan prosesi tradisi lawas nomaden. Lama kelamaan, setelah dengan proses panjang yang susah payah, Katib mengubah nama pondok pesantrennya menjadi Fadlun Minalloh yang berarti “pemberian dari Allah”.

Dengan penggantian nama ini, Katib menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah yang telah begitu baik memberinya kesempatan mendirikan sebuah pesantren, meskipun masih kecil. Dan inilah nama pondok pesantren itu: Fadlun Minalloh.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan