Kisah Orang-Orang Bermata Biru

1,651 kali dibaca

Mataku mengerjap-ngerjap saat Nayla kembali membentakku. Dia sudah mengomel panjang lebar dari entah berapa menit yang lalu. Ah, bukan mengomel, dia sedang merundungku lebih tepatnya. Kutundukkan mataku ke lantai pualam putih depan ruang kelas itu. Telingaku pun telah panas, penuh dengan kalimat-kalimat perundungannya.

“Heh!! Leona Van Duarte!! Cewek bermata biru yang sok cakep!” Nayla bersungut-sungut di depan wajahku. Kuabaikan perlakuan congkaknya.

Advertisements

Selama di madrasah ini aku memang sering mengalami perundungan oleh Nayla dan beberapa temannya. Aku tak habis pikir, bagaimana mungkin hanya karena birunya warna bola mataku, kulitku yang berwarna putih, atau rambut yang coklat ini lantas ada orang yang merasa berhak menghinaku. Bukankah pelangi itu indah karena warnanya yang berbeda-beda? Walaupun ayahku seorang Spanyol, tapi aku lahir di Malang. Aku pun hanya menguasai bahasa Jawa dan Indonesia dan beberapa kosa kata bahasa Spanyol. Aku pun berkewarganegaraan Indonesia. Lalu apa salahku memiliki perbedaan fisik dengan mereka? Padahal, dulu ketika masih duduk di bangku SD aku tak pernah diperlakukan begini.

Aku tak pernah tahu bahwa mata biruku adalah kutukan sampai sebuah cerita itu sampai ke telingaku. Ketika itu aku baru menginjak jenjang pertama di madrasah tsanawiyah tempatku sekolah. Ketika belajar di MTs ini aku mengalami beberapa hal yang tak terlupakan bagiku. Salah seorang temanku sakit hingga tak masuk sekolah berhari-hari. Aku yang sebenarnya dijauhinya dengan terpaksa tetap ikut menjenguk. Iya, dia adalah Nayla, teman sekelas yang memusuhiku itu. Ini memang buah simalakama. Jika aku tak ikut menjenguk, dia akan semakin memusuhiku dan tentunya akan disalahkan guru. Jika pun aku ikut menjenguk, entah dia akan menerimaku atau tidak.

Saat aku masuk rumahnya, beberapa saat kemudian ibu Nayla memanggilku ke ruang belakang, meninggalkan teman-temanku yang tengah mengerumuni Nayla, waktu itu tidak ada guru yang ikut mendampingi. Perempuan paro baya itu bertanya banyak hal tentang diriku. Aku katakan sejujurnya, bahwa aku memang memiliki ayah yang seorang Spanyol. Betapa malangnya hari itu, ternyata jawabanku tadi memantik emosinya. Dia mengataiku macam-macam, menuduhku dengan yang bukan-bukan. Katanya, semua orang bermata biru itu sama, sama-sama busuknya. Lalu mengalirlah cerita dari mulutnya.

Dulu dia bekerja sebagai seorang koki di sebuah hotel di Surabaya. Kariernya sebagai seorang koki melejit cepat karena bakatnya dalam meracik masakan memang tak perlu diragukan, katanya. Setelah semua kesuksesannya itu, datanglah seorang lelaki bermata biru dengan semua janji-janjinya. Dan ternyata janji hanya sekadar janji, tak pernah menjadi nyata. Dia menghamili ibu Nayla lalu pergi meninggalkannya ke negaranya di Eropa. Setelahnya, hancurlah kehidupan perempuan itu. Kehidupan orang tua dan adik-adiknya pun kemudian terkatung-katung karena selama ini dialah tulang punggung di keluarganya. Dan sejak saat itu rasa trauma pada orang bermata biru tumbuh mencengkeram jiwanya. Mendengar kisah itu sebenarnya aku berusaha mengerti perasaan Nayla dan ibunya terhadapku, akan tetapi sebagai manusia biasa yang butuh dihargai aku tidak bisa menerima perlakuannya begitu saja.

“Heh!! Bule kesasar!” Nayla kembali membentak, membuat lamunanku hilang tak berbekas. “Kamu jangan sok cari perhatian ya! Mata biru dari nenek moyangmu itu saja yang kamu banggakan. Ihh, dasar!” cerocosnya dengan kasar.

Dia lagi-lagi menyebut mata biruku sebagai sasaran empuk perundungan. “Kamu pergi dari sini! Ngapain sekolah di sini, hah? Tidak ada sekolah lain yang menerimamukah?” tambahnya lagi. Hatiku mulai panas, dia selalu saja merundung habis-habisan setiap ada kesempatan.

Kadang-kadang aku ingin pindah dan pergi ke negeri asal ayahku, tapi ini pun rasanya tak mungkin karena ayahku telah meninggal beberapa tahun yang lalu.

“Huuft! Dasar mata biru yang sok pinter!” ucap Nayla setelah mengungkit nilai matematikaku yang tertinggi hari ini.

“Stop Nay! Jangan ganggu Leona!” tiba-tiba suara barito seseorang memotong kalimat pedas Nayla. Seketika itu aku mendongakkan kepala.

Ternyata dia adalah Xavier Rumi Akbar, salah satu siswa dari kelas lain di madrasahku. Wajahnya tampan memikat hati. Rambutnya mengombak indah. Postur tubuhnya tinggi nan gagah. Dia berjalan menghampiri kami. Derap langkah kakinya berpola, membuat suara hentakan kaki yang ritmis mengusik hati.

“Le, ikut aku.” Xavier lantas menarik lenganku meninggalkan Nayla yang kini berdiri mematung. Entah cowok yang biasanya hanya kupandang dari kejauhan itu berperilaku aneh hari ini. Dia terkenal dengan sikap dinginnya ke semua orang. Sekilas kulihat Nayla masih mengawasi kami dengan tatapannya yang mengancam. Syukurlah, aku bisa lepas dari orang menyebalkan itu.

Aku menatap Xavier dengan bingung. Detik berikutnya aku hendak meninggalkan lelaki itu. Tapi, lagi-lagi tangannya menahanku. Aku tetap memberontak, tapi dia semakin kuat mencengkeram lenganku.

“Apa sih maumu?” tanyaku sambil melotot.

Xavier menoleh sekilas, “Kamu diam. Ikuti aku,” jawabnya dengan nada dingin. Tangannya masih mencengkeram erat tanganku, membuat tanganku terasa sakit. Rasa sebal yang bercokol di dadaku menghapus empatiku atas jasanya telah menyelamatkanku dari Nayla.

Saat aku mencoba kembali memberontak, dia menempelkan telunjuknya di ujung bibir, “Sssttt!” Dia menyuruhku diam. Sok-sokan banget dia, batinku.

Xavier tetap menyeretku sampai akhirnya kami tiba di lorong dekat perpustakaan madrasah. Di sepanjang lorong itu beberapa anak menatapku dengan tatapan aneh.

“Vier! Lepaskan tanganmu, malu dilihat banyak orang!!” Aku kembali memberontak untuk ke sekian kalinya. Menyebalkan sekali, dia tetap tidak merespons.

“Ihh, Vier!” Aku menarik tangan kananku.

“Diem Le!” dengusnya menyebalkan.

“Le, Le. Hei, kamu pikir aku Le Mineral apa? Enak saja manggil gitu,” celetukku sebal. Kali ini dia menghentikan langkahnya. Kami telah berada di depan pintu perpustakaan itu.

“Terus mau di panggil apa?” tanyanya kemudian. Mata hitam itu mengkilat, seakan menyeret siapa saja ke dalam bola mata itu.

Aku menelan ludah, “Yaa, panggil saja Leona,” sahutku beberapa saat kemudian. “Atau kalo enggak, panggil Ona gitu,” aku menambahi jawaban seraya menggaruk rambut yang padahal tidak gatal. Dia membalas dengan seulas senyum tanpa memandangku. Aku sempat meliriknya. Dan aku harus jujur, senyum itu begitu menawan. Aku kembali menelan ludah. Dan sekali lagi dia memberiku senyuman. Tapi kali ini dia menganggukkan kepala. Sepertinya dia tidak secongkak yang aku kira. Ataukah dia sedang tebar pesona dengan senyumannya itu? Ah, masa bodoh.

Rak-rak besar penuh buku segera menyambut mata kami. Ruangan 8 × 7 meter itu terlihat tak terlalu ramai, hanya ada beberapa siswa yang sedang tenggelam dengan buku bacaan masing-masing. Dan memang lengang sekali. Sesekali suara kertas yang dibalik pembacanya terdengar di telingaku. Xavier mengajakku melangkah kembali. Beberapa saat berikutnya kami telah sampai di sebuah meja di ujung ruang baca perpustakaan.

Aku penasaran sekali dengan tingkah aneh bocah ini. Jika niatnya hanya untuk mengajakku membaca bersama, ini akan menyenangkan. Tapi kalau dia mau berbuat macam-macam, jurus-jurus pencak silat yang kudapat dari ekstra pagar nusa sudah siap untuk dipraktekkan. Kunantikan apa yang akan dilakukannya. Dan benar rupanya, dugaanku tidak keliru. Tangannya dengan cekatan mengambil beberapa buku di rak 16-NBK. Dia sodorokan salah satunya kepadaku. Aku menerimanya dengan senang hati.

Buku itu berjudul Magical place.

“Novel tentang apa ini?” tanyaku berbasabasi.

“Baca saja,” timpalnya.

Tanpa menunggu perintah untuk yang kedua kalinya aku segera membuka halaman pertama buku itu. Aku mulai terhanyut dengan alur dalam novel fantasi itu.

Sementara itu suasana perpustakaan masih tetap lengang.

“Kamu orang yang hebat,” suara Xavier tiba-tiba memecah lengang. Aku mendongak, berusaha mencerna kalimat itu.

“Kamu orang yang hebat Leona,” dia memamerkan senyum lagi. Suara Xavier saat ini terasa berbeda dengan yang sebelumnya. Suaranya lebih lembut, sangat berbeda dengan sifatnya yang dingin bak kulkas enam pintu itu. Tapi.. Eh, tunggu, apa maksud dari kalimatnya? Aku harus menyiapkan kuda-kuda yang diajarkan Pak Nur jika dia memang berbuat macam-macam.

“Kamu berbeda, orang blasteran yang sangat sering mengalami perundungan. Tetapi kamu tetap percaya diri. Kamu tetap bersekolah di sini. Menerima semua perundungan itu dengan ikhlas. Aku bangga padamu,” jelasnya.
Aku menggernyitkan dahi. Aku masih tak mengerti kemana arah pembicaraan ini.
“Apa maksudmu?” tanyaku
“Aku malu pada diriku sendiri” dia menjawab selagi tersenyum, namun di balik senyumnya tampak ada rona kesedihan. Aku percaya akan hal itu. Dia sedang menyembunyikan sesuatu.
“Kamu mau tau kenapa?” tanyanya lagi. Aku mengangguk samar. Lantas dia menunduk dan melepaskan sesuatu dari bola matanya. Terlihat sebuah lensa mata keluar dari matanya itu. Dan astaga! Saat dia kembali menatapku. Mata yang benar-benar berbeda terlihat. Yeah! Mata biru mempesona layaknya langit tanpa awan. Aku tertegun melihatnya.
“Ini beneran?” tanyaku patah- patah.
“Yeah, seperti yang kamu lihat,” dia mengangguk. Rambut mengombaknya menari setelah dimainkan oleh angin lewat.
“Aku masih belum bisa percaya. Ini tidak mungkin.” sahutku.
Dia menggeleng, “Tidak, tidak ada yang tidak mungkin Leona. Selama ini aku menutupi semuanya. Aku menutupi mata biruku untuk menghindari perundungan keluarga Nayla. Kebetulan ayahku mengontrak rumah di kampung Nayla. Saat bertugas di Malang ini lima tahunan yang lalu orang tuaku memilih tinggal di kampung itu. Dan aku tahu, penduduk di situ sangat membenci orang blesteran macam kita. Selama ini aku berpura-pura menjadi warga lokal. Aku menutupi semua ini, dan semua hari-hariku adalah sandiwara. Saat kalian menatapku, kalian akan melihat mata hitam legam yang indah ini. Tapi sayang, itu bukan warna mataku yang sebenarnya. Kini aku sangat malu menyadarinya,” si mata biru itu kini menunduk.
Aku terdiam, tak bisa menyahut apa-apa hingga beberapa lama.
“Xavier, kamu tidak perlu bersandiwara seperti ini. Tunjukkan apa adanya dirimu pada semua orang. Kamu harus bersyukur atas apa yang di anugerahkan Tuhan kepada kamu. Sekali lagi, tak perlu ada acara seperti ini. Percayalah kepadaku. Allah menciptakan kita dalam bentuk yang sempurna. Hanya perasaan kita saja yang sering kali tak mau menerima pemberian-Nya. Tak penting ada berapa banyak perbedaan di sekitar kita. Percayalah,” aku memberikan kalimat yang sok bijak, biarlah aku tampak sok-sokan, yang penting niatku baik. Dan Xavier pun menatapku kembali. Lantas si mata biru pemilik rahasia itu tersenyum. Guratan sedih dalam wajahnya kian memudar.
“Thanks, ceramahnya,” ujarnya kemudian.
Aku mengangguk untuk menanggapinya. “Be yourself Vier. Jadilah dirimu sendiri.”
“Hmm, sepertinya ucapanmu memang benar, tak perlu menutupi diri agar terlihat baik di mata orang lain. Mulai sekarang aku akan menjadi diriku sendiri,” dia mengangguk mantap.
“Benar Vier, tidak perlu menutupi, tak perlu pura-pura. Kita telah tercipta dalam rupa yang sempurna,” aku mengembangkan senyum.
“Muchas gracias amigo,” sahutnya dengan mengangguk penuh arti. Kali ini dia menggunakan bahasa kelahirannya, Spanyol. Yang artinya “Terimakasih teman.” Aku tersenyum senang menanggapinya. Akhirnya, ada seseorang yang benar-benar menganggapku sebagai teman.

ilustrasi:pixabay.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan