Kisah-kisah Jurnalistik, Perang, dan Cinta

507 kali dibaca

Senin malam, 18 Desember 2023, terasa sangat istimewa. Di Kafe Kancakona Kopi tengah diadakan kegiatan Ngobras (Ngobrol Santai) oleh seorang penulis/jurnalis perang internasional (PBB), Ibu Ugi Agustono. Sebuah pertemuan dari takdir yang spesial bahwa kegiatan ini bernuansa mengharukan sekaligus nostalgia dan menyenangkan.

Suasana yang tenang di antara nyanyian binatang nokturnal; jangkrik, katak, dan belalang menjadi saksi dari kisah-kisah yang mendebarkan. Bahwa perang adalah suasana yang menakutkan dan menyengsarakan lahir dan batin. Bahwa jurnalistik adalah kemanusiaan yang mesti diperjuangkan. Bahwa cinta adalah nostalgia yang bisa terjdi di mana saja dan kapan saja.

Advertisements

Ugi Agustono, yang akrab dipanggil Arti Erst dalam dunia jurnalistik, telah melalui perjalanan yang luar biasa dalam kariernya sebagai penulis dan jurnalis perang internasional. Dengan dedikasi yang luar biasa, ia telah menjadi suara bagi banyak konflik yang terpinggirkan di berbagai belahan dunia, terutama melalui pengabdiannya sebagai jurnalis di PBB. Karyanya yang mendalam dan penuh perhatian telah membuka mata dunia terhadap realitas tragis yang sering kali tersembunyi di balik konflik-konflik global.

RH Authonul Muther, sebagai moderator di acara ini, mengawalinya dengan narasi pengantar terkait perang di Timur Tengah. Sementara pemateri kali ini, Arti Erst hadir bersama suami tercinta, Eric Franklin Scott, menambah suasan khas dan spesial. Ibu Ugi menyampaikan materi terkait dengan jurnalistik.

“Saya sudah lebih 17 tahun bekerja di jurnalistik. Sudah berkelana dari Sabang sampai Merauke, berkeliling dari satu negara ke negara yang lain,” demikian di antara awal bincang Bu Ugi mengawali obrolannya.

Ugi Agustono adalah perempuan yang tangguh dengan kondisi kehidupan yang sangat sederhana. Bu Ugi bercerita bahwa dirinya berasal dari keluarga miskin dengan ibu seorang penjual pecel. Di samping itu, orang tuanya harus menghidupi Bu Ugi beserta tujuh saudara dengan kondisi yang sederhana. “Saya delapan bersaudara. Ibu saya seorang penjual pecel yang miskin yang tidak bisa memberikan biaya untuk pendidikan. Oleh karena itu saya dan saudara-saudara harus berusaha sendiri untuk biaya kuliah dan semacamnya.”

Jurnalistik dan Perang

Menjadi jurnalis di medan perang bukan perkara mudah. Jiwa adalah taruhan utama yang bisa saja hilang setiap saat. Karena di medan perang tidak bisa ditampik adanya peluru nyasar yang bisa datang kapan saja. Tetapi bagi Bu Ugi, “Di medan perang bagi saya tidak menakutkan. Justru di tempat itu terasa begitu unik dan menyenangkan.”

Menurut perempuan yang lahir di Blitar tahun 1967 ini, untuk menjadi jurnalis internasional harus diikhtiarkan, diusahakan. “Mimpi (cita-cita) bisa terjadi karena kita menghendakinya. Takdir dapat terjadi karena kita yang menginginkannya.” Sehingga usaha, ikhtiar, dan kemauan menjadi tonggak utama dalam menggapai apa yang kita inginkan.

Ngobras (Ngobrol Santai) malam itu lebih seru karena dilakukan diskusi atau tanya jawab. Dengan komunikasi dua arah, suasana semakin marak dan bergelora. Pengalaman Bu Ugi begitu luas dan luar biasa. Pengalaman itu menjadi mercusuar dan inspirator bagi generasi mellinial di masa yang akan datang.

Selain kisah pengalaman dari Bu Ugi, Mas Eric sebagai suaminya juga memberikan pengalamannya dalam Bahasa Inggris, terkait dengan diving (menyelam). Eric adalah seorang laki-laki yang hidupanya banyak digunakan untuk menyelam. Pengalaman Eric dalam mengarungi samudra, patut diacungi jempol.

“Saya pernah ketemu dengan hiu yang akan menyerang saya. Tetapi saya tidak panik dan dengan tenang berusaha naik ke permukaan. Dan saya pun selamat,” demikian di antara pengalamannya.

Hingga menjelang jam 22.00 WIB, obrolan terkait dengan jurnalistik, perang, dan cinta masih seru. Ada romansa cinta yang dikisahkan terkait kenangan antara Ugi dan Eric. Pun demikian ada nostalgia yang tidak bisa dilupakan begitu saja ketika Ugi dilamar Eric di atas laut Raja Ampat. Suatu kisah romansa yang tidak akan lekang oleh panas dan tak akan lapuk oleh hujan.

Demikian Ngobras (ngobrol santai) di malam ini. Ada banyak hikmah yang dapat kita petik dari obrolan kita malam ini. Kesungguhan, ikhtiar, tulis menulis, nostalgia, cinta, dan lain sebagainya. Semoga kita masih diberi kesempatan di lain waktu untuk kembali berkomunikasi dengan Bu Ugi, perempuan tangguh yang pernah ada. Wallah A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan