Kilat Golok Pejuang

1,369 kali dibaca

Sedari tadi terus kugenggam erat golok berukir ular di dalam baju. Sudah sejak beberapa tahun lalu aku mengabdikan diri menjadi tentara Paderi yang mendukung Harimau nan Salapan untuk menegakkan agama Islam di tanah Minangkabau. Berulangkali Belanda menerapkan strategi licik menyerang kami.

“Sudah kubilang, Bang. Belanda itu hanya penjilat. Seharusnya kita tidak mendatangi perundingan yang berakhir ditangkapnya panglima,” racau Ngadiran dengan napas terengah di belakangku.

Advertisements

“Aku sendiri sebenarnya tak menyetujui kesepakatan untuk berunding di daerah Palupuh. Namun apa? Kita hanya tentara biasa,” kutolehkan wajahku menghadap Ngadiran.

Dengan tatapan tajam, kembali kuarahkan pandangan ke markas Belanda yang beberapa waktu lalu pasukannya menangkap Tuanku Imam Bonjol. Seorang tentara dengan wajah mabuk tiba-tiba mendatangi kami. Seenaknya saja, dia langsung mengucurkan air seninya di gorong tempat kami bersembunyi. Tampak sekali dia mabuk berat, tak menyadari keberadaan kami di bawahnya.

“Ssst. Jangan berisik,” kutatap wajah Ngadiran yang tegang. Memahami isyarat wajahku, ia mengangguk.

“Sialaaaan! Mau apa kalian..,” kaget tentara itu saat kutarik. Belum selesaai omongannya, sebilah golok sudah membungkamnya. Segera saja kulucuti baju dan senapannya. Kini aku sudah berganti seragam untuk penyamaran.

“Bang, kau yakin? Di dalam masih banyak tentara yang berpesta. Mungkin ratusan orang,” sambil menatapku, Ngadiran menunjuk gedung di hadapan kami.

Ingatanku menerawang perjalanan kami. Kuhirup perlahan udara malam, sembari memindahkan golok ke pangkuan. Senjata peninggalan mendiang ayah yang juga menjadi tentara Paderi. Dengan yakin kuanggukkan kepala.

“Kita sudah sejauh ini, Ran. Untuk apa kembali? Secepatnya kita harus mendapatkan informasi di mana panglima,” jelasku padanya.

Tahun 1837 inilah dengan liciknya Belanda memanipulasi perundingan. Pertemuan yang disepakati tanpa membawa senjata. Namun, kami dibodohi. Akhirnya Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibawa ke benteng mereka.

“Misbah, segera kau ajak Ngadiran untuk mengikuti rombongan yang membawa panglima! Kami akan mengurus para tentara Belanda ini,” perintah salah satu dari anggota Harimau nan Salapan kepadaku.

Hujan peluru tentara Belanda masih berdesing di sekitar kami. Tanpa pikir panjang, kugamit lengan Ngadiran untuk mengajaknya mencebur ke aliran sungai dan berenang menuju seberang, memangkas jarak dengan pasukan yang membawa Tuanku Imam Bonjol.

“Bang, kapan kau mulai bergerak? Ini sudah cukup larut. Perhitunganku, mereka telah mabuk berat,” tanya Ngadiran membuyarkan lamunanku.

Kembali kuarahkan tatapan ke gedung di mana pesta sedang terjadi. Semoga Tuanku masih berada di penjara benteng, belum diasingkan. Dengan langkah cekatan, kami segera keluar dari gorong-gorong. Ngadiran mengekor di belakang.

Harmoni biola yang digesek musisi Belanda menyambut langkah kami memasuki gedung. Tak ada kecurigaan dari penjaga di pintu. Mungkin, mereka mengira tentara pribumi yang didatangkan dari daerah lain sebagai pasukan tambahan. Ruangan berdinding papan, meja-meja berisi berbagai macam makanan, dan berbotol-botol arak tergeletak di mana-mana. Para petinggi yang berdansa dan gundik-gundik berlalu-lalang memenuhi pandanganku yang terus menyisir detail-detail yang ada.

“Kau temukan apa bang?” bisik Ngadiran yang terus berusaha bersikap layaknya orang mabuk di sampingku.

“Sepertinya Letnan yang menangkap panglima itu sudah pergi. Tak kulihat sendari tadi. Hanya para bawahannya yang kemarin menyerang kita di daerah Palupuh yang berseliweran,” ujarku sambil juga berbisik dengan tangan tetap siaga menggenggam senapan, selayaknya tentara lain.

“Ada penyusup! Aku menemukan Hozaf tewas di semak-semak!!” teriak petugas patroli panik.

Kemeriahan pesta itu gempar dengan kejadian yang dia temukan. Para tentara pun berlarian keluar gedung. Ada perintah untuk berbaris di lapangan. Katanya, penyusup menyamar menjadi tentara.

“Segeraaa keluar! Lepaskan seragam kalian,” perintah Kolonel bermata abu-abu.

Aku dan Ngadiran hanya tersenyum simpul. Memanfaatkan kekacauan, kami mengikuti arus tentara yang keluar dan segera menyelinap ke ruang bawah tanah.

“Mengapa kalian ke sini? Tidak dengar perintah, hah!” bentak tentara patroli yang mengadang kami.

“Lapor tuan! Kami di suruh kolonel untuk menyisir ruang penjara. takutnya penyusup itu sudah sampai sana,” jawabku pada tentara patroli yang kini di hadapan kami.

“Kalian siapa? Pasukan dari mana? Aku jarang melihat wajahmu,” tunjuk tentara patroli kepadaku.

“Kami dari Jawa. Pasukan Sentot Prawirodirjo,” jelasku tegas. Tentara itu tampak masih ragu. Kembali dia ingin menanyakan hal serupa pada Ngadiran. Namun, saat membalikan badan, sabetan golokku melumpuhkanya.

Keriuhan di luar masih terjadi. Rembulan yang bersinar terang, menerangi aktivitas di benteng. Dengan sibuk, para letnan menyisir bawahan mereka. Akhirnya kami menemukan kesimpulan, Tuanku telah diasingkan dan dibawa ke Cianjur sebelum kami sampai. Dengan cepat kami berlari keluar menuju barisan tentara.

“Kau amuk barisan tentara itu, Bang. Aku akan membereskan yang lain,” ujar Ngadiran sambil melangkah ke arah lain. Aku merasa heran. Mengapa dia malah memisahkan diri. Tak peduli dengan berpencarnya kami, aku segera mengamuk di barisan tentara tanpa baju di tengah lapangan.

“Arrggh.” Sahut-menyahut rintihan itu memasuki gendang telingaku. Tak sedikitpun rasa takut di hatiku. Golokku terus meliuk ke mana-mana. Para tentara tak siap. Sekejap saja ratusan tentara itu tinggal sedikit. Hunjaman peluru tak mengenaiku. Tembakan yang mengarah ke tengah justru mengenai para tentara di sekitarku.

Saat merasa puas, ketika para letnan mengisi magazin peluru, aku berlari menuju arah tempat Ngadiran berbelok. Tampak dia sudah menjebol jeruji aliran sungai di samping benteng. Kami segera menceburkan diri ke aliran air di bawah benteng.

“Apa yang kau lakukan? Mengapa tak membantuku?”

Kurasakan kekesalan yang makin memuncak. Apa dia tidak berpikir kalau itu akan membahayakan kami. Untungnya, sekarang sudah di luar benteng. Rimbunan pohon bambu di pinggir aliran air menyamarkan kami.

“Lihat saja Bang!” ujarnya misterius. “Duaaaarr… Duarr… Duarr..,” tak selang lama dari ucapan Ngadiran, ledakan beruntun terjadi di belakangku. Kobaran api menyibak kesunyian menjelang subuh. Kuyakin pasti itu ledakan gudang mesiu di samping pintu aliran air.

ilustrasi: kompas.com

Multi-Page

Tinggalkan Balasan