Kiai Syukri yang Selalu Bersyukur

3,896 kali dibaca

Setelah kisahnya dengan Nurmala berakhir dengan patah hati, Kang Syukri belum juga mendapatkan tambatan hati lagi hingga tahun demi tahun pun berganti. Kedudukannya sebagai santri senior yang dihormati serta kedekatannya dengan keluarga Kiai Fatah ternyata tidak berpengaruh pada jalan takdir jodohnya.

Seiring berjalannya waktu, tugas Kang Syukri membantu ndalem pun semakin berkurang. Akan tetapi Kang Syukri sekarang punya tugas khusus menjadi sopir keluarga Kiai Fatah. Waktu senggang di antara kesibukannya menjadi sopir serta mengajar di madrasah lebih sering ia gunakan untuk mutholaah kitab. Tugas barunya dalam mengampu kitab Alfiyah di madrasah memang mengharuskan Kang Syukri untuk sering berjibaku dengan referensi-referensi kitab besar.

Advertisements

Malam itu Kang Syukri sedang berkutat dengan kitab Ibnu Aqil, syarah kitab Alfiyah Ibnu Malik yang terpampang di depannya. Setiap malam Sabtu Kang Syukri memang mendapat jadwal mengajar kitab Alfiyah di madrasah tingkat aliyah. Para santri yang kebanyakan masih nyambi kuliah itu menyimak penjelasan Kang Syukri dengan antusias.
“Syaikh Ibnu Malik memberi kita nasihat lewat Alfiyah dalam bab tanaazu’ ini dengan bahasa yang sangat indah,” tutur Kang Syukri tatkala memulai me-murodi isi kitab Ibnu Aqil.

In aamilaani iqtadloyaa fismin amal-qoblu falilwaahidi minhumal amal.
Watstsaani aula inda ahlil bashroh-wakhtaaro aksan ghoirohumdzaa asroh.”

Kang Syukri melagukan bait Alfiyah itu dengan suara seraknya. Namun, bagi para santri suara serak itu terdengar penuh wibawa.

“Ada yang tahu apa maksud nadzoman tadi?”

Semua santri terdiam mendengar pertanyaan ustadz yang juga sopir Kiai Fatah itu. Seorang santri yang sedang tertidur disikut temannya dan lantas jatuh tersungkur karena saking terkejutnya. Seisi kelas tergelak melihat adegan itu.

“Baiklah, biar aku sendiri yang menjawabnya kalau kalian tetap memilih diam,” suara Kang Syukri menghentikan tawa para santri. Suasana kelas berangsur kondusif kembali. “Kurang lebih makna nadzoman itu adalah, jika ada dua amil jatuh sebelum suatu isim, maka amil yang beramal hanyalah salah satunya saja. Menurut ulama basroh, mengamalkan amil yang kedua lebih utama, sedangkan ulama lain memilih sebaliknya. Paham, ya, maksudnya, Kang?” papar Kang Syukri kepada santri-santrinya sembari melempar tanya. Lagi-lagi pertanyaan Kang Syukri disambut dengan keheningan ruang kelas itu.

“Kalian ini kebiasaan, kalau diberi pertanyaan tak pernah menjawab. Seperti perempuan ditawari nikah saja. Diamnya perempuan mengandung jawaban. Kalau diam kalian?” para santri tertawa mendengar teguran Kang Syukri.

“Maksud nadzoman tadi memang untuk memahami ilmu nahwu. Jika bait Alfiyah itu dimaksudkan untuk memahami makna kehidupan, maka artinya beda lagi. Bahwa seorang manusia dianugerahi satu hati dalam tubuhnya. Maa jaalallahu lirojulin min qolbaini fii jaufiih, begitu firman Allah dalam surat al-Ahzab. Allah tidak menciptakan dua hati dalam satu tubuh seorang manusia. Hati itu cuma ada satu, dan tidak untuk dibagi dua. Jadi, jika kalian mencintai seorang perempuan pujaan hati, cinta kalian pada Allah akan berkurang. Atau sebaliknya, jika cinta pada Allah begitu besar, maka cinta pada dunia tidak akan seberapa. Maka dari itu, perbesarlah rasa mahabbah ilahiyah agar urusan duniawi tidak mampu membuatmu gelisah. Karena cinta yang suci akan menjadi pelipur laramu. Dan cinta mana yang lebih suci melebihi cinta ilahi? Cinta di luar itu biasa berbalut dengan kepentingan duniawai. Bukan cinta yang suci,” ujar Kang Syukri berfilsafat.

Di tengah pelajaran itu tiba-tiba datanglah Zaki, khodim Kiai Fatah yang baru. Kang syukri lantas menghentikan pengajian Alfiyah-nya. Pengajian diakhiri karena ternyata Kiai Fatah memanggil dirinya.

Begitu sampai di rumah kiai, Kang Syukri melihat ada beberapa orang sedang duduk di depan Kiai Fatah. Di ruangan itu ada dua orang perempuan dan seorang lelaki. Kiai Fatah menyuruh Kang Syukri mendekat. Setelah bersalaman dan mencium tangan Kiai Fatah, ustadz nahwu itu juga bersalaman dengan tamu lelaki tadi. Mereka saling bertukar senyum. Dan ketika melihat perempuan itu memberi seulas senyum, Kang Syukri seketika tersedak. Kiai Fatah terkekeh melihat santrinya itu salah tingkah.

“Ini namanya Zayina, calon pendamping hidupmu Kang. Sedangkan ini Haji Toha dan Bu Hajah, calon mertuamu, InsyaAllah,” dawuh Kiai Fatah dengan sepenuh wibawanya.

Kang Syukri sampai terbatuk-batuk karena terkejut. Perempuan itu cantik sekali, sekilas melihatnya dada Kang Syukri langsung berdesir-desir tak karuan. Bahkan hingga kini denyut jantungnya belum kembali normal. Kang Syukri tak pernah menyangka kalau malam itu akan ditaarufkan dengan seorang perempuan karena Kiai Fatah tak pernah memberitahu sebelumnya. Dalam hati kecilnya, Kang Syukri merasa tidak pantas. Dirinya sudah hampir berusia empat puluh tahun, sedangkan perempuan itu sepertinya masih sekitar dua puluh tahunan. Namun mau bagaimana kalau Tuhan sudah berkehendak demikian. Manusia sama sekali tidak punya kemampuan menggerakkan hati yang pada ada dalam tubuhnya. Semua alur hidup Allah yang mengatur.

Kang Syukri pun terus mengucap syukur di kedalaman hatinya. Terlebih ketika kedua belah pihak sama-sama telah setuju. Maka kesepakatan acara pernikahan pun segera dibahas. Tidak menunggu hitungan bulan untuk merumuskan acara pernikahan itu. Haji Toha bergegas mempersiapkan segalanya.

Nama Kang Syukri di kampung-kampung di luar pesantren Futuhiyah memang sudah demikian harum. Adalah sebuah kebanggaan bagi Haji Toha untuk memiliki seorang menantu kiai muda. Haji Toha mengenal Kang Syukri dari pengajian yang ia gelar di masjid kampung tempat Haji Toha tinggal. Saat itu Kang Syukri sedang membadali Kiai Fatah. Beberapa jadwal pengajian di kampung yang diasuh Kiai Fatah memang telah digantikan oleh Kang Syukri. Hal ini karena seiring bertambahnya usia kesehatan Kiai Fatah sering terganggu. Dan setelah pengajian-pengajiannya di luar pondok semakin dikenal, banyak orang memanggil Kang Syukri dengan sebutan “kiai”.

Kang Syukri bagi Kiai Fatah tak ubahnya anak sendiri. Dua anak kiai karismatik itu dengan istri pertama semuanya perempuan. Dan setelah menikah semuanya diboyong ke kediaman suami masing-masing. Ada orang bilang putri-putri Kiai Fatah itu tidak mau tinggal di pesantren Futuhiyah karena mereka tidak setuju dengan keputusan abahnya menikah lagi setelah ibu mereka meninggal dunia. Kang Syukri sendiri menganggap kepergian mereka meninggalkan Futuhiyah karena masing-masing suami dari putri Kiai Fatah itu memiliki tanggung jawab dalam meneruskan estafet pesantren orang tuanya. Dan sekarang Kiai Fatah hanya tinggal dengan istri mudanya beserta seorang putri yang baru sekolah Madrasah Ibtidaiyah.

Di sebuah malam yang dingin Kiai Fatah sedang mutholaah di ruang depan. Di luar suara gerimis yang berdetik di atas genting menyamarkan celoteh para santri di asrama yang berimpitan dengan rumah Sang Kiai. Tiba-tiba pintu diketuk. Pengasuh pesantren Futuhiyah itu segera menghentikan mutholaahnya. Kitab al-Hikam ia taruh di meja dan bergegas membukakan pintu. Senyum kiai itu merekah begitu melihat tamunya ternyata Haji toha.

“Ada keperluan apa malam-malam hujan begini datang bertamu Pak Haji? Apa persiapan resepsi sudah siap?” pertanyaan Kiai Fatah itu membuka perbincangan. Beberapa saat kemudian teh hangat dibawakan oleh seorang khodim, menghentikan perbincangan mereka.

“Bagaimana Pak Haji? Persiapannya sudah semua to?” ulang Kiai Fatah.
Haji Toha tak kunjung menjawab. Raut mukanya terlihat bingung. Dan suara rintik hujan terdengar semakin deras.

“Kedatangan saya kemari karena ada suatu hal yang perlu saya sampaikan Kiai.” Kiai Fatah mengerutkan dahi. Menampakkan kerut-kerut kulit wajahnya. Dan Haji Toha tampak semakin ragu untuk bicara.

“Katakan saja Pak Haji,” sahut Kiai Fatah.

“Maafkan kami, Kiai. Pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan.”

“Kenapa Pak Haji?”

“Setelah kami telusuri ke beberapa kerabat, ternyata Kiai Syukri masih kerabat kami. Turun telu, Kiai. Kami tidak berani melanjutkan karena antara putri saya dan Kiai Syukri masih sama-sama keturunan ketiga Mbah Jakpar,” ucap Haji Toha bernada pilu. Suara hujan semakin menyayat-nyayat sepi. Kiai Fatah termangu sedih.

“Tidak semua adat Jawa harus diikuti Pak Haji,” pengasuh pesantren yang berada di tengah kota itu mencoba tersenyum.

“Maaf, Kiai. Kami tidak bisa. Ini sulit bagi kami.”

Malam semakin larut dan hujan belum juga kunjung reda. Haji Toha telah sejak tadi pergi membawa berita yang menyakitkan hati itu. Di kamarnya, dzikir Kiai Fatah tak bisa khusuk karena gagalnya pernikahan santri kinasih. Tiba-tiba dadanya terasa sakit. Bu Nyai Siti terkejut melihat suaminya itu jatuh tersungkur di atas sajadah. Kang Syukri dipanggil untuk mengantar ke rumah sakit.

Santri yang hampir berusia empat puluh tahun itu tergopoh-gopoh mendengar kiainya jatuh pingsan. Mobil segera ia keluarkan dari garasi. Namun tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam rumah. Suara jerit tangis kemudian membuat Kang Syukri mengurungkan niatnya untuk menghidupkan mobil. Ia tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Di situ dilihatnya beberapa santri putri telah berkerumun. Tubuh Kiai Fatah telah berhenti bernapas di pangkuan Bu Nyai Siti. Seketika air mata Kang Syukri meleleh melihat kiainya itu pergi terlalu cepat. Kabar kedatangan Haji Toha dengan membawa kabar buruk itu semakin membuatnya gelisah.

Ketika pagi telah datang mendung tebal menggantung di atas pesantren Futuhiyah. Semesta terlihat murung. Para santri bagaikan anak ayam kehilangan induknya, semua tampak kelimpungan. Suara dzikir bergemuruh di masjid dan sudut-sudut pesantren. Tangis para santri dan pelayat mengiringi kepergian orang mulia itu. Ulama-ulama dari berbagai daerah turut mengantarkan kiai kharismatik itu ke peristirahatan terakhirnya. Sesuai permintaan anak-anaknya serta atas saran para kiai, jenazah Kiai Fatah disemayamkan di sebelah masjid yang masih berada di lokasi pondok. Dan para pelayat terus berdatangan hingga siang. Salat jenazah pun dilaksanakan hingga beberapa gelombang.

Malam ketiga setelah kepergian Kiai Fatah, rumah yang kini dihuni Bu Nyai Siti dan Ning Warda itu begitu ramai. Tahlilan telah usai digelar dan sanak-saudara telah beranjak pulang. Namun suasana rumah yang berada di antara pondok putri dan pondok putra itu masih sibuk. Anak-anak Kiai Fatah beserta para menantu sedang berkumpul. Hingga malam ke tujuh orang-orang yang mengikuti tahlilan semakin membludak. Ketika malam mulai larut, ustadz senior yang kini sering dipanggil Kiai Syukri itu dipanggil ke ndalem. Di situ ada keluarga besar mendiang Kiai Fatah beserta kerabat dekatnya. Lama Kiai Syukri berada di ndalem, entah membicarakan apa.

Pesantren Futuhiyah merupakan warisan Kiai Zaini Maftuh yang diteruskan oleh Kiai Fatah. Dan sepeninggal Kiai Fatah tonggak kepemimpinan pesantren dijalankan oleh Bu Nyai Siti yang merupakan adik kandung Bu Nyai Fatimah, istri Kiai Fatah yang pertama. Sedangkan, kedua istri Kiai Fatah itu adalah putri-putri Kiai Zaini Maftuh, sang pendiri pondok. Saat ini, sejak ditinggal kiai-kiai kharismatik itu, keadaan pondok Futuhiyah tetap tidak surut. Kegiatan pengajian tetap berlangsung karena dalam kesehariannya proses pembelajaran telah diampu oleh para asatidz yang juga merupakan jebolan pondok tersebut. Kepemimpinan pondok putra sekarang sebagian besar berada di bawah kendali Kiai Syukri yang diangkat menjadi lurah pondok beberapa tahun terakhir. Maka dari itulah suasana pondok tetap bisa berjalan seperti saat masih ada Kiai Fatah. Kalaupun ada yang berbeda, maka itu adalah perangai Kiai Syukri.

Kiai yang masih tetap mondok itu sekarang jarang keluar dari kamar yang memang berada agak jauh dari kamar santri-santri lain. Ketika duduk dengan para santri pun sekarang dia jarang berkelakar, berbeda dengan sebelumnya yang selalu melontar guyonan terhadap teman serta murid-muridnya. Kesedihan karena ditinggal kiainya telah berangsur-angsur terlupakan. Pun demikian, tentang kegagalan pernikahannya dengan putri Haji Toha, dia sama sekali tidak bersedih karenanya. Justru dia bersyukur karena setelah pembatalan pernikahan itu tersiar kabar putri Haji Toha ternyata hamil tanpa mau mengaku siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Maka dari itu para santri bingung menebak asal muasal kesedihan gurunya itu.

Tahlilan tepat setahun meninggalnya Kiai Fatah digelar. Setelah acara usai anak serta kerabat dekatnya masih berkumpul di rumah yang dulunya dihuni Kiai Zaini dan dilanjutkan oleh Kiai Fatah itu. Kiai Syukri datang ketika malam mulai larut. Keluarga ndalem itu mempersilakan Kiai Syukri dengan sambutan hangat.

“Bagimana dengan permintaan kami serta wasiat abah setahun yang lalu, Kiai?” tanya Gus Zuhrul, suami Ning Farha beberapa saat kemudian. Kiai Syukri menunduk. Semua terdiam menanti jawaban Kiai Syukri.

“Baiklah, kalau itu memang wasiat Kiai Fatah serta permintaan keluarga ndalem, saya bersedia untuk menikahi Bu Nyai Siti dan meneruskan tongkat estafet kepengasuhan pesantren ini,” jawab Kiai Syukri dengan suara lirih.

Bacaan hamdalah terucap dari segenap yang hadir di ruangan itu. Dan di sudut ruangan itu senyum indah merekah di sudut bibir Bu Nyai Siti. Istri mendiang Kiai Fatah yang masih seumuran dengan Kiai Syukri itu tampak bahagia. Di tempat duduknya, Kiai Syukri mengucap syukur tak sudah-sudah di dalam hati.

Mentaraman, 31 Mei 2020

Multi-Page

Tinggalkan Balasan