Kiai Syukri di Antara Sabar dan Syukur

3,252 kali dibaca

Malam menukik tajam. Setelah akad ijab dan kabul usai, rumah mendiang Kiai Zaini Maftuh berangsur-angsur sepi. Beberapa kerabat dekat, bahkan kedua anak Kiai Fatah serta suami dan anak-anaknya, juga telah kembali ke rumah masing-masing. Kiai Syukri duduk sendirian di ruang tengah. Di hadapannya ada segelas kopi yang masih terlihat mengepul. Sedangkan, Bu Nyai Siti selepas membuatkan kopi kemudian beranjak ke kamar Ning Warda, anaknya. Dan tegukan-tegukan kopi hitam itu mengantar pikiran Kiai Syukri berselancar ke mana-mana. Tidak masuk dinalar bahwa malam ini dia akan menempati rumah mendiang guru-gurunya ini. Padahal dahulu memasuki rumah ini saja dia merasa tak pantas.

Kopi dalam gelas itu terus menguap bersama menguapnya waktu. Kini segelas kopi di atas meja itu tinggal separo. Uapnya telah berhenti mengepul. Bu Nyai Siti belum juga keluar dari kamar anaknya. Dan pikiran Kiai Syukri masih terus berselancar mengulas perjalanan hidup yang ia lalui.

Advertisements

***

Tepat lima belas tahun silam dia pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini sebagai khodim Kiai Fatah. Dan perjalanan waktu terasa cepat sekali. Kini tiba-tiba dia sudah menjadi pemilik rumah yang pernah ditempati kiai itu. Sejak awal berdiri rumah ini memang selalu dihuni oleh para pengasuh Pesantren Futuhiyah. Ketika sekarang dia mendapat wasiat meneruskan estafet mengasuh pesantren, maka Kiai Syukri juga menempati rumah ini bersama istri yang merupakan putri pendiri Pesantren Futuhiyah.

Melihat deretan kitab yang dipajang di lemari seketika Kiai Syukri mengingat kenangan-kenangan saat mengaji pada Kiai Fatah. Banyak sekali pengajian kitab yang dia kaji secara khusus pada Kiai Fatah di rumah ini. Tafsir Jalalain dia kaji di kamar gurunya itu selama sekitar enam tahun. Kitab-kitab fikih semacam Nihayatuzzain,Fathul Mu’in, dan beberapa kitab lain juga dia kaji khusus.

Ketika itu kedua putri Kiai Fatah yang masih kecil juga ikut mengaji bersama Kiai Syukri muda. Selain itu masih ada banyak kitab yang dikaji secara khusus dengan waktu yang tidak ditentukan. Dari mengaji langsung pada kiai alim itulah keilmuan serta kepribadian Kiai Syukri ditempa. Tak jarang dia diminta untuk membaca kitab kosong atau diberi pertanyaan tentang permasalahan-permasalahan tertentu. Tekanan-tekanan dalam belajar itu membuatnya semakin matang dalam memahami kitab kuning. Mengingat kenangan-kenangan itu bulir-bulir air matanya menggenang di pelupuk mata.

Kemudian pikiran Kiai Syukri beranjak pada apa yang sedang dialaminya. Dada pengasuh Pesantren Futuhiyah yang baru itu semakin berdebar-debar. Keringat dingin mengaliri sekujur tubuhnya. Entah bagaimana warna perasaannya harus dilukiskan. Bu Nyai Siti yang sudah menginjak usia empat puluh tahun ini masih terlihat sangat cantik. Dan itu membuat dada Kiai Syukri selalu penuh oleh rasa syukur. Memperistri Bu Nyai Siti yang merupakan mantan Kiai Fatah itu tak ubahnya seperti mendapatkan durian runtuh. Rasa syukur dan sabar dalam menunggu jodoh hingga di usianya yang keempat puluh tahun ini benar-benar berbuah manis.

Sebelum menjadi istri almarhum Kiai Fatah beberapa tahun yang lalu, Bu Nyai Siti sempat menikah. Suaminya yang pertama ialah Gus Jauhar, salah satu penerus pesantren besar di Pasuruan. Ketika hidup bersama putra kiai kharismatik asal kota Pasuruan itu, Bu Nyai Siti melahirkan Ning Warda yang kini baru akan masuk SMA. Gus Jauhar meninggal di usia muda. Bu Nyai Siti pun kemudian kembali ke rumah orang tuanya di Pesantren Futuhiyah. Saat itu kepulangannya dikarenakan diperistri oleh mantan suami mendiang kakaknya, yakni Bu Nyai Fatimah. Setelah menjadi istri Kiai Fatah, kedudukan pengasuh pesantren putri pun digantikan olehnya. Dan sudah menjadi kehendak-Nya bahwa kemudian Kiai Fatah meninggal dunia menyusul Bu Nyai Fatimah, istri pertamanya.

***

Lamunan Kiai Syukri terhenti ketika melihat istrinya keluar dari kamar Ning Warda. Dan apa yang terjadi kemudian memukul ketabahannya sebagai pengantin baru. Setelah ngeroki Ning Warda yang masuk angin hingga larut malam, Bu Nyai Siti mengeluhkan sakit pada tangan kanannya. Ketika pagi datang tangannya bahkan terasa semakin sakit. Akhirnya perempuan yang baru saja melangsungkan pernikahan yang ketiga kalinya itu harus dirawat di rumah sakit. Bukannya sembuh, stroke yang menyerang tubuh Bu Nyai Siti semakin bertambah parah. Setelah berminggu-minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya ibunda Ning Warda itu dirawat di rumah. Ning Warda yang masih menempuh sekolah SMA di salah satu pesantren di Kediri hanya sesekali bisa pulang untuk merawat ibunya. Kiai Syukri sendiri selain mengurusi istrinya juga masih disibukkan dengan kegiatan mengajar di pesantren serta beberapa jemaah ta’lim di kampung-kampung.

Belum ada dua tahun setelah pernikahan antara Kiai Syukri dan Bu Nyai Siti, Pesantren Futuhiyah kembali diterpa ujian. Bu Nyai Siti meninggal dunia karena penyakit stroke yang menggerogoti tubuhnya semakin parah. Mendung kesedihan menyelimuti pesantren itu. Kiai Syukri merasa ini adalah bagian dari ujian terbesar dalam hidupnya. Seorang santri keturunan orang biasa yang menikahi mantan istri dari kiainya sendiri serta menanggung tanggung jawab besar mengasuh pesantren putra-putri bukanlah beban yang ringan.

Apalagi setelah kewafatan istrinya itu, dia merasa seperti kehilangan pegangan. Walaupun sedang sakit, ketika masih hidup Bu Nyai Siti masih ikut terlibat dalam mengurus pesantren putri. Walaupun jumlahnya tidak begitu banyak, tapi bagi Kiai Syukri yang belum pernah mengurusi santri putri membuatnya kewalahan. Kepercayaan dari masyarakat pun kian berkurang. Jumlah santri semakin sedikit. Suara-suara miring dari orang-orang yang dengki juga terdengar semakin nyaring.

Kiai Syukri yang sebenarnya di lingkungan Pesantren Futuhiyah merupakan orang lain karena bukan keturunan Kiai Zaini Maftuh dianggap sebagai pemicu kemerosotan pesantren itu. Semakin hari suara-suara sumbang dari masyarakat itu semakin terdengar. Bahkan ada pula fitnah yang diembuskan dari mulut-mulut keji bahwa dia adalah orang di balik kematian Kiai Fatah yang ingin menikahi Bu Nyai Siti. Tuduhan-tuduhan itu hanya berkembang di masyarakat. Tidak ada yang berani mengadukannya pada Kiai Syukri sendiri.

Sempat terpikirkan di benak Kiai Syukri untuk melepas kedudukannya sebagai pengasuh pesantren. Bahkan Kiai Syukri sempat meminta kedua menantu Kiai Fatah yang berada di Kediri dan Jember untuk kembali ke Pesantren Futuhiyah guna melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan pesantren. Dia sendiri ingin kembali ke kampung halamannya dan menyebarkan ilmu di sana. Sayangnya kedua menantu Kiai Fatah menolak permintaan itu lantaran sudah mengurusi pesantren mereka sendiri. Betapapun itu berat baginya, tapi Kiai Syukri dapat menerima alasan mereka.

Seiring berlalunya waktu, fitnah dan cemoohan itu berangsur sirna dengan sendirinya. Menantu Kiai Fatah yang kedua itu semakin mendekatkan diri pada Ilahi. Setiap malam Kiai Syukri selalu menyempatkan diri berziarah di makam para pengasuh Pesantren Futuhiyah. Puasa pun setiap hari ia lakukan. Usaha dzohir pun juga tak luput ia lakukan. Kegiatan pengajian semakin diintensifkan. Undangan dari orang-orang yang punya hajat sering ditolaknya demi kelangsungan pengajian di pesantren. Tapi memang jumlah santri yang menimba ilmu di Futuhiyah terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu.

Suatu malam Kiai Syukri tertidur di area makam Kiai Zaini dan Kiai Fatah. Dalam tidur itu dia bermimpi tentang suatu hal yang aneh. Bukannya mendapat pencerahan, mimpi itu justru menjadi penyebab rasa gelisah yang semakin menyesaki pikirannya. Dan anehnya mimpi itu selalu berulang ketika Kiai Syukri tertidur di makam itu. Hari-hari yang dilalui Kiai Syukri semakin berjejal dengan resah. Saat-saat ketika tenggelam dalam kesedihan itu, mengaji di depan para santri adalah hiburannya. Dia merasa waktu ketika tenggelam dalam menekuri kitab adalah saat yang paling dekat dengan Allah. Dan hatinya semakin tenang bersamaan kedamaian yang ia rasakan ketika berdekatan dengan Sang Pencipta.

Kiai Syukri membulatkan tekad untuk sowan kepada Kiai Sofawi di Banyuwangi untuk memecahkan teka-teki mimpi yang selalu menghampirinya itu. Kiai Sofawi adalah adik bungsu Kiai Zaini Maftuh. Kiai sepuh itu terkenal dengan ilmu kasyaf-nya. Dengan menaiki bus serta berpakaian layaknya bukan seorang ulama, akhirnya Kiai Syukri sampai juga di desa tempat kediaman Kiai Sofawi. Suasana pesantren yang sejuk diiringi suara para santri yang sedang mengaji membuat hati Kiai Syukri terasa damai. Keinginannya hidup di perdesaan kian tumbuh bergelora. Bisikan-bisikan dalam hati untuk meninggalkan tanggung jawabnya di Futuhiyah itu segera dia istighfari. “Bukankah bapakku memberi nama Syukri supaya aku menjadi orang yang selalu punya rasa syukur?” desisnya dalam hati.

“Terus ada apa kamu jauh-jauh datang kemari?” tanya Kiai Sofawi setelah mengenali menantu Kiai Zaini ini.

“Hampir setiap kali tidur saya bermimpi aneh, Kiai.”

“Mimpi apa?” adik bungsu Kiai Zaini yang sudah tampak renta itu kembali bertanya.

“Saya melihat cahaya terang bersinar di Pesantren Futuhiyah. Di tengah cahaya itu kulihat ada pohon kelapa berdiri menjulang. Aku melihatnya dari kejauhan betapa rindang daun dan tandan buah kelapa itu. Namun, tiba-tiba pohon kelapa itu roboh, dan cahaya itu kemudian meredup. Dan tampaklah ada sebuah tunas kecil tidak jauh darinya. Tunas itu kemudian membesar dan kemudian tumbuh menjulang. Cahaya pun terang kembali. Namun, setelah aku dekati pohon kelapa itu roboh kembali, dan cahaya itu semakin redup. Lalu kulihat ada tunas lagi di sebelahnya. Kemudian tunas itu tumbuh membesar dan berdiri menjulang pula. Cahaya pun kembali terang. Aku mendekatinya lagi. Dan sayangnya pohon kelapa itu kembali roboh ketika kudekati. Sama seperti sebelumnya, setelah itu ada tunas baru lagi yang tumbuh di dekatnya. Kali ini aku membiarkannya. Aku takut tunas itu akan kembali roboh ketika aku dekati,” Kiai Syukri mengakhiri ceritanya dengan hembusan nafas panjang. “Mimpi inilah yang selalu datang dalam tidurku, Kiai. Mimpi-mimpi yang kualami kejadiannya sama persis dengan yang kuceritakan tadi, membuatku jadi merasa musykil,” papar Kiai Syukri meminta pencerahan.

“Cahaya itu adalah fadhol dari Allah untuk Pesantren Futuhiyah. Pohon kelapa yang pertama adalah Kang Zaini Maftuh. Pohon kelapa yang kedua adalah Fatimah, istri Kiai Fatah. Sedangkan pohon kelapa yang ketiga adalah Siti Zainab, istrimu yang baru meninggal itu,” tukas Kiai Sofawi.

“Lalu, tunas kelapa yang keempat itu siapa Kiai?” tanya Kiai Syukri lagi.

“Dia adalah Wardatul Fariha, putri Siti Zainab,” jawab Kiai Sofawi.

“Apa arti dari mimpi ini Kiai?”

“Minumlah dulu airnya, maaf cuma air putih,” pinta Kiai Sofawi. Kiai Syukri pun meminum air putih itu.

“Apakah kamu ingin cahaya pesantren itu bersinar terang kembali?”

“Tentu Kiai. Jika cahaya itu kembali terang maka akan semakin banyak orang yang dapat mereguk anugerah-Nya. Futuhiyah akan semakin diliputi keberkahan.”

“Kālau kamu mau, ikutilah isyaroh dari mimpi itu.”

“Isyaroh apa Kiai?” tanya Kiai Syukri penasaran.

“Dekatilah tunas itu.”

“Jadi, saya harus menunggu mimpi itu datang lagi dalam tidurku, Kiai?” Kiai Syukri tampak bingung. Kiai Sofawi tersenyum.

“Tidak perlu. Tunas itu sekarang ada di alam nyata. Dia ada di sini,” sahut Kiai Sofawi.

Kiai Syukri terdiam memikirkan ucapan adik Kiai Zaini itu.

“Maksudnya apa Kiai?”

“Menikahlah dengan Ning Warda.”

Kiai Syukri tersentak kaget.

“Tidak mungkin Kiai. Dia adalah anak tiri saya,” jawab Kiai Syukri penuh gemetar.

“Bukankah kamu belum pernah menyentuh ibunya? Dia belum menjadi mahrommu,” tegas Kiai Sofawi.

“Sambunglah nasab kemuliaanmu dengan menikahi keturunan Kiai Zaini itu, agar pesantrenmu semakin berkah,” sambung Kiai Sofawi.

Kiai Syukri tampak semakin bingung.

“Tapi, apa akan dikata orang nanti, Kiai? Mereka akan semakin mencemoohku. Menikahi anak sendiri itu sangat tidak lazim Kiai.”

“Kamu takut dicela orang? Kamu masih menuhankan omongan manusia?”

“Bukan begitu maksud saya, Kiai,” tukas Kiai Syukri.

“Lupakah kamu dengan kisah pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy? Dulu Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah untuk menikahi mantan istri anak angkatnya, yaitu Zaid bin Haritsah. Padahal, zaman itu anak angkat dianggap sebagai anak kandung sendiri, sehingga menikahi Zainab binti Jahsy yang merupakan mantan istri Zaid bin Haritsah dianggap kaumnya sebagai menikahi menantunya sendiri. Namun, Allah berkehendak lain. Anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung. Pernikahan itu adalah ujian besar bagi Rasulullah karena menentang adat yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya dianut oleh orang Arab. Pernikahan itu sekaligus untuk menjelaskan status anak angkat yang memang sebenarnya tidak ada dalam Islam. Sekarang, takutkah kamu menikahi Warda?”

“Kalau saya sebenarnya tidak takut Kiai, mungkin Warda yang takut sama saya,” jawab Kiai Syukri akhirnya.

Kiai Sofawi terpingkal-pingkal. “Berarti kamu bersedia menikahinya?”

“Tapi dia tidak mungkin bersedia, Kiai. Usiaku sudah empat puluh tahun lebih, sedangkan dia mungkin baru dua puluh tahun,” tukas Kiai Syukri.

“Dia pasti bersedia. Biar kunikahkan kalian di sini.”

“Kiai bercanda. Dia sekarang masih mondok di Kediri sana,” tukas Kiai Syukri musykil.

“Warda ada di sini semenjak kemarin. Dia bertanya perihal mimpi yang sama seperti yang kamu ceritakan tadi. Menikahlah, biar cahaya di Pesantren Futuhiyah itu semakin terang.”

Lidah Kiai Syukri terasa kelu. Tenggorokannya tercekat. Dan pikirannya bingung. Apakah dia harus bersabar ataukah harus bersyukur mendengar tafsir mimpi dari Kiai Sofawi itu?

Bantur, 9 Juni 2020

Multi-Page

Tinggalkan Balasan