Kiai Nur Hadi, Guru yang (Terus) Hidup

5,983 kali dibaca

SALAH SATU pengajar favorit sewaktu duduk di bangku sekolah di Perguruan Islam Mathali’ul Falah adalah Kiai Nur Hadi. Masyarakat sekitar menyebut pesantren yang berada di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ini dengan Mathole’ –dengan huruf tha dan ‘ain yang fasih. Kajen adalah sebuah desa yang dikelilingi oleh belasan pesantren dan sekolah formal. Beberapa tokoh besar pernah lahir di desa ini, seperti Kiai Sahal Mahfud atau pamannya, Kiai Abdullah Salam.

Selain menjadi guru di Mathale’, Kiai Nur Hadi adalah seorang pengasuh pesantren yang letaknya di depan makam seorang waliyullah bernama Syaikh Ahmad Mutamakkin. Sebagaimana para pengasuh pesantren di Desa Kajen, Kiai Nur Hadi adalah sosok yang menjalankan laku bersahaja. Rumahnya yang berada tepat di samping pesantren hanya berlantai batu bata, sebagian di-plester dan sebagian lainnya dibiarkan terbuka.

Advertisements

Jika kebetulan sowan ke ndalem Kiai Nur Hadi, kita tidak akan mendapati perabotan atau pernak-pernik yang mencolok atau mewah. Satu-satunya barang mewah di sana adalah deretan kita-kitab kuning. Di ruang tamu, di mana biasa tetamu sowan atau orang tua yang menjenguk anaknya yang sedang belajar, hanya ada meja kursi tua berwarna coklat yang pliturnya sudah memudar.

Kiai Nur Hadi mengasuh pesantren putra dan putri. Jumlah santrinya mencapai ratusan orang. Meski begitu, ia tetap hidup dengan penuh kesederhanaan. Satu waktu, saat hendak berkunjung ke rumah teman di daerah Juawana dengan menaiki kendaraan umum, saya terkejut sekali. Kiai Nur Hadi dan salah satu menantu laki-lakinya ternyata menjadi penumpang di bus yang sama yang saya naiki. Dengan usia lanjut dan posisi yang disandangnya, pantas kiranya jika menggunakan kendaraan pribadi.

Beda Fikih Kaya-Miskin

Kiai Nur Hadi yang sehari-hari menggunakan sepeda onthel tua itu selalu mengajarkan takzim pada guru. Setiap kali melintasi makam Syaikh Mutamakkin yang berada tepat di depan rumahnya, Kiai Nur Hadi selalu turun dari sepeda dan membungkukkan badan. Itu dilakukan sebagai sebuah penghormatan pada Syaikh Ahmad Mutamakkin. Pada guru alim yang sudah berbeda alam saja, Kiai Nur Hadi memberikan teladan tentang adab, apalagi pada ulama yang masih hidup.

Selain kesederhanaan hidupnya, cara mengajar dan cara pandang Kiai Nur Hadi memberikan kesan tersendiri bagi saya. Kiai Nur Hadi mengajar mata pelajaran fikih dan ushul fikih. Belajar fikih dan ushul fikih, bagi saya, waktu itu bukan semata-mata belajar tentang hukum yang terlihat hitam dan putih, melainkan seperti mengarungi samudera luas dengan segala pemandangannya. Dalam fikih dan ushul fikih itu, kita tidak hanya belajar halal dan haram, tetapi juga belajar tentang bagaimana suatu hukum diproduksi dan bagaimana alat produksi (ushul fikih) itu bekerja. Setiap Kiai Nur Hadi mengajar di kelas, saya selalu merasa mendapatkan suatu pemahaman dan pengetahuan baru. Dan, tentu saja, pelajarannya tak pernah membosankan.

Satu siang yang terik bersama dengan redupnya mata teman-teman di kelas, Kiai Nur Hadi menjelaskan tentang kafarat yang mempunyai dimensi a’la (ambang batas teratas) dan adna (ambang batas terendah), membuat saya manggut-manggut. Bagaimana Kiai Nur Hadi memaknai kembali a’la dan adna dalam kafarat dengan menekankan bahwa ukuran a’la dan adna masing-masing orang itu berbeda. Misalnya, jika ada orang yang melakukan jima’ (hubungan badan suami-istri) di bulan Ramadan, maka ukuran a’la dan adna kafarat-nya berbeda  untuk orang yang secara materi mampu dan orang yang lemah secara materi. A’la bagi orang yang mampu, menurut Kiai Nur Hadi, tidak bisa disamakan dengan a’la-nya orang yang secara materi kurang. Sebab, jika a’la dari kafarat  adalah puasa, maka itu tidak menjadi a’la bagi orang yang secara materi tidak mampu. Mengapa? Bisa jadi puasa bagi orang miskin bukanlah hal yang berat, karena sudah terbiasa berpuasa, maka a’la kafarat-nya adalah membayar denda. Sebaliknya, a’la bagi orang yang secara materi mampu tidak bisa disamakan dengan orang yang secara materi lemah, karena bagi orang mampu, membayar denda menjadi mudah dengan adanya materi yang berlimpah. Kafarat a’la bagi orang yang mampu adalah berpuasa.

Tentang Tubuh Perempuan

Di lain kesempatan, pelajaran Kiai Nur Hadi membuat saya tertegun. Saat itu salah satu teman kelas mengadu kepadanya tentang cara saya menggunakan kain (jarit) –seragam sekolah di Mathale’ untuk siswinya memang masih menggunakan kebaya sebagai atasan dan kain jarit yang dililit sebagai bawahan. Menurut sebagian orang, saya memperlihatkan aurat karena hanya mengenakan jarit semata kaki.

Saya memang selalu mengenakan kain (jarit) seragam setinggi mata kaki. Saya sengaja tidak memakai kain (jarit) seperti yang lain –yang kainnya sampai menjuntai ke tanah. Alasannya praktis saja waktu itu. Saya tidak suka jika kain yang saya kenakan terkena tanah, karena jika menjuntai ke tanah pekerjaan mencuci akan lebih berat dan pastinya akan menghabiskan banyak diterjen.

Dan apa jawaban Kiai Nur Hadi? “Ya tidak apa-apa. Yang salah bukan yang pakai (kain) jarit, yang harus ditanya itu kenapa mata orang (yang bukan mahram) jalan-jalan ke mana-mana”. Sungguh, mendengar jawaban itu saya bahagia bukan kepalang, meski saya tidak begitu paham tentang makna sebenarnya yang ingin disampaikan Kiai Nur Hadi.

Baru-baru ini saja saya (mengira) bahwa yang disampaikan oleh Kiai Nur Hadi adalah bahwa tubuh itu milik dari masing-masing orang, ia tidak boleh dikontrol oleh siapa pun. Bahwa saya sebagai perempuan mempunyai hak penuh atas tubuh saya sendiri. (Saya juga mengira) Kiai Nur Hadi mengajarkan bahwa jika ada pelecehan terhadap perempuan, perempuan tidak bisa disalahkan begitu saja. Perempuan tidak bisa disalahkan terus menerus, seharusnyalah laki-laki juga menjaga mata dan perbuatannya.

Beberapa bulan sebelum keberangkatannya ke tanah suci, Kiai Nur Hadi wafat. Sore itu saya sedih luar biasa. Kami kehilangan untuk selama-lamanya. Tulisan ini saya khususkan untuk Kiai Nur Hadi yang senantiasa hidup dalam memberikan pelajaran tentang kesederhanaan. Seorang guru yang tidak hanya mengajar dalam ruang-ruang kelas yang terbatas. Seorang guru yang mengajarkan arti sebuah keadilan yang berimbang. Seorang guru, yang meski telah wafat, masih senantiasa hidup untuk terus mengingatkan agar menjadi manusia sederhana yang apa adanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan