Kiai Kampung Berjuluk Hamba Ilmu

2,155 kali dibaca

Tubuhnya tak terlalu tinggi bahkan cenderung kecil. Kulitnya kuning langsat dan usianya sudah sepuh. Walau begitu, tatapan matanya sangat tajam dan tenaganya masih kuat seperti muda usia. Penampilannya sederhana dan santun, namun tetap bersahaja. Baju koko berwarna putih tak pernah lepas dari tubuhnya. Kepiawaian dan kedalaman ilmu di bidang agama tak seorang pun meragukannya. Hari-harinya diwarnai dengan aktivitas bermanfaat buat umat, seperti mengajar dan membimbing para santri-santrinya. Juga mengayomi masyarakat.

Dialah KH Syarfuddin Abdus Shomad. Lahir di Kangean, Sumenep, Madura pada 23 Jumadil Akhir 1346 H, bertepatan dengan 14 Juni 1925 M. Berasal dari keluarga kiai kampung, silsilahnya adalah KH Syarfuddin ibn KH Abdus Shomad ibn Kiai Dawud ibn Kiai Damsyiah ibn Kiai Abdul Bari (Ju’aji). Dari sini jelas bahwa Kiai Syarfuddin adalah keturunan kiai atau ulama yang cukup berpengaruh, terutama di Arjasa Lao’ dan Duko Lao’ (dusun Kiai Syarfuddin tinggal).

Advertisements

Bagi masyarakat Arjasa Lao’-Duko Lao’, Kiai Syarfuddin dikenal sosok kiai, ulama, dan pendidik yang toleran sekaligus panutan/teladan dalam segala aspek. Juga dikenal sebagai bagian penting dalam penyebaran agama Islam di awal dekade 1960-an. Kontribusinya begitu besar terhadap tegaknya Islam Ahlussunnah Waljamaah, terutama di pulau-pulau terpencil di Kabupaten Sumenep. Dan, Kiai Syarfuddin adalah inisiator berdirinya Pondok Pesantren Zainul Huda, Arjasa, Sumenep yang terpisah dari surau yang didirikan ayahandanya (KH Abdus Shomad).

Kini, di pesantren yang diinisiasi oleh Kiai Syarfuddin tersebut telah berdiri sejumlah lembaga pendidikan, seperti Raudhatul Athfal (TK), Madrasah Diniyah Takmiliyah mulai dari tingkat bawah hingga atas, Madrasah Ibtida’iyah, SMPI Zainul Huda, dan SMAI Zainul Huda. Karena usia Kiai Syarfuddin sudah sepuh, 97 tahun, maka pengelolaan lembaga pendidikan pesantren sudah didelegasikan kepada anak, menantu, cucu, dan para alumnus Pondok Pesantren Zainul Huda yang sudah kembali dari studi di Jawa.

Pembelajar Sepanjang Masa

Namun yang menarik dari KH Syarfuddin Abdus Shomad, walaupun usianya sudah sepuh mungkin tidak ada yang lebih sepuh dari beliau di desanya, adalah girahnya akan ilmu pengetahuan yang tak pernah surut. Semangat ini tampaknya diwarisi dari ayahandanya. Konon, masyarakat Arjasa Lao’ dan Duko Lao’ mengenal Kiai Abdus Shomad sebagai kiai yang istikamah (konsisten) dalam belajar. Bahkan hingga akhir hayatnya. Kitab-kitab yang dikunyahnya meliputi kitab fikih, hadis, tasawuf, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan Kiai Syarfuddin.

Sebagai putra kiai, adalah wajar jika Kiai Syarfuddin mewarisi kebiasaan-kebiasaan keluarganya. Masa kecil Kiai Syarfuddin dihabiskan untuk belajar kepada ayahandanya, selain mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat). Di bawah bimbingan ayahnya, Syarfuddin kecil belajar Al-Quran, ilmu tajwid, kitab al-Jurumiyah, Safinah al-Najah, dan Sullam al-Taufiq. Di samping belajar ilmu-ilmu umum. Walau begitu, Syarfuddin merasa tidak puas hanya belajar di desa. Menginjak usia dewasa, ia melanjutkan studinya ke Pesantren Annuqoyah Guluk-Guluk Sumenep, Madura. Di pesantren inilah, Syarfuddin muda banyak belajar tentang ilmu-ilmu keislaman pada kiai-kiai Guluk-Guluk.

Karena kondisi perekonomian tidak stabil seperti sekarang sehingga mengganggu suasana belajar di pesantren, maka akhir tahun 1943 Syarfuddin memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Meski terbilang sebentar berada di pesantren ini, tetapi kedalaman ilmu agama yang dimilikinya tak bisa diragukan. Kealimannya sudah masyhur di kalangan masyarakat, terutama di Kangean, Sumenep. Tak heran jika Kiai Syarfuddin dijadikan rujukan masyarakat di kampungnya dalam segala aspek. Baik menyangkut persoalan agama, persengketaan, maupun urusan remeh-temeh masyarakat; pertanian dan lain-lain.

Dari saking alimnya, konon Kiai Syarfuddin pernah diskusi seputar persoalan fikih selama kurang lebih tiga hari tiga malam dengan KH Abdul Adhim, seorang kiai asal Gowa-Gowa Raas, Sumenep, lulusan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, yang kemudian menetap di pulau Kangean Sumenep, yang kealimannya juga tak seorang pun meragukan. Alhasil, Kiai Abdul Adhim mengakui akan kealiman Kiai Syarfuddin.

Sementara itu, yang tak kala menariknya adalah konsistensi Kiai Syarfuddin dalam menuntut ilmu yang melekat hingga usianya sudah sepuh (97 tahun). Hari-harinya selalu dihabiskan untuk belajar. Kiai Syarfuddin tampaknya mengamalkan betul akan hadis Nabi, yaitu “Tuntutlah ilmu mulai dari sejak lahir hingga akhir hayat (ajal menjemput)”. Karena itu, tidak berlebihan jika Kiai Syarfuddin dijuluki sebagai “hamba ilmu” (orang yang selalu haus akan ilmu). Mengingat, hampir seluruh waktunya tersita untuk belajar.

Juga, kitab-kitab yang dipelajarinya (baca) beragam judul. Mulai dari kitab fikih, seperti Safinah al-Najah, Sullam al-Taufiq, Fathul Qorib, Bidayatul Hidayah, Fathul Mu’in, I’anah al-Thalibin, Kifayatul Akhyar, dan lainnya, hingga kitab-kitab hadis dan tasawuf, seperti Riyadhus Shalihin, Shahih Bukhari, Irsyadul Ibad, Kifayatul Atqiya, Ihya Ulumuddin, dan lain-lain. Juga dari bahan bacaan sehari-harinya, tentu selain bacaan amalan-amalan.

Demikian, kisah perjalanan KH Syarfuddin Abdus Shomad yang patut diteladani oleh generasi muda setelahnya. Dari perjalanannya ini bisa diambil hikmah, bahwa usia bukanlah alasan bagi seseorang untuk tidak belajar. Apalagi masih di bawah usianya. Juga, dalam belajar tidak ada istilah terlambat. Kapan pun kita harus tetap belajar hingga ajal menjemput. Semoga KH Syarfuddin Abdus Shomad selalu diberikan kesehatan oleh Allah dan berada dalam lindungan-Nya. Amin. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan