Kiai Hamidi di Hati Santri

1,179 kali dibaca

Sebagian orang mengatakan bahwa pesantren adalah “the little kingdom” dilihat dari “absolutisme” kepatuhan dan penghormatan santri kepada kiai. Seolah kiai adalah raja dan santri adalah abdi. Jika ada kiai lewat, misalnya, santri akan segera menyingkir beberapa langkah dan dengan kepala tertunduk, badan membungkuk, dan mata menatap ke bawah memberikan penghormatan. Apa yang dikatakan kiai akan diterima begitu saja, taken for granted. Dalam kondisi demikian, antara santri dan kiai ada jarak, tak ada keakraban, dan nihil canda tawa.

Saya tidak setuju dengan anggapan demikian, sebab fenomena yang digambarkan itu ditafsiri terlalu berlebihan. Penghormatan santri kepada kiai beragam. Ada yang seperti dicontohkan tersebut. Semua itu berdasarkan kearifan budaya lokal dan nilai agama. Dawuh kiai memang dihormati, namun tak semua diikuti.

Advertisements

Saya sangat tahu persis tentang relasi santri dan kiai, karena saya sepuluh tahun mondok di Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, sebuah pesantren yang sudah berdiri lebih seabad. Dalam waktu yang relatif lama tersebut saya diasuh oleh kiai karismatik bernama Kiai Hamidi Hasan. Bagi saya beliau adalah sosok kiai unik lagi impresif.

Santri itu Teman Kiai

Bagi Kiai Hamidi, santri adalah teman atau sahabat. Beliau selalu bilang cakanca santre (teman-teman santri). Ini panggilan yang akrab. Rujukan motif panggilan tersebut adalah Rasulullah yang menganggap semua muridnya adalah sahabat. Tentu saja ini tidak hanya di lisan, tapi juga tercermin pada tindakan dalam keseharian. Yang namanya teman atau sahabat, tentu tidak ada jarak. Kiai Hamidi memang tidak berjarak dengan santri-santrinya.

Beliau tidak sungkan makan bareng dengan santri. Lazimnya, wadah yang digunakan santri nampan. Dengan daya tampungnya yang lebar, ia bisa mewadahi nasi sedemikian banyak sehingga 5-6 orang bisa makan berjejer mengitarinya. Tentu saja santri merasa segan walaupun beliau nampaknya santai saja. Saat olahraga pagi hari, beliau juga ikut berolahraga di samping santri mengikuti irama musik dan gerakan instruktur yang berdiri di hadapan beliau. Padahal intruktur itu adalah santri beliau.

Beliau juga ikut pengajian Kitab Riyadlu Al-Salihin pagi hari yang diasuh kakak beliau. Kadang beliau tidur setelah pengajian kitab, seperti layaknya kebiasaan santri. Beliau juga mengajak santri untuk nonton bareng (nobar) film-film inspiratif di halaman pesantren atau di kamar tamu beliau. Misalnya, film berjudul Behind the Enemy’s Line.

Lebih dari itu, Kiai Hamidi menjadi pengasuh dalam arti sesungguhnya. Beliau mengasuh intelektual, keterampilan, dan spiritualitas santri. Beliau juga mengasuh perkembangan fisik dengan menjamin kecukupan sandang pangan mereka. Jika santri tidak punya beras dan uang, karena kiriman dari orangtua belum tiba, mereka bisa meminjamnya kepada beliau. Coba, pinjam uang dan beras kepada kiai, Wow…! Dan itu merupakan hal nyata di pesantren saya.

Tiga Pengalaman Tak Terlupakan

Suatu malam saya tidak tidur agak larut. Soalnya perut lapar. Kiai Hamidi datang. Ini biasa beliau lakukan. Semacam inspeksi. Beliau lalu bertanya apakah saya lapar. Saya mengangguk pelan, agak ragu dan malu. Beliau tersenyum dan mengajak saya ke kediaman beliau. Saya yang duduk di amperan dapur bisa memperhatikan beliau sibuk di dalam dapur. Saya mendengar suara ikan digoreng. Tak lama kemudian beliau datang membawa nasi lumayan banyak dan sepiring ikan. Beliau mempersilakan saya menyantap makanan tersebut sepuasnya.

Ini pengalaman pertama saya yang hingga sekarang masih membekas. Mengapa? Saya malu karena telah mengaku lapar sehingga merepotkan kiai, di waktu tengah malam lagi. Juga saya malu di dapur saya hanya diam, seperti big boss, sementara kiai saya sibuk sendiri mempersiapkan hidangan. Lebih dari itu, saya terkesan betapa baik beliau kepada saya, padahal saya hanya santri beliau.

Pengalaman kedua terjadi di bulan puasa, liburan panjang pesantren. Namun saya memilih kembali ke pesantren untuk mengikuti pengajian kitab selama Ramadan. Aturannya, kalau kembali ke pesantren wajib sowan ke kiai, berjabat tangan, dan minta izin untuk tinggal di pesantren. Itu sudah saya lakukan. Selang beberapa hari, saya bertemu Kiai Hamidi, segera saya membungkuk untuk memberi hormat layaknya tradisi pesantren. Kiai Hamidi justru mendekati saya, menguluk salam, dan menjabat tangan saya. Sontak saya terkejut.

Awalnya saya mengira beliau lupa kalau saya sudah sowan kepada beliau, sudah berjabat tangan, dan minta izin. Segera saya utarakan kalau saya sudah sowan ke beliau. Beliau tersenyum dan berkata, “Sesama muslim kalau bertemu disunnahkan menguluk salam dan berjabat tangan.”

Selesai mengikuti kegiatan Ramadan di pesantren, saya pamit pulang. Saat itu sudah sore. Beliau meminta saya untuk berbuka puasa di pesantren saja khawatir nanti waktu buka puasa tiba sedangkan saya masih dalam perjalanan. Saya tetap bersikukuh untuk pulang karena sudah rindu kampung halaman. Beliau pun mengizinkan namun meminta saya menunggu sebentar. Ternyata beliau mengambil sebotol air dingin dan seplastik kue untuk diberikan ke saya sebagai takjil kalau-kalau saya nanti berbuka puasa di tengah jalan. Inilah pengalaman ketiga saya.

Karena itu, pesantren bagi saya bukanlah the little kingdom, melainkan the big family. Saya jauh dari rumah dan orangtua di kampung halaman untuk tinggal di rumah yang lebih besar dan tinggal bersama orangtua yang mengasuh beragam aspek potensi saya di mana saya betah berlama-lama tinggal di sana hingga selesai kuliah. Pesantren saya adalah kawah candradimuka yang menyenangkan dan penuh kenangan lantaran kebaikan hati Kiai Hamidi. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan