Kiai Estafet: Tawaran Manis

232 kali dibaca

الأعمل : صورقائمة ، وأرواحها : وجود سرالإخلاص فيها .
“Amalan zahir adalah badan, sedangkan ruhnya adalah keikhlasan yang tersembunyi di dalam amalan zahir tersebut.”
Syaikh Ibnu Athoillah as Sakandary dalam Al Hikam Athoiyyah.
***
“Bukankah Nabi Muhammad berusia 25 tahun ketika menikah dengan Khadijah yang berumur 40 tahun, Kiai? Bukankah Nabi berusia 50 tahun saat menikahi Aisyah yang masih sangat belia? Bukankah umur bukan suatu penghalang pernikahan?” ucap Kiai Amin.

Dengan masih tersenyum, Kiai Syukri menimpali, “Sebentar Kiai, sesuatu yang diputuskan tergesa-gesa khawatir hasilnya kurang baik.”

Advertisements

Kiai Amin menghela napas. Seolah sesuatu baru disadarinya. Ia kemudian tertawa.

“Nanti saya akan istikharah dulu. Semoga segera ada jawaban. Jika memungkinkan, minggu depan insyaallah saya akan silaturrahmi ke rumah panjenengan,” Kiai Syukri menimpali.

Ngestuaken, Kiai. Dengan senang hati, kami tunggu kerawuhan panjenengan. Semoga akan terbuka pintu kebaikan di antara kita.”

Monggo diunjuk teh ipun, Kiai,” pinta Kiai Syukri.

Mereka kemudian terdiam. Kiai Syukri memang bukan tipe orang yang banyak bicara. Hal ini membuat Kiai Amin bingung harus berkata apa lagi.

Di depan rumah kecil itu lalu lalang santri yang pulang- pergi dari kampus atau sekolah hilir mudik. Untuk santri putri memang tidak diperkenankan belajar di luar pesantren. Santriwati Futuhiyah yang tampak beraktivitas di luar pesantren merupakan pemandangan langka, karena itu hal ini membuat momen-momen seperti itu terasa istimewa. Sementara ini kepengasuhan pesantren putra maupun putri berada di tangan Kiai Syukri.

Sedangkan untuk kelangsungan tarbiyah ada Ustazah Hani yang merupakan kepala Madrasah Diniyah Futuhiyah putri sejak era Kiai Fatah dulu. Ustazah senior ini juga merupakan pengasuh sebuah pesantren putri tidak jauh dari Futuhiyah. Sebagai alumnus Pesantren Futuhiyah, dia memang mendedikasikan hidupnya untuk almamater sebagai wujud khidmah kepada guru.

“Ngomong-ngomong, usia putri anak saya sekarang ini 19 tahun, Kiai. Namanya adalah Syafinatun Najah,” Kiai Amin mencoba mencari bahan perbincangan, mencairkan suasana.

“Panggilannya Syafin?” sahut Kiai Syukri.

“Bukan, Kiai.” Kyai Amin tersenyum geli. “Panggilannya Fina. Dia sudah hafal Al-Qur’an, Kiai. Alhamdulillah.”

“Alhamdulillah, panjenengan patut bersyukur nggih. Di zaman seperti ini masih memiliki putri yang bisa menghafal Al-Qur’an,” timpal kiai estafet Futuhiyah itu.

“Betul sekali, Kiai. Sebagai orang tua, kami sangat bersyukur.” Wajahnya yang sumringah tampak bangga menyebut keberhasilannya mendidik anak. Namun begitu, wajahnya yang teduh tak mengisyaratkan sedang menyombongkan diri. Kebahagiaannya cenderung menunjukkan rasa syukur. Apa yang dia ceritakan adalah bentuk tahaddus binni’mah. Sebenarnyalah antara sombong dan tahaddus binni’mah hanya terpisah sekat tipis bernama niat.

“Sebenarnya sudah ada beberapa lamaran dari kiai beberapa pesantren. Tapi saya belum merasa cocok, karena saya lihat pemahaman kitabnya masih kurang matang. Bahkan ada seorang gus yang tak pernah mengaji ke pesantren lain, cenderung congkak dan mengandalkan nasab orang tuanya.”

Kiai Syukri tampak tercengang.

“Bagaimana panjenengan bisa menilai mereka seperti itu?”

Kiai Amin tertawa. “Saya sempat menanyai mereka. Saya juga bisa membaca gelagat mereka. Antara orang yang berilmu dan tidak, bedanya tampak sekali. Antara yang beradab dan tidak, bedanya juga tampak jelas,” kiai itu terkekeh lagi.

Mereka kemudian terdiam, karena Kiai Syukri tidak antusias menjawab.

“Panjenengan keliru, Kiai. Saya ini bukan orang yang alim. Umur saya pun juga sudah tidak muda lagi. Saya juga merupakan keturunan orang biasa, bukan orang berdarah biru,” tukas Kiai Syukri. Ia menyeruput teh yang terhidang di meja.

“Panjenengan ini pandai merendah. Saya pernah melihat rekaman pengajian panjenengan di HP, kupasan tentang hadis itu saya kira cukup gamblang. Tumpukan kitab ini saya kira juga menunjukkan seperti apa himmah panjenengan di bidang keilmuan. Dan, orang seperti panjenengan ini sayang sekali kalau sampai tidak punya keturunan. Apalagi, pesantren ini butuh generasi penerus. Bagaimana jika pesantren ini tidak ada pewarisnya?”

“Pengajian saya itu biasa saja, Kiai.” Lelaki itu mengambil napas panjang. Menatap rak yang dipenuhi kitb-kitab, ia seperti memikirkan sesuatu. “Saya kira penerus sebuh pesantren tidak harus berasal dari keturunan pendiri pesantren. Ini bukan karena saya hanya kiai estafet, bukan dzuriyah Kiai Fatah. Saya tidak sedang membela posisi saya. Akan tetapi, asal mewarisi keilmuan, siapa saja saya kira tidak masalah mengajar di pesantren. Khususnya di bidang pendidikan. Kalaupun di bidang manajemen, seorang dzuriyah yang tidak alim, tidak mondok misalnya, tidak masalah untuk memangku pesantren di bidang manajemen. Untuk mengajar serahkan pada yang berkompeten.”

Kiai Amin tampak berusaha memahami pendapat kiai muda yang ingin ia jadikan menantu ini.
“Saya belum pernah mendengar pendapat seperti itu sebelumnya. Ini suatu hal yang tak biasa di Jawa,” Kiai Amin kemudian mengungkapkan pendapatnya.

“Pesantren itu sebenarnya perkara duniawi, Kiai. Yang merupakan perkara akhirat adalah mengaji. Padahal dalam mengaji tak harus ada pesantren. Sehingga sebenarnya ada atau tidaknya sebuah pesantren, bukanlah perkara penting bagi seorang yang benar-benar lillah.”

“Tapi tanpa pesantren sulit mentarbiyah santri. Bagaimana pesantren tidak penting?” Kiai Amin keberatan dengan pendapat Kiai Syukri.

“Maaf, saya tidak mengatakan pesantren itu tidak penting, Kiai Amin,” buru-buru Kiai Syukri mengklarifikasi.

“Lha tadi?”

“Saya mengatakan, pesantren itu perkara duniawi, mengaji-lah yang merupakan perkara ukhrowi,” tegas Kiai Syukri, mengulang ucapannya yang belum dihadapi tamunya ini.

“Nah, itu sama saja maksudnya. Bukankah وَاللآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنْ اللأُوْلَي? Akhirat lebih baik daripada dunia?” Kiai Amin mengeluarkan hujjah-nya.

“Pesantren hanyalah wasilah, itu maksud saya, Kiai,” jawab Kyai Syukri.

“مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلًّا بِهِ فَهُوَ وَاجِب ,” Kiai Amin menyitir sebuah kaidah. “Suatu wasilah tercapainya kesempurnaan sebuah perkara wajib, maka hukumnya jadi wajib.”

“Wah, saya tidak berani mendebat lagi kalau begitu, Kiai. Bisa-bisa nanti saya tidak jadi diambil menantu,” Kiai Syukri kemudian tertawa lebar. Ternyata tawa itu tidak menular kepada tamunya. Kiai Amin tampak tak suka mendengar tawa itu.

“Saya tak mengira pesantren yang merupakan wadah perjuangan para masyayikh selama berabad-abad ada yang menganggapnya tidak penting.” Kiai Amin masih belum mau menerima pendapat Kiai Syukri.

“Monggo diminum lagi tehnya, Kiai, biar lebih segar.”

Tamu itu meminum tehnya hingga tandas.

“Maaf Kiai, saya tadi hanya mengatakan bahwa dunia itu perkara dunia. Padahal kita tahu,
كم من عمل يتصور بصورة أعمال الدنيا ويصير بحسن النية من أعمال الأخرة، وكم من عمل يتصور بصورة أعمال الأخرة ثم يصير من أعمال الدنيا بسوء النية
Betapa banyak aktivitas menyangkut urusan dunia namun lantaran niat yang baik, berubah menjadi aktivitas yang bernilai akhirat. Sebaliknya, betapa banyak aktivitas keagamaan kemudian menjadi aktivitas duniawi belaka lantaran niat yang buruk.”

“Ternyata jenengan tidak seperti yang kukira,” sahut Kiai Amin.

Pripun, Kiai?”

“Lebih alim dari yang kukira, dan memiliki pendapat yang tidak biasa, namun penting juga hal seperti ini untuk memperluas hasanah pemahaman kita. Tapi, jenengan juga harus tahu satu hal tentang putri saya, Kiai Muda.”

Kiai Syukri berpikir keras. “Apakah itu Kiai. Kiai Amin ini ternyata pandai membuat orang penasaran.”

“Putri saya jauh lebih cantik dari yang jenengan kira.” Kiai Amin lantas tersenyum.

Kiai Syukri buru-buru meminum tehnya.

Sambil memperhatikan kiai muda itu, Kiai Amin berucap lagi, “Dan, satu lagi.”

Kiai Syukri memperhatikan tamunya itu dengan saksama. Semakin penasaran. Keistimewaan apa lagi yang dimiliki gadis bernama Fina itu, pikirnya.

“Fina lebih manis dari teh yang jenengan minum itu.”

Kiai Syukri nyaris tersedak.
***
Bersambung
Mentaraman, 11 Feb 2024.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan