Ki Gedeng Suro

2,997 kali dibaca

Namanya mirip dengan seorang di seberang lautan, raja era Kesultanan Palembang di awal abad ke-17, Ki Gede Ing Suro, dan konon bangsawan pelarian dari Demak. Tapi, mereka bukan orang yang sama. Dua lelaki itu hidup di masa yang berbeda. Dua bulan lalu saya mendatangi kuburnya di Kutogawang, Palembang, saya dicekam rasa heran dan ngeri, itu dikepung pabrik besar.

Tapi ini bukan kisahnya, melainkan Ki Gedeng Suro dari Tegalgubug, Cirebon.

Advertisements

Sesudah perang antara Talaga dan Cirebon, dan berakhir dengan kekalahan Talaga, Sunan Gunung Jati mengutus Seh Muhyiddin Waliyullah atau lebih dikenal Ki Gedeng Suro buat menemui pembesar Pancawala.

“Datanglah ke Pancawala,” katanya. “Sampaikan kabar kepada rajanya, saya akan sambut pemberiannya.”

“Duli, Kanjeng Sunan Jati,” jawab Ki Gedeng Suro atau Seh Abdurrohman atau Ing Singa Sayakhsyayuda, dua nama lain yang melekat pada dirinya.

Saat itu hari masih pagi di Cirebon. Sang patih unggulan atau panglima tertinggi di Kraton Cirebon, Ki Gedeng Suro, dengan tenang pamit undur diri. Dan ia pun segera berangkat ke Pancawala bersama para pengiringnya.

Di tengah perjalanan ia melihat sayembara memperebutkan wanita cantik, Nyi Mas Wedara, anak dari petinggi kerajaan Talaga yang sakti, Ki Wadaksi. “Hei, kau laki-laki asing turun dan hadapi aku,” kata Ki Wadaksi.

Ia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Apa yang menjadi masalah bagiku hingga harus masuk gelanggang. Aku bukan ayam aduan.”

Ki Wadaksi menatapnya seakan-akan ia seteru lamanya. “Kau seorang lelaki dari Cirebon,” ujarnya. “Musuh Talaga. Harus binasa.”

“Aku merasa harus mengatakan sesuatu,” seru Ki Gedeng Suro. “Kesunyian di mana-mana, tapi kegoblokan hanya di dada orang angkuh.”

Ki Wadaksi menghardik dengan suara lantang. “Turun! Turun! Bajingan! Setan! Kirik sira!”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan