Ki Gedeng Suro

3,016 kali dibaca

Namanya mirip dengan seorang di seberang lautan, raja era Kesultanan Palembang di awal abad ke-17, Ki Gede Ing Suro, dan konon bangsawan pelarian dari Demak. Tapi, mereka bukan orang yang sama. Dua lelaki itu hidup di masa yang berbeda. Dua bulan lalu saya mendatangi kuburnya di Kutogawang, Palembang, saya dicekam rasa heran dan ngeri, itu dikepung pabrik besar.

Tapi ini bukan kisahnya, melainkan Ki Gedeng Suro dari Tegalgubug, Cirebon.

Advertisements

Sesudah perang antara Talaga dan Cirebon, dan berakhir dengan kekalahan Talaga, Sunan Gunung Jati mengutus Seh Muhyiddin Waliyullah atau lebih dikenal Ki Gedeng Suro buat menemui pembesar Pancawala.

“Datanglah ke Pancawala,” katanya. “Sampaikan kabar kepada rajanya, saya akan sambut pemberiannya.”

“Duli, Kanjeng Sunan Jati,” jawab Ki Gedeng Suro atau Seh Abdurrohman atau Ing Singa Sayakhsyayuda, dua nama lain yang melekat pada dirinya.

Saat itu hari masih pagi di Cirebon. Sang patih unggulan atau panglima tertinggi di Kraton Cirebon, Ki Gedeng Suro, dengan tenang pamit undur diri. Dan ia pun segera berangkat ke Pancawala bersama para pengiringnya.

Di tengah perjalanan ia melihat sayembara memperebutkan wanita cantik, Nyi Mas Wedara, anak dari petinggi kerajaan Talaga yang sakti, Ki Wadaksi. “Hei, kau laki-laki asing turun dan hadapi aku,” kata Ki Wadaksi.

Ia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Apa yang menjadi masalah bagiku hingga harus masuk gelanggang. Aku bukan ayam aduan.”

Ki Wadaksi menatapnya seakan-akan ia seteru lamanya. “Kau seorang lelaki dari Cirebon,” ujarnya. “Musuh Talaga. Harus binasa.”

“Aku merasa harus mengatakan sesuatu,” seru Ki Gedeng Suro. “Kesunyian di mana-mana, tapi kegoblokan hanya di dada orang angkuh.”

Ki Wadaksi menghardik dengan suara lantang. “Turun! Turun! Bajingan! Setan! Kirik sira!”

Ki Gedeng Suro masih menggelengkan kepalanya. “Maukah tuan berbaik hati membiarkan kami lewat?” katanya.

“Kau tak punya waktu melarikan diri,” ujar Ki Wadaksi sambil mengacungkan pedang. “Aku akan menebas kepalamu membalaskan dendam rajaku!”

“Baiklah, kalau itu maumu.”

Dengan cepat ia mengelak, waktu Ki Wadaksi menyerbunya, dan langsung memukulnya hingga roboh dan menginjak kepalanya. “Sungguh malunya aku di hadapan Tuhan apabila membunuhmu,” ujarnya. “Aku tak mau melukaimu, biarpun hanya seinci. Bangunlah dan anak gadismu berikan pada lelaki yang mencintai.” Dan ia membiarkan Ki Wadaksi tetap hidup.

Lalu melanjutkan perjalanannya ke Pancawala. Di Pancawala ia melihat kemolekan putri Antra Wulan.

“Aku Muhyiddin, utusan Cirebon, diperintahkan datang ke Pancawala, seperti yang diucap Kanjeng Sunan, ‘aku akan terima pemberian paduka raja.’”

“Aku memahaminya,” kata raja. “Aku, Pancawala, ingin agar anakku Antra Wulan dapat diterima sebagai pendamping hidup junjunganku. Dan jika tidak keberatan, aku ingin kau mengantarkan putriku ke Cirebon.”

Ki Gedeng Suro mengangguk tanda setuju. Esoknya ia dan rombongan berangkat menuju Cirebon. Hingga pada suatu ketika, ketika mereka merasa tak cukup kuat lagi berjalan, di lihatnya gubuk di tengah hutan belantara, ia mengusulkan untuk istirahat di gubuk tua itu. “Kita bermalam di sini,” katanya. “Melanjutkan lagi ketika terbangun nanti…” Diperlukan waktu dua hari untuk mencapai Cirebon.

Belum lagi rombongan berjalan, mereka dikejutkan kedatangan Nyi Mas Rara Anten yang meminta Antra Wulan dinikahkan dengan putranya. “Aku keberatan,” kata Ki Gedeng Suro.

“Kalau begitu kau lawanku,” jawab perempuan sakti itu. “Bersiaplah mati. Sebentar lagi tempat ini akan banjir darah. Orang-orang bahkan tak bakal ingat jasad kalian semua. Aku akan membakarnya.”

“Kau keliru,” jawab Ki Gedeng Suro, “tempat ini, hingga berpuluh-puluh turunanku, akan jadi ramai, tak terhingga banyaknya.”

Perkelahian pun terjadi. Dan Rara Anten dengan pasrah menerima saja kekalahannya. “Aku mengaku kalah.”

Ki Gedeng Suro meninggalkan tempat itu, membiarkan si janda sakti itu, dan melanjutkan perjalanan. Menjelang sore, sampailah mereka. Ia langsung menghadap Kanjeng Sunan di balairung istana. Belum sempat ia bicara banyak, Sunan Gunung Jati langsung menyelanya. “Biar Putri Pancawala jadi istrimu,” katanya. “Bangunlah pedukuhan, pilihlah tempatnya. Aku akan mendoakannya…”

Ki Gedeng Suro menurut. Dan ia memilih membangun pedukuhannya di tengah hutan yang dulu jadi tempat singgah saat perjalanan dari Talaga ke Cirebon. Di kemudian hari dukuh itu dinamai Tegalgubug. Di tempat itu pula ia dikuburkan.

“Kita tahu Mbah Suro sudah mati? Tapi doanya yang dahulu terucap tak pernah pergi,” ujar teman saya di depan pusaranya di Desa Tegalgubug –35 menit dari rumah saya.

“Saya ingat betul saat kecil, desa ini miskin, sebagian besar rumah masih gubuk beratap ilalang, dan berubah ramai dalam waktu sekejap. Pasar Tegalgubug sudah mengubah peruntungan kami.”

“Ya, konon jadi pasar desa terbesar di Asia Tenggara. Omzetnya per hari pasaran (Selasa dan Sabtu) bisa miliaran rupiah. Orang datang dari mana-mana, tak hanya dari desa tetangga, tapi daerah lain yang jaraknya ratusan atau bahkan ribuan kilometer jauhnya. Bukan saja Jawa Barat atau Jakarta. Ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi,” kata saya. “Padahal pasar hanya setengah hari. Lewat itu sepi.”

“Begitulah. Dari tahun ke tahun, sejak 1972, sejak tiga orang penduduk desa, Rokmat, Yusuf, dan Yasin mulai berdagang kain dan menjajakannya ke desa-desa lain, dan sukses, warga lainnya mengikuti jejak mereka. Dan sama majunya. Entah memang kami menyimpan bakat dagang atau karena doa Ki Gedeng Suro.”

Orang-orang tua kami mengatakan, bangunan pasar baru didirikan tahun 1997 di atas lahan hampir seluas 10 hektare. Sebelumnya orang memakai bahu jalan sepanjang hingga satu kilometer lebih.

“Tapi sudah empat tahun kami harus berhadap-hadapan dengan popor dan senapan demi bisa mempertahankan pasar ini, saya di sana ketika demo-demo itu terjadi. Kami tegas menolak pembangunan Pusat Grosir Tegalgubug Cirebon dan kami bersorak saat bupati kami dicokok karena kasus korupsi. Bicaranya sama banyaknya dengan makan duit rakyatnya. Mungkin ia lupa sumpah Ki Gedeng Suro: Siapa yang berniat jahat dengan tanah ini, ia tak dapat bangkit lagi.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan