KH Muhammad Nur (1): Lentera di Pedalaman

2,213 kali dibaca

Jika, khususnya, di Desa Moncek Tengah Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Madura kini banyak masjid dan pondok pesantren serta terbangun masyarakat dengan tradisi keagamaan yang kuat, tak lain salah satunya adalah buah dari perjuangan KH Muhammad Nur. Ibarat lentera dalam kegelapan, begitulah masyarakat setempat menyebut peran penting sosoknya puluhan tahun lalu.

KH Muhammad Nur, yang memiliki nama lahir Shumu, lahir pada 1883 di Desa Sasar, Sumenep, dan wafat pada 1960 di Desa di Moncek Tengah. Shumu pindah dan menetap di Moncek Tengah setelah pada usia 20 tahun menikahi Ny Jaani. Di kampung istrinya ini, Shumu menetap di daerah pedalaman di lereng bukit desa.

Advertisements

Berdasarkan buku silsilah keluarga, Shumu merupakan putra dari pasangan KH Abdul Karim dan Ny Hj Siti Halimah. Sementara, KH Abdul Karim adalah putra dari KH  Zaidin bin Syekh Farwiyah bin Syekh Rembang bin Syekh Umar Al-Yamany dari Kudus.

Menurut cerita salah seorang putrinya, Ny Rahmatun (yang meninggal dua tahun lalu), Shumu mengganti namanya menjadi Muhammad Nur sepulang dari ibadah haji di tanah suci Mekkah. Dari pernikahan pertamanya dengan Ny Jaani, Muhammad Nur dikarunia 13 orang anak. Setelah istri pertamanya meninggal, ia menikah lagi dengan Ny Zahrah dan dikaruniai 5 orang anak. Kemudian, setelah istri keduanya itu meninggal, maka untuk yang ketiga kalinya, Muhammad Nur menikah dengan Ny Atma. Dari pernikahan terakhirnya ini, Muhammad Nur dikarunia 3 orang anak.

KH Muhammad Nur merupakan santri dari Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Bahkan, KH Muhammad Nur berguru langsung KH Syarqawi. Muhammad Nur tergolong sebagai santri yang haus akan ilmu. Terbukti, meskipun sudah menikah dan membangun keluarga sendiri, Muhammad Nur tak pernah berhenti mengaji.

Setelah beristri, ia menjadi santro kalong. Saban waktu datang ke Pondok Annuqayah untuk sorogan, mengaji langsung kepada gurunya, KH Syarqawi. Ilmu yang diperolehnya itu kemudian diamalkan dan diajarkan kepada masyarakat di kampung barunya.

Masyarakat Desa Moncek Tengah kemudian mengenalnya sebagai kiai rendah hati, wara, dan penuh tawadhuan. Kiai Nur, demikian masyarakat setempatnya memanggil namanya. Saban bepergian, Kiai Nur memang biasa menunggangi seekor kuna. Namun, ketika berpapasan dengan orang-orang desa, Kiai Nur selalu beruluk salam dan turun dari kudanya. Setelah agak jauh, barulah ia menaiki kudanya kembali.

Itulah salah satu akhlak Kiai Nur yang dikenal masyarakat hingga kini. Dengan akhlak yang mulia itu, banyak masyarakat menerima ajakan dan apa yang diajarkan Kiai Nur dengan lapang dada. Saat itu, masyarakat desa Moncek Tengah memang masih terbilang jauh dari nilai-nilai yang diajarkan Islam. Kebanyakan warga desa masih buta aksara, dan tak bisa mengaji Al-Quran. Saat itu, masyarakat setempat juga belum melaksanakan kewajiban lima waktu karena tak mengetahu tata caranya.

Yang memprihatikankan, hingga saat itu belum ada satu pun musala di desa itu, apalagi masjid atau pondok pesantren. Untuk kali pertama, Kiai Nur akhirnya menginisiasi pendirian musala di desa itu. Maka dibangunglah musala sederhana, yang tiang-tiangnya terbuat dari batang-batang kayu dan dindingnya dari anyaman bambu.

Di surau sederhana inilah kemudian Kiai Nur mengajak masyarakat untuk belajar baca-tulis, mengaji Al-Quran, dan salat lima waktu. Termasuk, mengajari cara berwudhu yang benar, perihal bersuci dari najis, cara bermuamalah, dan lain sebagainya.

Memulai perjuangan memang tak pernah mudah. Itu pula yang sesungguhnya dialami Kiai Nur ketika memulai berdakwah di Desa Moncek Tengah. Sebab, tak semua orang di desa itu menerima perubahan dengan lapang dada. Selalu ada yang menjadi kerikil di jalan perjuangan. Bahkan, tidak jarang Kiai Nur mendapat ancaman yang bisa mengancam dakwah dan bahkan nyawanya.

Namun, berkat kesabaran dan kegigihannya, sedikit-demi sedikit mayoritas masyarakat Desa Moncek Tengah mulai menerima akan nilai-nilai keislaman yang diajarkan Kiai Nur. Hingga akhirnya, pada tahun 1940, Kiai Nur bersama masyakat pedalaman Desa Moncek secara bergotong-royong mulai membangun masjid untuk ditempati salat Jumat. Sedangkan, musala yang semula digunakan untuk salat dan ngaji, dijadikan tempat belajar kitab dan tempat tidur para santri yang mulai mondok.

Kelak, setelah “diinterupsi” oleh serangan penjajah Belanda dan Kiai Nur selamat dari kepungan tentara Belanda, pondok pesantren yang dirintisnya mengalami perkembangan pesat, sampai akhirnya menjamur pesantren di desa ini, seperti yang kita lihat kini.

Multi-Page

3 Replies to “KH Muhammad Nur (1): Lentera di Pedalaman”

Tinggalkan Balasan