bom bunuh diri

Keyakinan dan Kematian

869 kali dibaca

Reformasi doktrinasi agama transnasional semakin menjamur dan terselubung. Menghadirkan ideologi baru di tengah masyarakat bermotif radikalis-terorisme. Perlu diakui bahwa perilaku terorisme berkorelasi dengan agama sebagai sebuah ajaran. Meski agama dibentuk untuk menciptakan kedamaian dan kebaikan, namun ada kecacatan paradigma memandang agama sebagai ajaran yang kaku dan terbelakang.

Eksklusivitas agama melahirkan konflik horizontal dan vertikal. Menciptakan ketidakpercayaan pada institusi dan lembaga negara yang diajarkan melalui forum-forum kajian. Tokoh agama memberikan dogma dan pemahaman konservatif dengan embel-embel pemurnian ajaran agama yang tekstualis. Kegagapan berpikir terbuka dengan menyandarkan keyakinan pada ulama, mendasari kerelaan diri -hingga berkorban nyawa- demi kepentingan agama.

Advertisements

Tak dapat dipungkiri bahwa mayoritas pelaku terorisme diidentifikasi sebagai muslim. Simbolisasi pakaian dan beragam barang bukti pelaku mengarahkan tentang kesalahan memahami esensi agama Islam. Pendekatan transendensi melihat kemampuan manusiawi dengan kaca mata yang lebih luas dari kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya.

Motif terorisme masih menjadi teka-teki meski faktor agama dan politik berperan besar dalam aksi bom bunuh diri di ruang publik. Bertujuan untuk menciptakan kecemasan dan ketakutan di tengah masyarakat demi tujuan kekuasaan. Solidaritas terorisme menjadi simbol kebebasan yang menindas perbedaan.

Menurut Strassner (2008) ada tiga bentuk tujuan dasar dari tindakan teroristik, yakni tujuan-tujuan nasionalisme, seperti perang kemerdekaan, revolusioner, perubahan pemerintahan, dan kepentingan religius. Ingin mendirikan negara homogen yang berpijak pada satu agama tertentu. Perilaku terorisme dengan cara peperangan ditujukan untuk penguasaan wilayah, sementara bom bunuh diri untuk menaklukan mental.

Menariknya, bom bunuh diri yang diklaim perilaku kelompok muslim malah menyebabkan korban dari kalangan muslim itu sendiri. Patut diteliti tentang motif politis dengan doktrin ketidakpuasan terhadap dasar dan sistem negara yang dianggap sekuler dengan dalih kepatuhan terhadap keyakinan dalam beragama. Tekad memperjuangkan keyakinan yang berdampak pada kematian menjadi keprihatinan tentang bahayanya eksklusivitas ajaran agama.

Bom bunuh diri di kantor Polsek Astana Anyar Kota Bandung, Jawa Barat pada Rabu (7/12) pagi menyisakan kekhawatiran tentang kegagalan pemerintah menanggulangi terorisme dalam negeri. Banyak analisis terkait peristiwa terorisme yang terjadi selain kepentingan religiusitas seperti ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah. Impitan ekonomi, kecacatan hukum, hingga kekecewaan politik juga menjadi alasan logis aksi bom bunuh diri.

Indonesia darurat teror yang pernah dibahas oleh Ali Imron (mantan teroris bom Bali) yang lolos dari hukuman mati menjabarkan tentang konsep deradikalisasi. Penyebab doktrin agama yang rela mengorbankan nyawa demi kepentingan agama dilandasi pada perasaan berdosa dan bertemu dengan pemuka agama yang keliru. Mengiming-imingi penebusan dosa dengan aksi bom bunuh diri sebagai jalan jihad.

Kurangnya ruang diskusi yang inklusif dalam kajian-kajian agama menciptakan paham terselubung. Melakukan aksi ekstrem bom bunuh diri hingga mengajak keluarga intinya seperti peristiwa terorisme di tiga gereja, kantor polisi, dan rumah susun di Surabaya dan Sidoarjo Jawa Timur. Ketika banyak orang ketakukan mati saat pandemi, gerombolan terorisme nekat menghabisi dirinya sendiri setelah meyakini agama yang sumbang.

Tidak memahami agama secara komprehensif dan kontekstual menjadi faktor fundamental aksi bom bunuh diri. Berdasarkan survei The Wahid Foundation (2016), generasi muda mendukung aktivitas kekerasan agama (jihad) dan terorisme sudah mencapai 76%. Sementara dari data Navara Foundation ada 23,4% mahasiswa setuju diberlakukannya sistem khilafah Islamiyah.

Data tersebut bisa semakin bertambah ketika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut internet menjadi salah satu media yang paling berperan dalam penyebarluasan paham radikalisme dan terorisme. Terorisme lahir dari landasan berpikir (dogmatis) dan tata nilai moral yang terstruktur dan sistematis. Kemudian ada kaderisasi yang mengedepankan fanatisme, fundamentalisme, dan ekstremisme.

Menjelang tahun politik 2024, kita belum bisa tenang berada di ruang-ruang publik ketika masalah terorisme (bom bunuh diri) masih sulit diatasi. Peran pemerintah nyatanya masih gagal memberikan kontranarasi terhadap ajaran agama yang eksklusif. Sementara kehadiran media teknologi menambah kekhawatiran menjamurnya aksi terorisme yang lahir dari sempitnya cara berpikir memahami agama.

Sulit mengidentifikasi peran dan motif aksi terorisme ketika variabel keyakinan menjadi alasan mutlak melakukan bom bunuh diri. Negara tidak punya kuasa mengatur pemikiran warganya dan semua punya hak meyakini paham atau ideologi yang dianutnya. Teroris tidak melihat manusia sebagai makhluk sosial selain kepentingan pribadi dan keyakinan religiusnya.

Jalan agama yang diyakininya menghendaki bom bunuh diri untuk mencapai surga dan hidup di daerah yang dianggapnya kafir akan mengantarkannya ke neraka. Tidak ada ruang diskusi salain klaim pembenaran keyakinan masing-masing. Terorisme bukan hanya ancaman negara, melainkan juga menodai ajaran agama yang semula damai menjadi menakutkan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan