Ketika Santri Bermasyarakat

1,363 kali dibaca

Beberapa tahun silam, sekitar tahun 2019 akhir, saya berkesempatan untuk menjadi peserta dari salah satu program tahunan Madrasah Aliyah Nasy’atul Mutaallimin Gapura. Program yang telah menjadi sebuah keharusan bagi santri akhir untuk mendapatkan legalitas kelulusan. Maka, mau tidak mau, semua santri—termasuk saya—harus mengikutinya untuk persyaratan lulus. Program ini kemudian disebut dengan Masa Pengabdian Santri (MPS).

MPS biasanya diadakan sebelum Ujian Nasional (UN) dilaksanakan. Semua santri atau siswa yang sudah menginjak kelas akhir (tanpa terkecuali) diikutsertakan. Namun bedanya, santri putri akan melakukan MPS di sekolah selama satu bulan. Pastinya, diisi dengan berbagai kegiatan, termasuk tata boga, nyabis ke keluarga ndalem Pesantren Annuqayah (karena sanad keilmuan yang sangat erat dengan Nasy’atu Mutaallimin), dan kegiatan-kegiatan pengabdian ke masyarakat sekitar sekolah atau pesantren.

Advertisements

Sedangkan, santri putra akan dilepas ke berbagai pelosok (jauh atau dekat) dan ditempatkan di lembaga-lembaga. Nantinya mereka disebar menjadi beberapa kelompok atau tim untuk selanjutnya mengabdi di tempat yang telah ditentukan. Namun sebelum itu santri putra akan melaksanakan masa pembekalan (biasanya 2 hari) sebelum pemberangkatan. Tujuannya, agar mereka tidak gagap dan bingung ketika dihadapkan oleh realitas di lapangan. Dalam hal ini mereka juga akan dibekali dengan materi manajemen organisasi, mengingat para peserta akan melakukan pengabdian secara berkelompok.

Program MPS ini terfokus pada pengabdian kepada masyarakat. Maknanya, setiap peserta dan setiap kelompok akan diajari tentang bagaimana berhadapan dengan masyarakat. Uniknya, pengajaran yang dilakukan adalah secara praktik, bukan lagi teori yang dilontarkan dari mulut ke mulut. Mereka akan melakukan beberapa misi dedikasi selama sebulan kepada masyarakat, yang sebelumnya sudah dicanangkan dalam rancangan kerja mereka masing-masing.

Sebagaimana dijelaskan di atas, sebelumnya para peserta yang akan berkelana ke wilayah yang ditetapkan akan dibekali dengan beberapa hal, baik bekal spiritualitas, moralitas, dan hal-hal tentang administrasi serta keorganisasian. Karena yang akan dijadikan objek pengabdian adalah masyarakat, tentunya bekal-bekal di atas sangat dibutuhkan. Meskipun selama sekolah bekal yang dimaksud (barangkali) sudah didapat, namun tidak ada salahnya jika dilakukan kembali sebagai pemantapan.

Selama satu bulan, mereka akan hidup berdampingan dengan corak kehidupan masyarakat yang beragam. Barangkali corak yang sangat tidak diharapkan oleh peserta pengabdian. Mereka akan dilatih untuk menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Pastinya, dengan waktu yang relatif lama tersebut, mereka akan menemukan masalah-masalah; baik yang menyangkut individu atau pun kelompok. Dengan adanya masalah tersebut, mereka dituntut untuk mencari jalan solutif, tentunya dengan bekal keorganisasian (seperti manajemen konflik) yang sudah disuguhkan sebelumnya.

Yang namanya pengabdi masyarakat, maka harus siap melayani masyarakat. Apa saja yang dibutuhkan masyarakat—selama itu dalam kebaikan dan mampu dilakukan—maka harus siap. Semisal; masyarakat butuh tenaga untuk bersih-bersih di mesjid, mimpin tahlil, mimpin doa, dan lain sebagainya. Bahkan dari mereka yang diberi anugerah kemampuan dalam mengajar, akan diminta oleh lembaga setempat untuk mengajari anak-anak kampung.

Interaksi sosial dengan masyarakat juga menjadi hal vital dalam kegiatan ini. Moralitas mereka dalam bergaul dengan masyarakat sangat diperhitungkan. Selain itu, kepekaan sosial yang biasanya berasal dari kemampuan otodidak dan kesadaran pribadi sangat diperlukan sebagai seni dalam pergaulan atau interaksi tersebut.

Jika tidak mau dikatakan sebagai kemampuan otodidak, maka kepekaan sosial itu lahir dari pendidikan yang memang benar-benar matang. Sehingga pertanyaan selanjutnya, apakah peserta didik sudah memiliki kepekaan yang dimaksud? Apakah pelajaran di kelas sudah cukup untuk membuka intensitas kepekaan sosial mereka?

Di kegiatan inilah kemudian semua pertanyaan tersebut terjawab. Bisa dikatakan dengan kegiatan MPS ini, pihak lembaga (Nasy’atul Mutaallimin) akan merekam dan memotret segala bentuk tingkah asli dan perilaku peserta didik secara langsung. Sebab, tingkat kecerdasan di kelas bukan menjadi tolok ukur dari kecerdasan seseorang dalam lingkup sosial yang lebih luas.

Peserta didik yang mendapat nilai bagus di kelas—bahkan menjadi santri teladan—tidak memastikan dia akan memiliki kepekaan sosial tinggi. Bisa jadi dia yang tidak masuk 6 besar di kelas jauh lebih lihai dalam berperan dalam sikap sosial. Buktinya, beberapa dari mereka yang berhasil dinobatkan sebagai peserta terbaik MPS (ketika imtihan) bukan berasal dari kalangan front line di kelasnya. Saya melihat beberapa peserta terbaik justru berasal dari luar 3 besar atau 6 besar di kelas.

Namun, terlepas dari itu semua, keberadaan MPS sebagai salah satu program pesantren dan sekolah adalah kegiatan yang sangat perlu diapresiasi. Bahkan, jika bisa, juga dipraktikkan oleh lembaga-lembaga lain. Pasalnya, sebagaimana dikatakan di awal, para santri tidak hanya akan stagnan berada di kelas dan mengikuti pelajaran. Mereka juga diberi ruang untuk berekspresi di ruangan yang lebih luas, masyarakat.

Dari program ini pula, setidaknya ada beberapa hal yang bisa didapatkan oleh para santri atau peserta MPS. Pertama, membuka kemampuan adaptif mereka terhadap lingkungan. Adalah suatu keberuntungan jika tempat MPS yang ditentukan tidak mengalami krisis apapun. Namun, merupakan sebuah tantangan jika ternyata tempat yang dijadikan lokasi MPS justru mengalami krisis. Ini merupakan tantangan bagi peserta MPS. sebab, mau tidak mau mereka harus bisa beradaptasi dengan lingkungan tersebut.

Sebagaimana terjadi pada lingkungan tempat saya mengabdi dulu, di Dusun Lembana, Desa Kombang, Kecamatan Talango. Dusun yang berada di pulau Poteran tersebut mengalami krisis air nyaris sepanjang kami berada di sana. Sehingga, dengan keadaan seperti itu, kami terpaksa menggunakan air sehemat mungkin. Bahkan seringkali kami mandi di laut, sebelum kemudian membersihkan tubuh dengan air tawar di sumur dengan kuantitas air yang tak seberapa. Namun, kenyataan itu yang kemudian membuat kami sadar.

Secara bergantian dan terjadwal—di tengah krisis tersebut—kami menimba air ke sumur-sumur kampung yang kemudian digunakan untuk berbagai keperluan, misal; memasak, minum, mengisi jedding kyai, mengisi jediing masjid yang dekat dengan posko. Keadaan itu juga yang membawa saya pribadi teringat dengan santri zaman dulu sebagaimana sering diceritakan. Santri-santri yang sudah sejak pagi buta memikul air untuk mengisi jedding kyai.

Kedua, menajamkan kerekatan emosional antara santri dan masyarakat. Karena fokus utamanya masyarakat, maka dedikasi para santri ini harus benar-benar disuguhkan untuk masyarakat. Rasa empati dan kepekaaan sosial mereka—sebagaimana disinggung di awal—akan diuji. Seberapa jauh rasa kepedulian yang mereka miliki.

Menurut sebuah cerita, guru saya, K. A. Dardiri Zubairi (Kepala sekolah MA sekaligus putra pendiri Nasy’atul Mutaallimin) pernah mular (nangis terharu) ketika mendengar dan menyaksikan salah satu kelompok MPS yang berhasil merenovasi rumah salah seorang warga yang tidak layak huni. Kejadian itu terjadi pada angkatan di atas saya (kakak kelas). Kepedulian seperti itu adalah emas bagi kepribadian santri, yang memang harus dipupuk dalam setiap personal atau individu.

Ketiga, melatih manajemen organisasi. Selama mengabdi satu bulan lamanya, bukan tidak mungkin ada masalah. Tantangan dan rintangan adalah keniscayaan, baik secara internal atau eksternal. Masalah-masalah itu yang kemudian harus dicarikan solusi. Nah, untuk mencari solusi inilah dibutuhkan manajemen yang baik.

Sebelum berangkat pun, para peserta selayaknya memang sudah menyiapkan beberapa hal terkait pengorgansisasian dalam kelompoknya. Misal membuat perencanaan (planning), setelah itu pengorganisasian (organizing), pengaktualisasian dari perencanaan yang ada (actuating), mengontrol jalannya kegiatan yang direncanakan dan diaktualisasikan (controlling), dan yang terakhir evaluasi (evaluating).

Selain itu, mereka juga bisa menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi untuk kemudian diformulasikan menjadi sebuah kekuatan. Analisis kemungkinan yang dimaksud adalah adanya kekuatan dan kelemahan dari kelompoknya.

Sekaligus juga menganalisa peluang dan ancaman yang terjadi. Sehingga kemudian, kesemuanya itu bisa dijadikan acuan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dengan sebaik mungkin. Wallahu a’lam….

Multi-Page

Tinggalkan Balasan