Kesepian dalam “Mata Pisau”

1,069 kali dibaca

Sajak bisa mengantar kita memasuki dunia yang penuh kemungkinan. Penyair selalu berhadapan dengan rahasia dan ia berusaha menangkapnya dalam diam, mungkin sunyi. Kekuatan sebuah sajak ada pada kata-katanya juga makna yang terbuka di sebaliknya. Ketika kita membaca sajak, kita seakan merasakan begitu akrab dengan diri sendiri, dan begitu asing dengan dunia, tapi dunia tidak pernah ke mana-mana sebab sajak adalah dunia.

Perasaan itu pula yang saya rasakan ketika membaca sebuah sajak dari Sapardi Djoko Damono yang terkenal itu; Mata Pisau, sebuah sajak tentang suasana yang begitu subtil dan sublim. Sapardi Djoko Damono adalah penyair liris yang piawai menggambarkan suasana dan meletakkan kata-kata dengan tepat di dalam sajak-sajaknya. Sapardi memang kerap menghadirkan suasana melalui sajak-sajaknya. Kita tahu, jenis sajak seperti itu pernah ditulis oleh penyair di belahan dunia yang lain, sebut saja E.E. Cummings atau T.S. Elliot.

Advertisements

Pada sajak Mata Pisau terasa begitu kuat gambaran dan suasana kesepian itu. Suasana sendiri yang mengancam sekaligus penuh renungan. Suasana manusia berhadapan dengan dirinya sendiri dan pertanyaan tentang arti sang liyan. Berikut saya kutip sajaknya secara utuh;

Mata Pisau

mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

Bisa dibayangkan sehabis makan malam seorang diri, mungkin di rumah, mungkin di sebuah restoran (sebab perasaan kesepian tidak menutup kemungkinan terjadi di keramaian), si kau itu yang mungkin habis berpisah dengan kekasihnya, atau ditinggal oleh salah satu keluarganya, atau mungkin saja sehabis kehilangan istrinya, digambarkan begitu tercekam pada sebuah momen sehabis makan malamnya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan