Kesepian dalam “Mata Pisau”

1,084 kali dibaca

Sajak bisa mengantar kita memasuki dunia yang penuh kemungkinan. Penyair selalu berhadapan dengan rahasia dan ia berusaha menangkapnya dalam diam, mungkin sunyi. Kekuatan sebuah sajak ada pada kata-katanya juga makna yang terbuka di sebaliknya. Ketika kita membaca sajak, kita seakan merasakan begitu akrab dengan diri sendiri, dan begitu asing dengan dunia, tapi dunia tidak pernah ke mana-mana sebab sajak adalah dunia.

Perasaan itu pula yang saya rasakan ketika membaca sebuah sajak dari Sapardi Djoko Damono yang terkenal itu; Mata Pisau, sebuah sajak tentang suasana yang begitu subtil dan sublim. Sapardi Djoko Damono adalah penyair liris yang piawai menggambarkan suasana dan meletakkan kata-kata dengan tepat di dalam sajak-sajaknya. Sapardi memang kerap menghadirkan suasana melalui sajak-sajaknya. Kita tahu, jenis sajak seperti itu pernah ditulis oleh penyair di belahan dunia yang lain, sebut saja E.E. Cummings atau T.S. Elliot.

Advertisements

Pada sajak Mata Pisau terasa begitu kuat gambaran dan suasana kesepian itu. Suasana sendiri yang mengancam sekaligus penuh renungan. Suasana manusia berhadapan dengan dirinya sendiri dan pertanyaan tentang arti sang liyan. Berikut saya kutip sajaknya secara utuh;

Mata Pisau

mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

Bisa dibayangkan sehabis makan malam seorang diri, mungkin di rumah, mungkin di sebuah restoran (sebab perasaan kesepian tidak menutup kemungkinan terjadi di keramaian), si kau itu yang mungkin habis berpisah dengan kekasihnya, atau ditinggal oleh salah satu keluarganya, atau mungkin saja sehabis kehilangan istrinya, digambarkan begitu tercekam pada sebuah momen sehabis makan malamnya.

Mata pisau yang tak berkejap menatapnya, ia yang habis mengasahnya berpikir bahwa pisau itu untuk mengiris apel yang tergeletak di atas meja, namun si pisau justru berkilat (mungkin karena pisau itu telah diangkat oleh salah satu tangannya dan karena sedikit miring membuat bagian yang tajam itu terkena cahaya lampu sehingga berkilat) ketika terbayang urat lehernya.

Sekilas terbayang hubungan yang intens antara kau dan pisau. Keduanya seperti berkomunikasi atau berbicara satu sama lain. Tentu saja itu adalah serangkaian adegan, namun bisa dibayangkan bahwa pisau yang berkilat itu tidak terbayang oleh siapapun di ruangan itu, kecuali oleh si kau, kecuali dalam benak si kau sendiri.

Dari runtutan adegan itu saya membayangkan betapa kesepiannya si kau itu (apakah dia lelaki atau perempuan) yang makan malam sendirian, tanpa manusia yang akrab dengannya, tanpa pasangan yang mengerti, tanpa apapun yang memahaminya, seorang diri betul-betul, hanya ada kau (dirinya), sebuah apel di atas meja, dan pisau sehabis makan malam itu.

Kita sering merasakan di saat suasana kesepian datang, seakan benda-benda bicara kepada kita, seakan ia membangkitkan kembali ingatan kita tentang sesuatu, tentang luka, rindu, ketakutan, cinta, dan mungkin sekali putus asa pada hidup(?).

Sapardi Djoko Damono dengan begitu apik dan kuat menggambarkan keadaan manusia secara eksistensial, menghadirkan pertanyaan tentang arti sang liyan, tentang diri yang terdalam, tentang kecemasan dan ketakutan, tentang keterasingan oleh dunia yang jarang sekali disentuh atau dibicarakan oleh kebanyakan orang atau oleh penyair lainnya.

Di sini bisa saya simpulkan bahwa Mata Pisau adalah sajak tentang suasana kemencekaman manusia berhadapan dengan keterasingan dirinya yang tak terpahami, kekosongan yang minta diisi, dan saya yakin puisi ini akan membantu kita memahami kondisi kita dengan sublim, dan mungkin juga ikut membantu kita memperdalam pertanyaan tentang apa arti hidup? Apakah ia bermakna saat aku menikmati kesenangan sendirian? Apakah aku bahagia? dst.

Sebagai penyair hal yang paling sulit adalah bersabar untuk menangkap sesuatu yang hendak kita sampaikan kepada orang lain, pembaca, menyusun kata-kata yang paling tepat diletakkan dalam sajaknya sebelum menyerahkannya kepada mata (hati) sebanyak-banyaknya.

Dan sebagai pembaca kita pun harus bersabar menangkap apa maksud penyair, mungkin puisi itu tetap luput kita tangkap, tapi tidak menutup kemungkinan untuk kita masih bisa menghayatinya, memutar gambaran yang disajikan oleh kata-kata, dan meletakkan diri kita di antaranya untuk meresapi aliran maknanya.

Seperti yang sudah saya tulis di awal, penyair memasuki wilayah yang penuh kemungkinan, yang rahasia dan misteri, yang baru dari pengalamannya dengan kepekaan yang subtil bahkan sublim, sampai kata-kata menemukannya berdiri di sana, terpaku menyaksikan keindahan. Dan ketika ia pulang membawa puisinya, pembaca pun menggantikan posisi si penyair sebelum menuliskan puisinya itu, penyair yang berdiri memaku ketika mengalami fenomena itu. Sekian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan