Kertas Lusuh Sastra Hemi

1,812 kali dibaca

Kutitipkan motorku di teras rumah seorang warga tiga rumah sebelah barat surau pinggiran kebun tebu. Sejurus kemudian aku telah dihadapkan pada jalan setapak yang kanan-kirinya dikelilingi rimbun tanaman tebu. Sesekali daun-daun tanaman penghasil gula yang menjuntai ke jalan itu menyentuh lenganku, membuat rasa gatal mendera kulit lengan tanganku.

Terik matahari yang sepenggalah naik membuat suasana perkebunan semakin gerah. Kubuka kerah bajuku dan langkah kakiku terus berayun menelusuri jalan tikus yang entah akan seberapa jauh kulalui nanti. Terlintas di benakku membayangkan murid-muridku menyusuri jalanan seperti ini. Masih pantaskah aku menyalahkan mereka datang telat ke sekolah?

Advertisements

Jauh hari sebelum aku datang ke tempat ini, ayah ibuku lebih dulu menanyai kesanggupanku mengabdi di tempat-tempat yang sulit. Tinggal di tempat terpencil dengan akses kebutuhan hidup yang serba terbatas pasti akan sulit bagiku yang semenjak kecil tinggal di kota dengan segala kemewahannya. Tapi keputusanku untuk mengambil kuliah pendidikan telah kupikirkan matang-matang, termasuk kesiapan mentalku akan mengabdi di tempat seperti ini. Bukan saja medan yang sulit, iklim belajar di sekolah yang sangat tidak kondusif ditambah pandemi berkepanjangan ini nyaris memupus semua naluri dedikasi mendidikku.

“Terus terang aku tak mampu jika harus mendatangi rumah anak-anak itu satu per satu, Pak Mon,” kata Pak Sardi tempo hari sembari menyemburkan asap Surya. Terlihat dia menikmati rokok yang barusan kusodorkan itu. “Tak cukup uang gaji untuk membeli bensin. Bisa mencak-mencak istriku merasa keluarga diabaikan demi idealisme yang sudah tak lagi ideal begini.”

Semakin kutelan ucapan rekan mengajarku ini semakin aku dilumuri putus asa. Idealisme menjadi pendidik yang penuh dedikasi menguar sudah ditelan asap kehidupan yang pengap lagi gerah.

“Benar, Pak Di. Otakku nyaris buntu untuk memecah permasalahan. Ide-ide mengajar yang kudapat dari bangku kuliah tak ada yang terpakai di tempat ini. Apalagi dari lima belas siswa yang mendaftar di kelas tujuh ini belum ada yang pernah kujumpai. Dan hanya tiga siswa yang aktif mengirim tugas,” sahutku.

“Mestinya kamu tak ikut-ikutan putus asa seperti Pak Sardi, Mon. Bukankah kamu dibayar negara? Pun, tak ada tangisan bayi atau bawelnya istri saat kau hendak menyusun tugas belajar, atau mendatangi anak-anak yang tak pernah menampakkan batang hidungnya di grup WA itu,” Pak Jono Karso ikut menimpali.

“Lalu, beberapa siswa yang tidak aktif di kelas Bapak Jono itu apakah sudah pernah disamperi?” tanyaku. Kali ini guru dengan kepala dipenuhi uban itu terdiam dan membuang muka. Tangannya yang mulai keriput menggerayangi meja, menggapai segelas kopi tinggal yang separo yang kubuat tadi pagi.

“Ketiga cucuku tak pernah memberiku waktu untuk memperhatikan anak-anak yang tak niat sekolah itu. Anakku pun melarangku menyeberangi sungai mencari rumah anak-anak malas itu,” lidah orang tua itu masih pintar berkilah rupanya. Emosiku mulai tersulut.

“Dari kita bertiga, hanya kau yang tak punya alasan untuk tidak melaksanakan tugas kepala sekolah mendatangi rumah anak-anak,” Pak Sardi memojokkanku, dibumbuinya pula kata-kata itu dengan tawa yang hambar, namun terasa pahit di hadapanku.

“Kau PNS Pak Lamon. Masih muda. Tunjukkan pada dunia bahwa kamu memang ada dan layak untuk disebut sebagai pahlawan pendidikan. Nanti biar kuviralkan namamu di media sosial. ‘Seorang guru muda rela menyeberangi sungai curam dan membelah rimba tebu demi mendidik siswa-siswinya di saat pandemi’. Atau kamu punya kalimat yang lebih tragis dari itu?” tawa Pak Sardi kian bederai.

“Lamon pun punya masalah, Di. Jangan terlalu memojokkannya,” tegas Pak Jono Karso guru sejarah itu.

“Apa itu Pak?” sahut Pak Sardi.

“Lihatlah raut mukanya yang murung dengan sorot mata redup itu, apalagi kalau bukan karena cintanya kandas di tempat pengabdian ini. Tak ada sinyal untuk komunikasi, tak ada kepastian bagi si calon istri. Ke mana lagi hati harus berlari jikalau hati sedang dilanda sepi?” ucapan Pak Jono Karso dipungkasi tawa. Ucapan bercanda itu terdengar pedas sekali di telingaku karena semuanya benar belaka.

Ucapan-ucapan kawanku mengajar di depan kantor guru beberapa hari yang lalu itu mencambuk naluriku. Dan semakin ke sini aku harus semakin tersadar, aku yang orang kota dengan gemblengan ketat dunia kampus tak boleh terpengaruh dengan keadaan tanah pinggiran ini. Harus kuabaikan rasa lelah yang semakin mendera tubuhku. Kulepas baju keki dan kutaruh di tas, menyisakan kaus lengan pendek yang mudah menyerap keringat. Terik matahari semakin membakar tubuhku. Sekitar satu kilo setelah memasuki jalan pintas ini, udara semakin terasa panas. Daun-daun tebu kering berserakan di tengah jalan yang terinjak membuat suara langkah kakiku terdengar berisik. Kakiku terus melangkah.

Di kejauhan mataku memandang, tampak sebuah gubuk di tengah rimba tebu. Mungkin aku bisa bertanya keberadaan rumah Sastra Hemi jika ada orang di sana. Langkah kakiku semakin kupercepat. Tubuhku semakin basah oleh peluh. Semakin dekat gubuk itu semakin tampak besar dan reot papan serta atapnya.

Sepertinya ini rumah, bukan gubuk. Di terasnya ada seonggok dipan yang kulihat di atasnya seorang lelaki tengah duduk sendirian. Kupercepat langkah kakiku menuju ke sana. Lelaki berewok dengan pakaian kumuh itu memandangku lekat. Ketika kutanya dia menjawab dengan suara tak jelas yang tak kumengerti apa maksudnya. Tangannya menunjuk sebuah arah. Bukannya menuding dengan jari telunjuk, jemarinya justru mengepal.

Kupahami isyaratnya sebagai petunjuk keberadaan rumah Sastra Hemi. Kuikuti arah yang ia tunjukkan. Kulewati jalan kecil di tepi parit dengan aliran air jernih yang tenang. Di sisi kanan jauh dari jalan yang kulewati tampak ada perkampungan yang ditutupi perkebunan tebu. Tidak jauh di depanku kudapati beberapa orang yang tengah menebang tebu. Ada tawa di sela-sela kesibukan pekerjaan mereka. Namun kemudian percakapan para pekerja itu berhenti ketika aku datang mendekat.

“Jadi, Bapak ini gurunya Sastra? Jadi selama ini dia juga sekolah? Tapi kenapa setiap hari dia juga ada di kebun tebu ini? Jadi, kapan sekolahnya anak itu?” seorang lelaki berkumis tebal yang kutanyai perihal keberadaan salah satu muridku yang tak pernah aktif pembelajaran daring itu justru menggumamkan pertanyaan-pertanyaan tak jelas kepadaku.

“Sastra sedang tebang tebu di sebelah sana, Pak. Itu anaknya kelihatan. Dia membuntal kepalanya dengan kain berwarna kuning,” papar seorang ibu-ibu. Beberapa orang yang sedang menebang tebu itu mulai sibuk memberitahuku perihal keberadaan Sastra Hemi. Kebanyakan mereka tak tahu kalau anak itu bersekolah.

Mulanya Sastra Hemi tak tahu siapa aku. Setelah kujelaskan bahwa akulah gurunya, baru kemudian dia mengerti. Pekerjaannya segera dia hentikan. Kami berbicara di pematang kebun di bawah pohon pisang yang rindang. Bau kecut yang mencuat dari tubuh anak itu menyerbu hidungku kala dibawa oleh embusan angin. Kulitnya yang legam menyiratkan apa kesibukannya selama ini, sekaligus menjawab rasa penasaran yang bercokol di kepalaku kenapa dia tak pernah aktif pembelajaran daring.

“Bapak sakit stroke sejak dua tahun yang lalu. Aku menggantikannya bekerja untuk menyambung kehidupan.” Bocah bernama Sastra Hemi ini lantas menunduk. Dan kemarahan yang ingin kumuntahkan hampir di sepanjang jalan di rimba tebu tadi menguar begitu saja. Tak ada HP di rumahnya. Jangankan HP, untuk makan saja dia harus bekerja begini melelahkan. Di usianya yang masih belia otot lengannya telah menyembul tak ubahnya seorang ayah yang tak kenal lelah menghidupi keluarganya.

Dia bercerita panjang lebar. Ibunya meninggal bahkan ketika dia masih bayi. Kini dia tinggal di rumah hanya dengan bapaknya. Sebelum berangkat kerja dia memasak, membereskan rumah, serta memandikan bapaknya. Dadaku seketika terasa sesak.

“Jadi, kau sudah tidak sekolah?” tanyaku kemudian.

Dia terperanjat dengan raut muka sedih.

“Apakah aku sudah dikeluarkan dari sekolah, Pak? Kata Parni beberapa waktu lalu sekolahnya masih tutup. Jadi aku tak pernah menengok sekolah lagi,” sahut Sastra Hemi.

“Kau tahu ada tugas yang disampaikan lewat HP?”

Pertanyaanku dijawabnya dengan anggukan kepala.

“Kau sudah mengerjakan tugas-tugas itu?” tanyaku lagi.

“Sudah, Pak. Beberapa. Tapi tak tahu harus dikemanakan tugas-tugas itu,” jawab Sastra putus asa.

“Kau tahu tugas-tugas itu darimana?”

“Parni yang memberitahuku.”

“Kenapa tak kau minta dia untuk mengirimkan tugasmu?”

Semakin kuinterogasi anak itu semakin tampak takut. Kuelus pundaknya yang lembab oleh keringat untuk menetralkan suasana.

“Sekarang aku sudah jarang ke surau.”

“Apa hubungannya dengan tugas-tugas sekolahmu?” tanyaku.

“Biasanya Parni memberitahuku jika ada tugas saat mengaji di surau Haji Safawi. Sekitar sebulan ini bapak semakin parah sakitnya, aku tak tega meninggalkannya sendirian di rumah. Tapi aku sudah mengerjakan beberapa tugas sekolahnya, Pak. Jangan keluarkan aku dari sekolah. Sastra masih ingin sekolah, Pak,” anak kecil itu menangis. Dan dadaku terasa semakin sesak.

“Jangan menangis, Nak. Sekolah tak akan pernah mengeluarkanmu. Bisa kau antar aku ke rumahmu?”

Sastra Hemi menganggukkan kepalanya lagi. kami melangkah meninggalkan kebun tebu. Kumintakan dia izin pada pemilik kebun yang mempekerjakannya. Aku terperanjat ketika langkah Sastra menuju rumah di tengah rimba tebu itu. Jadi, orang tua tadi adalah bapaknya?
Aku bersalaman lagi dengan bapaknya Sastra. Tatapan mata menyeramkan yang menghunjam ke arahku membuatku salah tingkah.

Kujelaskan padanya bahwa aku adalah gurunya di sekolah. Karena keadaan pandemi sedang tak memungkinkan, kami belum pernah berjumpa dengan murid-murid baru. Sebenarnya telah diadakan beberapa kali tatap muka, namun Sastra belum pernah masuk. Lelaki itu sama sekali tak mau memandangku ketika kuajak bicara. Mungkin pendengarannya terganggu, aku mencoba berbaik sangka. Aku lantas beringsut masuk ke rumah.

Sebuah ruangan kumuh dengan bau apek segera tersaji di hadapanku. Sastra mempersilahkanku masuk dengan malu-malu. Kami duduk di atas tikar dari mendong. Lantai dari tanah terasa lembab walau di musim kemarau. Orang tua Sastra yang sedang sakit itu berada di luar, memandang hamparan kebun tebu dengan tatapan kosong.

“Bapak sudah tak bisa bicara sebulan ini. Biarkan dia di luar menghirup udara segar,” ucap Sastra melihatku berkali-kali menengok bapaknya. Aku mengiyakan ucapan bocah terlalu cepat untuk menjadi dewasa ini.

Sastra lantas bangkit berdiri memunguti kertas-kertas lusuh yang bercecer di atas amben dan meja reot. Sebagian kertas jatuh di kolong amben.

“Kertas apa itu, Tra?” tanyaku, tak mampu menyembunyikan penasaran.

Sastra Hemi menyeringai. “Ini tulisan tugas-tugasku, Pak.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Karena tak ada buku, Parni memberiku beberapa helai kertas ketika ada tugas. Sayang, ketika tugas itu selesai aku belum sempat membawanya ke surau agar dia foto. Nanti kalau dapat uang Sastra akan beli HP, Pak. Tugas-tugas itu akan aku kirimkan ke Bapak tepat waktu,” dia berjanji dengan suara yang memelas.

“Kau tak perlu beli HP. Gunakan saja uangmu itu untuk membelikan obat bapakmu,” ucapku pelan. Sastra memandangku sekilas lantas menyerahkan kertas-kertas lusuh itu. Kufoto satu per satu kertas itu dan kukirim ke grup WA dewan guru. Namun tak ada sinyal rupanya.
Kuselipkan uang lima puluh ribu ke saku bocah itu sebelum aku beranjak pulang. Aku terperanjat ketika mendapati Sastra berlari mengejarku.

“Maafkan bapak saya bermuka muram kepada Bapak. Dia tidak begitu senang melihat aku sekolah. Sebenarnya aku hanya boleh mengaji di surau. Jelas ada ganjarannya. Kalau sekolah hanya menghabiskan biaya, nanti lulus sekolah hanya jadi buruh kebun tebu. Begitu kata bapak.”

Aku tersedak mendengar ucapannya.

Aku melangkah pulang dengan gamang. Keadaan muridku ini membuat pikiranku terbetot. Aku bertekad akan kembali lagi ke sini beberapa hari lagi. Dan benar, tepat sepuluh hari kemudian aku kembali datang ke rumah Sastra Hemi. Telah kubelikan HP sederhana untuk memudahkan proses pembelajaran daringnya. Kulangkahkan kaki dengan riang. Sepucuk harapan akan kuberikan pada bocah itu. Kebun tebu di sekitar rumah Sastra telah ditebang. Tidak jauh dari gubug itu para pekerja memanggilku.

“Mau ke mana Pak Guru?” teriak salah seorang.

“Sastra!” teriakku sembari menunjuk rumah itu. Seorang lelaki mendekat ke arahku dengan tergopoh-gopoh. Perasaanku mulai tidak enak.

“Bapak guru tidak perlu ke sana,” dengusnya.

“Kenapa?” sahutku cepat.

“Bapaknya telah meninggal beberapa hari yang lalu. Dia ikut pamannya ke desa sebelah sekarang!” lelaki itu mengelap muka setelah memberitahuku berita duka ini.

Seketika tubuhku limbung. Terbayang jelas tangis bocah itu beberapa hari yang lalu karena ingin tetap sekolah. Kutelan ludahku dengan kasar. Dan udara di tengah rimba tebu ini kian terasa panas.

***

Multi-Page

Tinggalkan Balasan