Keramat Gandasari

17,058 kali dibaca

Siapa yang menabur tanah makam ini

Rumah tangga seorang yang dibenci

Advertisements

Akan jadi berantakan

Usaha yang semula lancar

Berakhir dengan kehancuran

 

Kepercayaan ini sudah mengakar kuat di Panguragan. Tempat ini sejak dulu kesohor tuah makamnya. Bisa jadi guna-guna. Dan keangkeran tanah makam Panguragan, dengan pohon waru besar dekatnya, hanya bisa disembuhkan dengan tanah kuburan Pangeran Suryanegara di Lemahtamba.

Orang memanggilnya Nyi Mas Gandasari. Selain karena tubuhnya selalu wangi, ia punya paras indah dan daya linuwih. Ia memilih hidup sendiri, dan nuraninya menanggung beban sumpahnya, dan ia tetap menolak dinikahkan ketika Seh Magelung mengalahkannya. “Jika seorang lelaki mampu mengalahkanku, ia berhak memperistriku.” Itu adalah sumpahnya. Tapi tak penting lagi baginya itu: sumpahnya. Ia tahu salah. Tapi apa yang tak bisa salah di dunia? “Kita semua tidak sempurna,” katanya.

Tidak satu pun dari 25 ksatria hebat, di antaranya Ki Gede Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede Kapringan, dan Dampo Awang, mampu menundukkannya sampai Seh Magelung maju dan membuatnya jadi tertawaan orang banyak.

“Semangatmu yang berkobar-kobar itu pasti akan dicatat, Gandasari,” kata Seh Magelung. “Tapi, orang akan lebih mengenalmu sebagai wanita keji.”

Gandasari si keras hati dan ingkar janji. Perempuan yang tak dibakar berahi. Ia hidup menyepi di Panguragan, sekira 25 menit naik motor dari desa kelahiran saya. Ia menjauhkan diri dari lelaki yang kehadirannya membuatnya lupa Tuhan. Di tempat itulah, orang-orang memujanya seolah dirinya dewi yang bisa menghapus segala derita di wajah. Sekalipun ia mati membawa rasa malu.

Tapi tubuhnya menebarkan bau pandan. Dan itu membuat saya penasaran, seperti juga asal-usulnya yang simpang siur, yang entah apa sebabnya, selama berabad-abad…

Sosoknya diceritakan dengan emosi intens dalam banyak catatan.

Dalam satu fragmen, Naskah Klayan, ia disebut sebagai putri dari pembesar Pasai yang masih punya ikatan saudara dengan Fatahilah. Mula-mula menerangkan ia dibawa oleh Pangeran Cakrabuana sepulang dari Mekah kemudian diserahkan kepada Ki Gede Selapandan. Dan diminta untuk tinggal di Panguragan –sebuah tamansari penuh bunga. Versi lainnya, dalam Babad Cirebon, ia adalah hasil tapa Ki Gede Selapandan. Ia menjelma dari bunga pudak yang jatuh ke tanah dan kelak sanggup memikat banyak lelaki dengan aroma tubuhnya.

Sebenarnya Gandasari bukan putri asal Aceh yang disembuhkan dari penyakit menahun oleh Pangeran Cakrabuana, lalu ikut dalam perjalanan ke Cirebon.Atau makhluk halus dari pohon pudak. Ia masih misan Seh Lemahabang, dan, ia lelaki sakti yang memotong kemaluannya, bernama Saptarengga. Untuk selamanya lebih senang dipanggil Nyi Mas Ratu Gandasari. Ia tak menitikkan air mata untuk itu. Maka ia pun menutup masa lalunya. Tubuh laki-lakinya yang membuatnya jijik dan ripuh.

“Kubayangkan diriku adalah perempuan,” kata Gandasari, “suci tak ada yang menyentuh.”

Itu kita temukan dalam Naskah Kuningan.

Naskah Mertasinga mengatakan saat usianya menginjak enam belas tahun, ia menjadi murid Sunan Gunung Jati, dan, kemudian hari ia memilih bertapa di tempat tinggalnya, meninggal, dan dimakamkan di sana. Panguragan.

 

Tapi Gandasari

Seperti Srikandi

Kau telah membuat dirimu dicintai

Meski, konon, hal-hal buruk akan datang, segalanya jadi guncang setelahnya.

 

Suatu waktu, seorang lelaki patah hati nekad ke makam Gandasari. Tujuh hari tujuh malam. Ia ingin membalas sakit hatinya, perasaan dicampakkan. Ia ingin bekas kekasihnya yang sudah jadi istri orang itu kembali kepadanya. Kalau tak bisa, hancur rumah tangga mereka, salah satunya mati.

Dan ketika ia pulang di hari ketujuh, ia pulang membawa segenggam tanah makam. Esoknya ia pergi ke rumah bekas pacarnya, ditaburkannya tanah itu. Selang beberapa hari kemudian ia mendapat kabar perempuan yang pernah dicintainya telah meregang nyawa. Tanpa gelimang darah.

Itu cerita juru kunci sana. “Jika seorang tak jodoh di dunia.” ujarnya, “kelak akan bersatu di alam berikutnya.” Dan, dengan tenang ia mengatakan, “makam ini –yang ditutup kelambu putih dan setiap harinya selalu ada peziarah datang– dikeramatkan karena itu. Orang berdesak-desakkan memasukinya hanya untuk perasaan kecewa, membalaskan dendamnya.”

 

Siapa yang menabur tanah makam ini

Rumah tangga seorang yang dibenci

Akan jadi berantakan

Usaha yang semula lancar

Berakhir dengan kehancuran

 

Ucapan itu selalu saja diulang-ulang. Terdengar bagai mantra. Dan tak ada perasaan kecewa. Yang menggeretakkan tulang-tulang.

 

Siapa yang menabur tanah makam ini

Ia telah membalaskan dendam, matanya sedalam maut…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan