Kenapa Harus Aswaja

1,476 kali dibaca

Al-Quran dan Sunnah Rasulullah menjadi referensi penting dalam menjalankan kehidupan bagi umat Islam. Setiap tindakan selalu disandarkan kepada keduanya. Meninggalkannya termasuk kesalahan besar.

Dari sini awal munculnya masalah dengan menolak kehadiran dalil selain Al-Quran dan hadis. Orang yang pemahamannya dangkal selalu menanyakan mana dalilnya dari sesuatu perkara, menganggap seolah-olah dalil itu hanya ayat Al-Quran dan hadis. Sebabnya, banyak orang salah kaprah, saling menyalahkan, mengkafir-syirikkan kelompok lain karena perbedaan pendapat tersebut.

Advertisements

Buku berjudul Nahdlatul Ulama Penegak Panji Ahlussunah Wal Jamaah ini menjadi refrensi penting karena di dalamnya memberikan panduan tentang apa dan bagaimana cara kita mengamalkan dan memperjuangkan akidah Aswaja yang baik dan benar. Selain itu, penulis buku ini, KH M Hasyim Latif, juga mengajak meniru NU, karena kiprahnya sebagai organisasi yang terus-menerus secara konsisten mengamalkan dan memperjuangkan Aswaja. Oleh karena itu, buku ini tidak hanya penting, tapi jauh lebih baik untuk dimiliki sehingga kehadirannya bisa menjadi bahan pegangan untuk kita semua.

Penulis buku ini merasa terpanggil untuk mendokumentasikan catatan-catatan seputar ke-NU-an mengingat krisisnya buku pegangan pada setiap kali akan dilaksanakan kursus kepemimpinan di kalangan NU Jawa Timur kala itu.

Oleh karena itu perlu kehadiran buku-buku panduan seputar kepemimpinan untuk dijadikan pegangan bagi masyarakat NU baik yang mau mengikuti pengkaderan NU dan bagi masyarakat umum yang berkeinginan mendalami NU.

Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 M. Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja) yang disebut dalam peraturan dasar NU adalah istilah yang semula dilontarkan oleh ulama besar pengikut mazhab Syafi’I bernama Abul Hasan Ali al-Asy’ari (260-324 H). Istilah ini mulai digunakan karena waktu itu bermunculan kelompok-kelompok yang jalan pikiran dan keyakinannya di bidang ini bertentangan dengan ajaran Rasulullah dan jamaah para sahabat.

Menyikapi banyaknya kelompok yang berseberangan dengan ajaran yang sudah berkembang, seperti paham-paham Jabriyah, Qadariyah, Murjiah, Mu’tazilah, maka ia memandang salah pemikiran tersebut dan harus segera dihilangkan (hal. 57-58).

Para ulama NU rata-rata mengikuti paham ini karena bagi mereka kelompok ini adalah termasuk kelompok yang najiah (selamat). Para ulama dan mayoritas umat muslim waktu itu banyak yang menyetujui fatwa Imam Al-Asy’ari ini. Sehingga, kelompok-kelompok yang tadinya terlihat menyimpang secara berangsur-angsur menghilang. Bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Bahkan sampai hari ini, Aswaja tetap diakui oleh mayoritas kaum muslimin sebagai paham yang benar sesuai dengan ajaran yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Secara institusional mungkin kaum muslimin sudah tidak berhadapan dengan kelompok sempalan seperti di atas. Bukan berarti tantangan terhadap kaum muslimin masa kini tidak ada. Kelompok seperti di atas jelas sudah tidak ada di Indonesia, tapi ajarannya sepertinya masih berkembang. Munculnya kelompok-kelompok yang suka mengkafir-kafirkan, mem-bidah-bidah-kan, dan mensyirik-syirikan kelompok lain yang berbeda pemahaman dengan mereka justru mulai marak terjadi di Indonesia. Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dimanfaatkan oleh mereka untuk menjual proyek-proyeknya yang sudah jelas tidak laku di kawasan lain.

Sebagai konsekuensinya, NU juga tidak luput dari sasaran mereka. Kiai-kiai NU tidak henti-hentinya di-bully. Padahal kalau mereka mau dewasa, sebaiknya tidak melakukan itu kalau mau mengatakan bahwa mereka adalah penerus Nabi.

Melalui kehadiran bukunya ini, Kiai Hasyim selalu mengingatkan kita agar bersatu dalam rumah yang baik ini, yaitu NU. Kita harus bertanya kepada guru-guru yang sedari dulu mengajari kita apa itu ilmu dan pentingnya ilmu. Bukan malah berguru kepada orang baru yang sedikit-sedikit berbicara kembali pada Al-Quran dan hadis. Padahal, perbuatan mereka belum tentu mencerminkan apa yang disampaikan. Dengan demikian, bertambah besarlah bayangan-bayangan sehingga orang-orang yang tidak menerima taufik dan hidayah Allah akan tertarik oleh gerakan mereka (hal. 20).

Kehadiran buku kecil ini datang di saat-saat yang tepat karena hadir dalam konteks di mana menyambung sanad agaknya kurang begitu diperhatikan akhir-akhir ini. Banyak orang-orang sudah melupakan guru yang pertama kali mengajarkan alif sampai ya’ dan lebih memilih ustaz-ustaz yang tiba-tiba muncul di layar kaca (medsos).

Penulis mengutip pesan gurunya yang berpesan agar memelihara ilmu yang dipelajari dari gurunya. Ibarat kunci, ilmu adalah kunci dan murid adalah pemegangnya. Oleh karena itu, tidak memasuki suatu rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki rumah tidak melalui pintunya, maka pencurilah yang namanya (hal. 19).

Menariknya, penyampaiannya bahasa dalam buku ini sangat sederhana tetapi memberikan kontribusi yang cukup besar bagi yang belum pernah menemui beberapa kajian buku yang sama-sama meneliti NU. Kehadiran buku ini menjadi penting untuk dibaca. Selain memang buku ini membantu generasi NU yang berkeinginan hendak mengetahui kiprah dan dinamika perjuangan NU dan para tokohnya, yang sangat mendesak hemat kami adalah penulisnya dapat merekam langsung hal-hal penting saat NU mau didirikan hingga pasca berdirinya. Karenanya, Yusuf Suharto, editor buku ini, mengaku merasa penting untuk mencetak kembali buku ini. Selamat membaca. (*).

Data Buku

Judul Buku          : Nahdlatul Ulama Penegak Panji Ahlussunah Wal Jamaah
Penulis                : KH. M. Hasyim Latif
Penerbit              : Muara Progresif
Tahun Terbit        : 2019
Tebal                   : xiv+138 halaman
ISBN                   : 978-602-50207-9-7

Multi-Page

Tinggalkan Balasan