Kemuliaan Bergaul dengan Orang-orang Berilmu

1,338 kali dibaca

Ilmu tidak ujuk-ujuk datang dengan sendirinya. Perlu proses dan usaha. Pada diri manusia, ilmu menjadi pembeda dengan makhluk lain seperti hewan. Bahkan, manusia bisa berada pada derajat yang lebih mulia dari malaikat karena faktor ilmu. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Advertisements

Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”

Berdasarkan dalil tersebut, ilmu memang dari Allah. Akan tetapi prosesnya melalui seorang guru (baca: kiai) yang memiliki sanad. Makna sanad ini seperti “filosof air”, mengalir dari hulu hingga hilir. Maka, kiai atau ulama yang bermanhaj ahlussunah waljamaah dapat diibaratkan sebagai hilir yang terjaga dari keruhnya atau sesatna pemikiran hingga jauh dari maksud dan tujuan agama Islam.

Islam sendiri telah ditetapkan sebagai agama yang paripurna berdasarkan firman Allah:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bagi umat Islam landasan tentang segala hal yang berkaitan dengan agama bersumber dari al-kitab dan as-sunnah.

Selanjutnya, bagaimana apabila ada peribadatan yang baru dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, semisal melaksanakan solawatan , yasinan, mauludan, atau lain sebagiannya?  Ibadah pada prinsipnya adalah tawaqquf. Segala hal yang dikategorikan sebagai ibadah tidak boleh dilaksanakan kecuali ada dalil yang melegitimasinya. Maka, jika ibadah yang dibuat-buat tanpa ada dalih pasti itu kesesatan.

Sementara itu, peribadatan yang bersinggungan dengan budaya dan kearifan lokal yang tidak ada dasar dalil perintah atau larangannya, maka diperbolehkan. Dengan demikian, ittiba kepada ulama atau kiai menjadi keharusan. Kenapa? Sebab informasi dan publikasi tentang Islam tidak lagi datang dari Nabi Muhammad, akan tetapi dilanjutkan para ulama. Ini sesuai dengan hadits Nabi:

الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا

وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Artinya: Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak. (Hadits ini diriwayatkan al-Imam at-Tirmidzi di dalam Sunan Nomor 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169).

Dalam hal ini seseorang yang jauh dari ulama akan juga jauh dari anbiya, dan yang jauh dari anbiya akan jauh dari Allah.

Karena itu, KH A Mujib Imron (Pengurus Pusat INSANI) pun pernah mengatakan, “Jangan pernah putus hubungan dengan guru, juga jangan putus hubungan dengan ulama.”

Apa yang dimaksud dengan tidak putus hubungan guru dan ulama? Tidak putus hubungan dengan kiai dan ulama adalah bentuk dari ketaatan pada Allah dan rasulnya. Sebab, Nabi mewariskan ilmu dan yang membawa atau melanjutkan risalahnya adalah para ulama.

Dengan demikian, tidak memutus hubungan dengan ulama atau kiai akan menjadikan manusia semakin mulia karena keilmuan mereka. Ini sesuai dengan hadits Nabi:

قال النبي صلى الله عليه وسلم لابن مسعود رضي الله عنه: {يَا ابْنَ مَسْعُوْدٍ، جُلُوْسُكَ سَاعَةً فِيْ مَجْلِسِ العِلْمِ، لاَ تَمَسُ قَلَماً، وَلاَ تَكْتُبُ حَرْفًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ عِتْقِ أَلْفِ رَقَبَةٍ، وَنَظَرُكَ إِلىَ وَجْهِ العَالِمِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَلْفِ فَرَسٍ تَصَدَّقْتَ بِهَا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَسَلاَمُكَ عَلىَ العَالِمِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ عِبَادَةِ أَلْفِ سَنَةٍ}.

Artinya: Nabi Saw bersabda kepada Ibnu Mas’ud r.a, “Wahai Ibnu Mas’ud, dudukmu sesaat di dalam suatu majelis ilmu, tanpa memegang pena dan tanpa menulis satu huruf (pun), lebih baik bagimu daripada memerdekakan seribu budak. Pandanganmu kepada wajah seorang yang berilmu lebih baik bagimu daripada seribu kuda yang kau sedekahkan di jalan Allah. Dan ucapan salammu kepada orang yang berilmu lebih baik bagimu daripada beribadah seribu tahun.”

Maka, selama masih diberi umur panjang, kita harus senantiasa menjalin hubungan dengan para kiai dan ulama, terutama untuk mangaji dan mengkaji ilmu.

Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:

عليكم بالعلم قبل أن يُقبض وقبضه بذهاب أهله ، عليكم بالعلم فإن أحدكم لا يدري متى يُفتقر إلى ما عنده ، وستجدون أقواما يزعمون أنهم يدعون إلى كتاب الله وقد نبذوه وراء ظهورهم ، وإياكم والتبدُّع والتنطع والتعمق وعليكم بالعتيق

Artinya: “Kalian wajib memiliki ilmu sebelum yang memilikinya dicabut dari dunia (mati). Kalian wajib memiliki ilmu, karena kalian tidak tahu kapan mereka akan pergi dari sisi kita, lalu kalian akan menemukan sekelompok manusia yang beranggapan bahwa mereka mengajak manusia untuk berpegang teguh kepada al-Quran, padahal mereka meninggalkannya di belakang punggung-punggung mereka. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap perbuatan bidah, berpura-pura fasih, dan berpura-pura mendalami agama ini. Namun, wajib bagi kalian untuk berakhlak mulia.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan