Kemiskinan, Agama, dan Karl Marx

1,615 kali dibaca

Selain ketamakan para penguasa, hal yang sangat sulit untuk dihilangkan adalah kemiskinan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa siapa pun yang hidup di dunia ini dan ia mengingkari fenomena kemiskinan, maka ia telah melawan takdir Tuhan.

Jika ditelisik jauh dari zaman kenabian, hingga nanti menjelang hari akhir pun, kemiskinan akan senantiasa menjamur di muka bumi. Fenomena ini akan selalu hadir di tengah masyarakat, dan tak bisa ditolak. Namun, sangat bisa untuk dikurangi jumlahnya (kemiskinan), jika negara beserta instrumennya berusaha dengan sangat sungguh-sungguh. Agaknya tak ada yang bercita-cita untuk hidup dalam keadaan susah, apalagi menjadi miskin di zaman modern seperti ini.

Advertisements

Dalam masyarakat perkotaan, kita bisa melihat dengan nyata fenomena kemiskinan ini menjamur di pinggiran kota, perkampungan kumuh, kolong jembatan, dan deretan rumah sekitar rel kereta api, misalnya.

Setidaknya ada dua pendekatan yang bisa kita gunakan untuk melihat fenomena kemiskinan ini, yakni pendekatan struktural dan pendekatan kultural.

Pendekatan struktural akan menjelaskan bahwa menjamurnya fenomena kemiskinan disebabkan oleh kurangnya atau bahkan tidak adanya akses secara politik kekuasaan atas hak-hak mereka (masyarakat miskin) untuk menikmati kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh sebuah negara.

Kebijakan yang dibuat oleh negara tidak dapat dinikmati oleh sebagian penduduk sehingga mereka tetap terisolasi, termarjinalkan atau terpinggirkan, serta terbelakang dalam mengakses pembangunan yang dilakukan oleh negara. Jika sudah demikian, masyarakat yang terpinggirkan akan terus berada dalam lingkaran kesulitan dalam akses pembangunan. Sehingga, tak ada dampak positif dari pembangunan yang dilakukan oleh negara bagi mereka yang selama ini termarjinalkan.

Dari penjelasan struktural tersebut dapat dikatakan bahwa adanya kemiskinan disebabkan oleh dampak kebijakan negara yang timpang. Artinya, negara juga mempunyai andil dalam menjamurnya kemiskinan. Selama kebijakan yang dibuat negara tidak memihak kepada kaum lemah, yang dalam Islam dikenal dengan sebutan kaum mustadhafin, maka selamanya mereka (mustadhafin) tidak akan mengalami peningkatan akses atas pembangunan.

Berbeda dengan struktural, pendekatan kultural akan menjelaskan bahwa fenomena kemiskinan ini terjadi bukan karena struktur politik kekuasaan dalam membuat kebijakan yang timpang, menindas, dan tidak adil bagi sebagian masyarakat. Tetapi, kemiskinan memang sudah menjadi budaya yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur mereka.

Dengan ini, sangat mungkin menjadi miskin jika seseorang terlahir dari keluarga yang miskin. Masyarakat kesulitan untuk menjadi keluarga yang tidak miskin karena tidak mempunyai budaya kaya dari leluhurnya. Fenomena ini oleh Sayid Alatas disebut mitos, bahwa kemiskinan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya adalah mitos yang terus berlangsung.

Jika sudah begitu, masyarakat akan terbiasa hidup sederhana, hidup santai, hidup saling membantu apa adanya, dan membagi atas apa yang dimiliki. Ini seakan-akan sudah menjadi ajaran mazhab kultural yang menjadi faktor dalam langgengnya kemiskinan di masyarakat.

Jadi kemiskinan bukan disebabkan oleh negara, tetapi dari internal masyarakat serta lingkungan sekitar yang sejak awal mempunyai tradisi miskin. Sekalipun terdapat kebijakan dari negara untuk mendorong adanya perubahan, karena kulturnya adalah kemiskinan, maka masyarakat akan tetap menikmati kemiskinan itu karena sudah menjadi bagian dari dirinya. Dengan demikian, mengubah kemiskinan akan sulit dilakukan, bahkan dengan usaha apa pun.

Candu Agama

Bukan tanpa alasan, agama menjadi latar belakang mereka bersikap seperti itu. Mereka yang terbiasa hidup dalam kemiskinan tidak pernah merasakan bahwa kesusahan merupakan penderitaan yang harus dibebaskan.

Di dalam pemahaman mereka, penderitaan merupakan bagian dari hidupnya. Tak ada yang salah dan perlu disesali. Inilah fakta yang harus diterima. Sebab, beginilah keadaan yang Tuhan berikan. Tuhan tak pernah salah dalam memberikan berkat kepada umatnya.

Pemahaman dogma keagamaan seperti ini yang berkembang dalam tradisi kemiskinan yang dianut mazhab kultural. Tak mengherankan jika Karl Marx mempopulerkan kalimat “Agama Itu Candu”. Agama seakan meninabobokan masyarakat miskin, hingga tak ada lagi semangat pembebasan dalam pemahaman keagamaan mereka.

Karl Marx mengkritik agama lantaran manusia dialienasikan oleh agama dari kehidupan nyata di dunia, dan dibuai dengan kehidupan akhirat di surga. Bisa dilihat bagaimana masyarakat miskin sangat nyaman dengan kemiskinannya, karena bagi mereka menjadi miskin adalah nikmat yang harus disyukuri, bukan untuk diingkari. Seakan-akan agama memberi legitimasi atas penderitaan, kesengsaraan, dan kemiskinan manusia.

Tafsir Transformatif

Dengan demikian, jika agama tidak ditafsirkan secara transformatif, maka agama tidak akan mempunyai daya dobrak pada masyarakat secara revolusioner. Pada akhirnya, kritik Karl Marx kepada agama menjadi benar, bahwa agama menjadi candu masyarakat.

Seakan menjawab kritik Karl Marx terhadap agama, seorang antropolog bernama Moeslim Abdurrahman mengatakan bahwa dalam menghadapi kemiskinan, teks agama harus ditafsirkan secara transformatif, sehingga nantinya terjadi perubahan mendasar di masyarakat dari masyarakat diam menjadi masyarakat bergerak. Masyarakat harus berubah, bukan stagnan. Benar jika kemiskinan adalah takdir Tuhan, tetapi merupakan takdir yang dapat diubah. Tergantung bagaimana kesadaran seseorang atau kelompok masyarakat bergerak untuk mengubahnya.

Jika ditafsirkan secara transformatif pula, agama sejatinya tidak menyukai kemiskinan. Sebab kemiskinan dapat membawa masyarakat pada keingkaran terhadap Tuhan. Seharusnya agama membantu masyarakat untuk terbebas dari jeratan kemiskinan. Bahkan dapat dikatakan bahwa agama yang tidak mampu membebaskan jeratan kemiskinan masyarakat adalah agama yang mendustakan Tuhan. Apalagi umat beragama yang abai terhadap fenomena kemiskinan. Menafsirkan agama secara transformatif, bukan dogmatik, merupakan pintu pembebasan atas fenomena kemiskinan dan menjawab kritik atas Karl Marx. Karena agama adalah kritik sosial atas kenyataan, bukan pasif adanya.

Hal ini pun direspons sangat baik oleh keberadaan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dengan mendirikan banyak lembaga amil zakat infak dan sedekoh di berbagai kota. Meskipun di negara ini sangat utopis untuk menghilangkan kemiskinan, setidaknya dengan kehadiran lembaga filantropi agama bisa mengurangi dan membantu masyarakat terbebas dari jeratan kemiskinan. Tanpa adanya pergerakan agama yang transformatif dan progresif, maka kemiskinan hanya akan menjamur dan tak pernah terurai dari kehidupan masyarakat.

Daftar Pustaka:

Abdurrahman, Moeslim, Islam yang Memihak, LKiS, 2010.
Jones, Pip, Dkk, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Yayasan Pustaka Obor, 2016.
Mabnunah, Potret Kemiskinan Sebagai Wajah Indonesia yang Belum Pudar, Yogyakarta 2020
Qodir, Zuly, Sosiologi Agama: Teori dan Perspektif Keindonesiaan, Pustaka Pelajar, 2018.
Schuman, Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, Grasindo, 1993.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan