Kemenangan Taliban dari Perspektif Indonesia

736 kali dibaca

Pemerintah Afghanistan tidak bisa berbuat banyak ketika militer Amerika Serikat dan North Atlantic Treaty Organization (NATO) ditarik mundur. Pemerintah Afghanistan sendiri tidak punya kuasa memaksa Amerika Serikat dan NATO untuk membantu mengawal keamanan di negaranya secara terus menerus.

Penarikan pasukan militer dan segala infrastruktur pendukung pun dilakukan dengan sistematis dan cepat, karena agaknya Amerika Serikat dan NATO sudah sangat kepayahan menginjakkan kaki di Afghanistan. Implikasinya, Taliban dengan cepat menguasai distrik-distrik di Afghanistan yang ditinggalkan tentara AS dan NATO. Dan, per tanggal 15 Agustus Taliban berhasil menduduki istana Kepresidenan Afghanistan di ibu kota Kabul.

Advertisements

Pasca pendudukan istana, Taliban pun mengumumkan klaim kemenangan perang Afghanistan. Pengamat gepolitik, Faizal Assegaf, menjelaskan pers Taliban dalam wawancaranya di salah satu kanal tv nasional, juru bicara Taliban Mohammad Naeem, memastikan transisi pemerintahan dari pemerintah Afghanistan kepada Taliban akan berlansung secara damai. Lebih lanjut, Taliban akan mengedepankan pendekatan humanisme kepada seluruh entitas yang ada di Afghanistan. Hal ini menurut Faisal Assegaf sebenarnya antara mengagetkan dan tidak.

Hal tersebut dikarenakan pernyataan pers yang dilakukan oleh Taliban sarat akan motif, yakni Taliban berusaha mencari posisi di antara komunitas regional dan internasional. Telisiknya, Taliban ingin menggambarkan dan memuwujudkan kedamaian guna mendapatkan dukungan dan simpati dari komunitas regional dan internasional, mengingat pada masa pemerintahanya tahun 1990-an hingga 2000-an, pendekatan militer yang digunakan Taliban malah menjadikan Afghanistan kacau balau, dan tentunya respons negatif-keras kepada Taliban dari komunitas regional dan internasional.

Tidak berbeda jauh dengan Faizal Assegaf, Dina Sulaeman, pakar geopolitik Timur Tengah yang juga guru besar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, mengutip juru bicara Taliban: “Taliban berjanji akan menegosiasikan bentuk pemerintahan mendatang. Taliban juga tidak akan melakukan balas dendam terhadap musuh-musuhnya. Termasuk, Taliban menegaskan bahwa perempuan akan diberikan ruang untuk beraktivitas, bekerja, dan mendapatkan pendidikan.”

Hal ini secara khusus sebagai penegasan dari Taliban kepada komunitas regional dan internasional atas kekhawatiran jikalau Taliban masih menerapkan model pemerintahan seperti periode 1996 sampai 2001 silam.

Melihat Afghanistan Hari Ini

Sebelumnya, Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani memilih kabur ke Uni Emirat Arab dengan dalih menghindari eskalasi (baca: pertempuran) yang lebih tinggi. Namun, beberapa komunitas regional dan internasional menganggap apa yang dilakukan oleh Asraf Ghani sebagai tindakan “pengecut atau tidak bertanggung jawab”, khususnya terhadap rakyat Afghanistan.

Namun, hal ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Bisa jadi yang dilakukan oleh Asraf Ghani benar adanya sesuai tujuan yang disampaikan. Akan tetapi yang jelas, rakyat Afghanistan lahyang paling merasakan “kesakitan dan dilema” dalam menjalani kehidupan sehari-harinya pasca kemenangan Taliban.

Hal tersebut setidaknya tergambar dengan jelas dengan banyaknya penduduk Afghanistan yang “lari” meninggalkan tanah airnya. Banyak penduduk di luar ibu kota Kabul lari ke daerah perbatasan untuk mencoba peruntungan mencari suaka ke negara-negara terdekat. Sedangkan penduduk di dalam ibu kota memadati bandara Internasional Hamid Karzai, yakni mencari tumpangan agar dievakuasi keluar dari Afghanistan, khususnya ke negara-negara NATO.

Hal ini semakin menjadi chaos, salah satunya karena penduduk berebut untuk naik pesawat, dan berita beberapa hari terakhir mengatakan: ada korban yang jatuh dari pesawat gara-gara menyelinap di roda pesawat.

Kemudian di luar bandara, penduduk saling berdesakan dan dilaporkan ada korban jiwa karena terinjak-injak. Tragedi tersebut hanyalah salah satu sisi yang terekam oleh media, karena sesungguhnya apa yang terjadi di ibu kota Kabul lebih dari itu.

Adapun beberapa pihak menelaah hal tersebut sebagai bentuk ketakutan oleh penduduk Afghanistan yang pro-Amerika Serikat dan NATO. Tetapi fakta di lapangan, mobilitas secara besar-besaran juga dilakukan oleh penduduk Afghanistan yang tidak terikat dengan politik. Hal ini semata-mata ketakutan dan dilema atas kembali berkuasanya Taliban. Meskipun, Taliban sendiri sudah menegaskan dalam persnya, bahwa akan bersikap lebih inklusif. Tetapi, nyatanya kenangan buruk dan berdarah-darah tidak begitu saja hilang dari penduduk Afghanistan. Komunitas internasional memahami hal tersebut sebagai insiden kemanusian, yang pada akhirnya Amerika Serikat dan NATO membuka negaranya untuk menampung sementara penduduk Afghanistan yang dievakuasi.

Dalam tinjauan yang lebih spesifik, mengutip dari kanal Islam.co, Kiai As’ad Said Ali, mantan Wakil Ketua Umum PBNU (periode 2010-2015) yang juga mantan Wakil Kepala BIN (periode 2001-2010) menjelaskan: Taliban yang menguasai Afghanistan hari ini adalah faksi Akhundzada, faksi paling besar dan berpengaruh di tubuh Taliban, jika dibandingkan dengan faksi Haqqani dan Mullah Rasul.

Lebih lanjut ia menjelaskan, faksi Akhundzada inilah yang menjadi pilar terdepan dalam komunikasi dengan Amerika Serikat dan NATO, khususnya perihal perjanjian di Qatar awal tahun 2020, yang meminta pasukan Amerika Serikat dan NATO untuk ditarik dari tanah air Afghanistan (salah satu kesepakatan perjanjian Qatar). Termasuk, faksi Akhundzada adalah faksi paling moderat; inklusif dibanding faksi lainnya.

Namun, ada hal yang cukup mencengangkan, bahwa Haibatullah Akhundzada, pimpinan tertinggi Taliban sekaligus faksi Akhundzada memberikan “kelonggaran” dengan membebaskan ribuan tahanan Taliban, ISIS, dan Al-Qaeda dari penjara Pul-e-Charki, Kabul. Yang mana awalnya penjara ini di bawah kontrol Amerika Serikat dan NATO. Hal ini memantik kecemasan komunitas internasional, kaitanya dengan janji-janji Taliban. Karena secara pemetaan daerah konflik radikalisme, Afghanistan menjadi salah satu basis terbesar dari terorisme, yakni Taliban,ISIS, dan Al-Qaeda (Selain Suriah, Iran, dan Irak). Secara tidak langsung, Taliban memberikan ruang gerak pada kelompok lain (teroris), yang bisa saja menjadikan Afghanistan sebagai “rumah besar” teroris.

Sebagai catatan terbaru per tanggal 22 Agustus, chaos di Afghanistan masih berlanjut, khususnya di ibu kota Kabul dan distrik sekitarnya. Banyak negara yang kesulitan bahkan gagal melakukan evakusai karena dinamika yang tidak menentu di sekitar bandara. Termasuk juga, penguasaan Kabul oleh Taliban memantik “perang saudara”, yakni timbulnya perlawanan bersenjata dari penduduk Afghanistan yang kontra Taliban. Melansir dari al-Jazeera, per tanggal 21 Agustus, kelompok kontra Taliban, Pasukan Mujahidin Afghanistan, pimpinan Khair Muhammad berhasil merebut tiga distrik bagian utara dari Taliban, yakni distrik Pol-e-Hesar, Deh Salah, dan Banu.

Sudut Pandang Indonesia

Pemerintah Indonesia dalam hal ini mengambil posisi aman dan sikap waspada. Kita tahu, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat dihormati oleh Taliban dan mantan pemerintahan Afghanistan, bahkan Indonesia ditunjuk sebagai juru damai non-blok untuk ikut merajut persatuan dan kesepemahaman diantara keduanya. Terlebih juga, Taliban menjamin keamanan KBRI Kabul. Tetapi, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri dan BIN lebih memilih untuk mengevakuasi seluruh WNI (termasuk diplomat, dan Staf lokal KBRI Kabul) kembali ke Indonesia.

Sikap yang diambil oleh Pemerintah Indonesia sendiri sudah sangat tepat, karena sudah seharusnya tidak gampang percaya dengan janji-janji Taliban. Mengingat, ideologi ekstremis tidak akan gampang begitu saja dipinggirkan, terlebih sudah mengakar bertahun-tahun.

Dalam beberapa kanal media juga simpang siur perihal konsistensi dari apa yang sudah dijanjikan Taliban. Apalagi minimnya bukti literatur dan fakta lapangan yang menegaskan Taliban sudah sepenuhnya berubah, khususnya dalam pendekatan dan model pemerintahan. Sehingga, sekali lagi, langkah evakuasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sudah sangat tepat.

Perihal simpang siurnya berita dari janji-janji Taliban ini adalah salah satu yang memantik sikap dari masyarakat, khususnya yang menganggap Taliban adalah “pemenang yang bajunya bersih”, padahal faktanya, darah dan dilema penduduk yang tak bersalah tumpah dimana-mana. Hal ini secara khsusus juga dijawab oleh kepala Badan Nasional Penanggulanagan Teroris, Komjen Boy Rafli Amar: “Kita harus berhati-hati dalam menyikapi perkembangan di Afghanistan. Jangan sampai masyarakat salah bersimpati, karena berdasarkan pemantauan kami ada pihak tertentu yang berusaha menggalang simpatiasan atas isu Taliban, dan tentu pergerakan Taliban tidak boleh sampai terjadi di Indonesia.”

Lebih lanjut, Densus 88 dalam minggu ini menangkap puluhan anggota Jamaah Islamiyah (Teroris). Penangkapan ini memang tidak ada hubunganya dengan chaos-nya Afghanistan dan Kemenangan Taliban. Tetapi dari berbagai media nasional, diinformasikan perihal penangkapan ini, salah satunya adalah adanya renaca sistematis untuk melakukan aksi bom pada tanggal 17-18 Agustus. Hal ini secara tidak langsung menjelaskan apa yang dicapai oleh Taliban bisa menjadi motivasi bagi kelompok-kelompok radikal dimanapun berada, salah satunya di Indonesia.

Adapun salah satu hal yang perlu digaris bawahi oleh masyarakat Indonesia, khususnya umat Muslim adalah: apa yang diperjuangkan dan dilakukan oleh Taliban bukanlah atas nama agama Islam, melainkan murni perjuangan yang borientasi pada kuasa tanah air Afghanistan atas nama Taliban . Hal ini perlu dipahami, agar tidak ada salah tafsir di tengah masyarakat, terlebih dengan atensi literasi yang cukup rendah. Dalam sisi ini, agama Islam adalah agama yang kebetulan melekat pada Taliban, dan segala produk hukum juga model pemerintahanya adalah ijtihad Taliban sendiri.

Melihat dampak yang lebih jauh bagi Indonesia, Fajrie Alatas, dosen Kajian Timur Tengah New York University, menjelaskan dalam wawancaranya di salah satu kanal tv nasional: agaknya apa yang terjadi di Afghanistan tidak akan terjadi di Indonesia, meskipun potensi radikalisme itu ada. Tetapi juga tidak boleh menyepelekan. Garda terdepan untuk tidak mengikuti jatuhnya Afghanistan adalah dengan meningkatkan rasa nasionalisme. Kelebihan yang dimiliki Indonesia adalah tidak adanya single etnis yang mendominasi seperti di Afghanistan. Termasuk, adanya ormas Islam moderat, Muhammadiyah dan NU yang memiliki jaringan mengakar diseluruh Indonesia, yang membentengi umat Muslim dari nilai-nilai yang merusak persatuaan.

Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan