Kekerasan dan Pengasuhan: Transformasi Generasi Anti-Kekerasan

285 kali dibaca

Ekstremisme dan terorisme tampaknya telah menjadi masalah yang persisten yang selalu menghadang perjalanan manusia sepanjang sejarah. Pada era klasik, kekerasan lebih sering muncul sebagai akibat dari persaingan akses terhadap sumber-sumber kehidupan seperti air dan makanan.

Selama abad pertengahan, kekerasan dan teror lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik dan teritorial. Namun, di era modern ini, faktor-faktor yang mendorong kekerasan dan teror menjadi terfragmentasi ke dalam multidimensi yang kompleks dan rumit.

Advertisements

Faktor ekonomi, politik, ideologis, bahkan teologi, semuanya dapat menjadi pemicu di balik maraknya kekerasan dan teror di abad ini. Ironisnya, fenomena kultur kekerasan dalam era modern ini tidak hanya terbatas pada satu kelompok tertentu, melainkan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja. Kekerasan di tingkat anak dan remaja sering kali dipicu oleh upaya mencari eksistensi dan identitas diri.

Kekerasan sering dianggap sebagai cara cepat untuk mendapatkan pengakuan dan validasi dari orang lain. Melibatkan diri dalam tindakan kekerasan menjadi semacam tren yang memuaskan dorongan egoisme dan narsisme.

Kultur kekerasan yang didasari oleh sikap ego dan narsisme ini terlihat dalam fenomena-fenomena seperti klithih di Yogyakarta, geng motor di berbagai kota besar, dan sejenisnya. Tindakan-tindakan tersebut menjadi bentuk ekspresi dari upaya untuk mencari perhatian dan pengakuan, bahkan jika itu berarti melibatkan kekerasan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Fenomena ini mencerminkan adanya kebutuhan manusia untuk diterima dan diakui, namun sayangnya dipilih jalur yang merugikan dan merugikan orang lain.

Peran Perempuan

Diskusi tentang kekerasan di kalangan anak dan remaja tak dapat dilepaskan dari permasalahan kepengasuhan dalam keluarga. Anak-anak yang menunjukkan perilaku agresif dan destruktif sering kali mencerminkan kurangnya kualitas pengasuhan dari orang tua dalam lingkungan keluarga. Kerap rapuhnya struktur keluarga menjadi kontributor utama terhadap fenomena kekerasan di kalangan anak dan remaja.

Tanpa bermaksud mereduksi peran laki-laki, perlu diakui bahwa peran ibu memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pengasuhan. Perempuan menjadi kunci dalam membentuk generasi yang memiliki karakter kuat, bermoral tinggi, dan menolak kekerasan. Dalam pandangan Mark Tessler, Jodi Nachtwey, dan Audra Grand, perempuan membawa modal penting untuk membentuk generasi yang menolak kekerasan, yaitu “moral keibuan”.

“Moral keibuan” mengacu pada sikap atau perspektif kehidupan yang mengutamakan kondisi aman dan damai. Pandangan ini dipahami oleh perempuan melalui pengalaman kehamilan, persalinan, dan proses pengasuhan anak. Dalam proses tersebut, perempuan memahami betapa pentingnya menjaga dan merawat kehidupan, membentuk landasan moral yang kuat bagi generasi yang akan datang.

Perempuan telah mengalami secara pribadi betapa sulitnya proses kehamilan, rasa sakit saat melahirkan yang bahkan dapat mengancam nyawa, dan kesulitan dalam membesarkan anak. Pengalaman-pengalaman ini menciptakan kesadaran akan nilai besar dari satu kehidupan manusia yang tidak boleh diabaikan, terutama dalam konteks menjadi korban kekerasan dan teror. Oleh karena itu, menjadi seorang ibu diartikan sebagai menjadi penjaga kehidupan.

“Moral keibuan” diakui sebagai sesuatu yang sulit dimiliki oleh laki-laki karena secara biologis mereka tidak dapat menggantikan peran-peran khusus yang dimiliki oleh perempuan dalam proses kehamilan, melahirkan, dan menyusui.

Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa “moral keibuan” bukan berarti bahwa laki-laki tidak memiliki peran dalam kepengasuhan anak. Proses pengasuhan anak seharusnya dianggap sebagai kerja kolektif kedua orang tua. Meskipun perempuan membawa pengalaman khusus dan peran biologis tertentu, laki-laki juga memiliki tanggung jawab dan kontribusi yang tak kalah penting dalam membentuk karakter dan nilai-nilai positif pada generasi yang akan datang. Dalam konteks ini, kerjasama dan keterlibatan aktif kedua orang tua menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan keluarga yang sehat dan mendukung perkembangan anak-anak yang anti-kekerasan.

Kepemimpinan Moral

Pepatah Arab yang menyatakan, “Ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya, sedangkan ayah adalah kepala sekolahnya,” mencerminkan pemahaman bahwa peran ibu dan ayah dalam kepengasuhan anak memiliki perbedaan yang spesifik.

Dalam konteks ini, peran ayah diibaratkan sebagai “kepala sekolah” yang bertanggung jawab atas aspek-aspek substantif dan esensial yang terkait dengan kelangsungan kegiatan pengasuhan itu sendiri. Sebagai kepala keluarga, tugas seorang ayah dapat mencakup memastikan kestabilan kondisi finansial rumah tangga, serta memastikan semua kebutuhan dasar anggota keluarga terpenuhi.

Sebagai pemimpin keluarga, peran ayah dapat melibatkan pengambilan keputusan yang strategis untuk keberlangsungan kehidupan keluarga, termasuk manajemen finansial dan pemenuhan kebutuhan pokok. Analogi kepala sekolah dalam pepatah tersebut menunjukkan bahwa peran ayah memiliki dimensi tanggung jawab dan ketangguhan yang serupa dengan seorang pemimpin dalam lingkup keluarga.

Tugas seorang ibu, seperti diibaratkan sebagai sekolah, fokus pada aspek-aspek teknis yang berkaitan langsung dengan penanaman akhlak, moral, dan etika pada anak-anak. Perempuan memegang peran sentral dalam kegiatan pengasuhan, dan tugas utamanya adalah mentransfer nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang bersifat moral dan etika yang berlaku secara universal.

Ibu bertanggung jawab untuk mengajarkan anak-anaknya tentang perilaku sopan, menghargai orang lain, berperilaku jujur, dan nilai-nilai dasar yang berlaku di semua kelompok masyarakat, tanpa memandang agama, suku, ras, atau etnis. Etika dan moral universal ini dianggap sebagai fondasi karakter dan kepribadian anak, dan penting ditanamkan sejak dini sebelum mereka terpapar dunia yang lebih luas.

Fondasi yang kuat dalam etika dan moral universal membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, peran ibu dalam mengajarkan nilai-nilai ini memiliki dampak jangka panjang pada perkembangan karakter anak dan membantu membentuk individu yang dapat berkontribusi secara positif pada lingkungan sekitarnya.

Moral keibuan juga mendorong pendekatan pengasuhan berbasis simpati dan empati, di mana seorang ibu selalu berusaha untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anaknya.

Pengasuhan yang dijalankan dengan baik adalah yang berasal dari kesukarelaan daripada pemaksaan. Dalam konteks ini, anak-anak menginternalisasi karakter baik (akhlaqul karimah) karena adanya kesadaran, bukan karena adanya paksaan.

Generasi yang dibesarkan oleh ibu yang mengasuh dengan simpati dan empati cenderung memiliki komitmen terhadap prinsip kemanusiaan. Mereka tidak cenderung menggunakan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah atau sekadar mencari pengakuan. Sebaliknya, mereka terbiasa dengan pendekatan yang lebih humanis dan membawa dampak positif dalam interaksi sosial dan penyelesaian konflik.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan