Kekeliruan Kelompok Radikal dalam Memahami Khilafah

1,570 kali dibaca

Dalam satu dekade terakhir khilafah atau Negara Islam menjadi buah bibir yang memantik perhatian publik. Bukan hanya di kancah nasional, melainkan juga internasional. Pembicaraan ihwal khilafah tak kunjung usai. Mulai dari angkringan, kafe, diskusi-diskusi organisasi hingga seminar dan kuliah umum banyak yang membahas tema khilafah ini. Jangan-jangan, orang akan membiarkan diskusi ini terus mengalir, seolah tak memerlukan sebuah kesimpulan. Pun, sudah sekian tahun lamanya para cendekiawan berusaha mencari dalil dan argumentasi guna mengukuhkan fondasi Khilafah Islamiyah (Negara Islam).

Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa kelompok atau organisasi yang santer menghembuskan ideologi ihwal penegakan Negara Islam. Di antaranya adalah; Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jundullah, Jamaah Islamiyah (JI), dan lain-lain. Namun, yang paling gencar dan santer mengampanyekan berdirinya Negara Islam dari beberapa organisasi yang ada di Indonesia, yakni HTI.

Advertisements

Seperti diketahui bersama bahwa HTI termasuk salah satu eksponen gerakan Islam ideologis di Indonesia, yang mengusung cita-cita atau gagasan perlunya kembali kepada sistem khilafah. Sebab, menurutnya, khilafah mampu menjadi solusi semua problem yang dihadapi bangsa-bangsa dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Walau begitu, gagasan ihwal berdirinya Negara Islam ini terus menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Begitu pula di Indonesia. Bagi kelompok yang pro, menilai bahwa sistem khilafah sebagai alternatif terbaik dalam menggantikan sistem pemerintahan yang diimpor dari Barat (demokrasi dan lainnya), yang oleh mereka dinilai telah gagal. Juga, sistem khilafah memiliki etos keadilan bagi semua hal, mampu melahirkan kehidupan yang baik dengan cara bertetangga dan bermasyarakat secara harmonis.

Lebih jauh lagi, mereka menganggap bahwa sistem khilafah mampu menciptakan masyarakat yang tidak hedonistik, sehingga diharapkan dapat juga menghilangkan problem kemiskinan di tengah masyarakat. Juga, mampu mengakhiri pengaruh pemilik modal (kelompok kapitalis) dalam pengambilan kebijakan yang selama ini dianggap sekadar berpihak kepada pemilik modal.

Sementara yang kontra, menganggap bahwa Negara Islam yang dihembuskan kelompok ideologi islamis adalah irasional dan ahistoris. Irasional mengadopsi sistem khilafah dalam konteks masa kini, mereka identifikasi melalui pelacakan setting dan struktur sosial suatu masyarakat. Ahistoris yang dimaksud adalah bahwa sistem khilafah sama sekali bukan sistem Islam, tetapi merupakan produk zaman, di mana sistem kenegaraan didasarkan pada tribe atau puak yang sangat mendominasi.

Karena itu, sistem ini mengandung unsur-unsur partikularistik yang tidak bisa diadopsi begitu saja dalam konteks masyarakat yang memiliki sistem sosial yang berbeda. Apalagi dalam konteks Indonesia, di mana negara yang dikenal akan plural dan multikultural dengan beragam agama, suku, etnis, budaya, bahasa, dan lain sebagainya.

Keliru Memahami Dalil

Ironisnya, kelompok yang santer dan yang pro untuk menegakkan Negara Islam ini keliru dalam memahami hakikat khilafah dan dalil yang dijadikan legitimasi. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bahwa Nabi Saw. bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya, kemudian Allah mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian. Lalu Nabi diam”.

Syekh Taqiyuddin al-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) dalam kitabnya yang bertajuk Al-Daulah al-Islamiyah menjadikan hadis Hudzaifah bin al-Yaman tersebut sebagai dasar akan munculnya khilafah nubuwwah, sehingga menjadi dasar misi perjuangan Hizbut Tahrir untuk menegakkan Khilafah Nubuwwah.

Selain itu, masih menurut Hizbut Tahrir, hadis ini telah membagi kepemimpinan umat Islam pada lima fase. Pertama, fase kenabian yang dipimpin langsung oleh Nabi. Kedua, fase khilafah yang sesuai dengan minhaj al-nubuwwah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ketiga dan keempat, fase kerajaan yang diktator dan otoriter. Kelima, fase khilafah al-nubuwwah yang sedang dinanti-nantikan oleh Hizbut Tahrir.

Asumsi Hizbut Tahrir tentang hadis ini jelas tidak benar (keliru). Karena menurut semua ulama, yang dimaksud dengan bisyarah khilafah al-nubuwwah pada fase kelima dalam hadis Hudzaifah adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam al-Hafizh al-Baihaqi.

Dalam kitabnya Dalail Al-Nubuwwah Wa Ma’rifat Ahwal Shahib Al-Syari’ah, disebutkan bahwa yang dimaksud khilafah al-nubuwwah dalam hadis tersebut adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selain itu, Syekh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir), juga menyebutkan dalam kitabnya, Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin fi Mu’jizat Sayyid al-Mursalin, bahwa yang dimaksud dengan khilafah al-nubuwwah dalam hadis tersebut adalah Khalifahnya Umar bin Abdul Aziz.

Sementara itu, menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali, kajian tentang imamah (khilafah) bukan termasuk hal yang penting. Juga bukan termasuk bagian studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fikih (ijtihad ulama). Dan masalah imamah berpotensi melahirkan fanatisme buta. Sehingga, orang yang dapat menghindarkan diri dari persoalan imamah ini lebih selamat daripada yang santer memperjuangkannya. Kendati ia benar dalam memperjuangkan, apalagi ketika salah. (Muhammad Azizul Ghofar, Salah Kaprah Khilafah, hal. 24)

Lebih jauh lagi, ulama sekaligus penulis asal Mesir Ali Abdel Raziq menyatakan dalam bukunya bertajuk Al-Islam wa Qawa’id as-Sulthan (Islam dan Sendi-sendi Kekuasaan), menyangkal adanya konsep kenegaraan yang baku dalam Islam. Bahkan, menurutnya, Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut sebuah “Negara Islam” melainkan menyebut “negara yang baik”, penuh pengampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada alasan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah bagi umat Islam sendiri. (Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, hal. 20)

Masih menurut Raziq, kalaupun Nabi Muhammad menghendaki berdirinya Khilafah Islamiyah, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan “bermusyawarahlah kalian dengan persoalan”. Masalah sepenting itu bukannya dilembagakan secara konkret, melainkan dicukupkan dengan sebuah diktum saja, yaitu: masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka. Mana ada negara bentuk seperti ini.

Sementara Farag Fouda, seorang intelektual asal Mesir juga menelurkan buah pemikirannya akan penolakan berdirinya Negara Islam. Dalam bukunya Al-Haqiqah Al-Ghaibah (Kebenaran yang Hilang) yang kemudian menjadi dasar atas pembunuhan dirinya, Farag Fouda menyatakan bahwa sistem khilafah bukanlah sistem yang layak untuk diterapkan, sebab terdapat jejak-jejak memalukan di dalamnya.

Untuk memperkuat argumennya, Fouda mengajukan fakta sejarah ihwal perilaku para khalifah yang tengah dilupakan oleh para pengusung berdirinya Negara Islam. Baik dari sejarah Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah. Misalnya, pendiri Dinasti Abbasiyah yang dijuluki “Si Penjagal” karena mengundang 90 anggota keluarga Umayyah untuk makan malam. Kemudian mereka disiksa sebelum akhirnya dibunuh. Juga perilaku khalifah yang buruk dan hedonis, seperti gemar minum-minuman keras, main perempuan, berperilaku seksual menyimpang, dan lain sebagainya.

Dari sini jelas bahwa Negara Islam atau khilafah bukanlah canangan terbaik untuk ditegakkan. Apalagi, ketika membahas aspek kenegaraan melalui sudut pandang Islam dan konteks sejarah yang ada. Dan, kalaupun ada gagasan yang mengajukan adanya (berdirinya) Negara Islam, tentu saja, sulit untuk menyatukan umat Islam yang sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, terutama di Indonesia sendiri yang notabene masyarakatnya adalah plural dan multikultural dengan beragam agama, suku, ras, budaya, dan lainnya.

Apabila hal ini dipaksakan, Islam yang sejatinya hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, justru akan menjadi bencana yang mengancam bagi seluruh hidup umat manusia. Dan tidaklah demikian cara Islam rahmatan lil alamin dalam membangun sebuah peradaban Islam, terutama di Indonesia.

Juga, yang tak kala pentingnya adalah ihwal kesalahan pemahaman inilah yang sangat memprihatinkan dan harus segera dibenahi guna mencegah dampak dari kesalahpahaman ini kian membesar dan merambah pada wilayah yang lebih luas. Wallahu A’lam.

Multi-Page

2 Replies to “Kekeliruan Kelompok Radikal dalam Memahami Khilafah”

  1. Saya tidak memandang bahwa Negara Islam itu jelek atau buruk sebagaimana yang diinginkan dalam artikel ini. Karena banyak Negara yang menerapkan daulah Islam mereka mampu hidup berdampingan dengan ragam keyakinan. Dan inilah hakikat dari Islam sebagai rahmatan lil’alamin.

    Hanya saja yang menjadi problem adalah ketika Negara Islam itu dipaksakan untuk diterapkan dalam sebuah negara. Jika ini yang terjadi, maka konsep pemaksaan sebuah dogma akan melahirkan pemerkosaan terhadap hak asasi manusia, khususnya dalam hal agama atau keyakinan.

    Berharap ke depan tidak lahir paham radikalisme yang memaksakan kehendak apapun nama dan konsepnya. Karena hal yang demikian akan menjadi polemik, pelik, kisruh, keruh, dan riak gelombang permusuhan dan perseteruan. Afwan!!!

Tinggalkan Balasan