Kekasih Serigala

1,095 kali dibaca

Cahaya purnama memandikan hutan. Perempuan berjubah merah menyeret sosok lelaki berlumuran darah. Ia melolong, menjerit, lantas memegang perut buncit. Ia rubuh, meronta kesakitan. Bayi di perutnya menendang kencang. Tangannya menggerayang mencari gagang. Batang pohon ditemukan. Ia menjerit lagi sambil menahan napas, menarik napas, dan menjerit lagi sampai ia meninggal. Orok menangis di selangkangan, darah terus keluar di selangkangan. Seekor serigala datang dari kejauhan. Orok makin keras menangis. Serigala itu membawa orok dari ibu yang telah mati.

Setelah seminggu bangkai kedua mayat suami istri membusuk, darah mengering dan hilang. Kedua mayat itu diseret binatang buas dan bau anyir tercium di sepanjang hutan dan tulang belulang terkubur di bawah pohon,
***
Ami, kekasih Amat, tidak lagi mau bertemu dengannya. Dia tidak tahu mengapa sikapnya berubah begitu drastis. Messeger tidak dibalas, telepon tidak diangkat. Amat mengemudikan motor melewati perbatasan desa, menyeberangi jembatan lalu berhenti. Sore itu sepi, tidak banyak motor berlalu-lalang, segera dia teringat Ami. Tidakkah semua itu cuma kenangan usang yang tidak memiliki ruh mau pun jiwa. Lalu apakah dia masih mencintainya?

Advertisements

Dia kembali melajukan motornya dengan hati bimbang. Sesekali dia tengok kanan kiri memastikan tidak ada begal yang mengikuti. Sebelum sampai di desa, dia melihat Ustaz Mamad dan warga berbondong-bondong keluar desa mengarak perempuan tanpa kerudung. Mereka membawa pentungan dan jeriken berisi minyak tanah. Terdengar sorakan dari belakang.

Amat sepertinya mengenal siapa perempuan itu. dia mengingat-ingat kembali tapi yang muncul adalah wajah Ami. Terbesit di benaknya untuk mengikuti arakan. Dia penasaran apa yang akan Ustaz Mamad dan warga lakukan pada perempuan itu. Mengingat, dia sudah lima hari di luar desa dan tidak tahu apa yang sebenarnaya terjadi. Arakan berhenti di hutan. Salah satu warga mengikat perempuan itu di pohon, lalu Ustaz Mamad menghampiri dan bertanya.

“Kau tahu siapa sebenarnya Amat?” Perempuan itu diam. Amat yang tidak jauh dari situ menajamkan telinga.

“Dia siluman! Kau sudah aku peringati untuk pergi dari desa ini sebelum dia kembali tapi kau menyia-nyiakan waktu yang ada.”

Amat tersentak. Perempuan itu adalah Ami. Dia mengerti sekararang.

“Tidak! Sampai kapan pun aku tidak mau pergi dari tanahku.”

“Baiklah. Kita tinggalkan saja perempuan ini di sini. Pastikan nanti malam purnama dan kau akan melihat sendiri,” lanjut Ustaz Mamad.

“Kalau aku tidak melihat siluman, aku penggal kepala kalian semua.”

Mereka tertawa meledak—berjalan pergi, kersak-kersik dan bersin. Sepertinya serangga sudah masuk ke rongga hidung mereka. Lamat-lamat langkah mereka tak terdengar dan langit menggelap. Ia menggeliat, tali di tangannya tidak mau lepas. Ia berteriak. Namun, tidak ada yang dengar dan hanya gema hampa di tengah hutan. Angin menderu, pohon-pohon bergoyang dan terdengar bunyi lars yang lembut di belakangnya. Ia tidak bisa menoleh selain ke kanan kiri. Ia menggeliat lagi berusaha lepas dari cengkaman maut.

“Hei,” Amat menepuk pundak Ami.

“Amat! Kenapa ada di sini?” Amat tidak menjawab. Dia melepaskan ikatan di tangan Ami, kemudian membawanya pergi dari hutan.

“Tunggu,” Ami menarik tangannya dan berhenti. “Jawab dulu pertanyaanku.”

“Sebaiknya kita pergi sebelum macan memakan kita.”

Mereka berlari ke barat, jauh, dan amat jauh seolah mereka sedang memburu senja yang tidak lagi terlihat. Langit semburat merah, hutan bernyanyi tentang kesunyian, tepak kaki bersahutan cepat, cahaya pijar berkelap-kelip di kejauhan. Mereka berhenti di depan gubuk.

“Duduklah. Di sini lebih aman dari desa.”

“Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?” Ami duduk namun matanya menegang. “Jangan-jangan benar apa yang dibilang Ustaz Mamad.”

“Tenanglah dulu. Kita baru saja bertemu setelah lama kau menghindar dariku.”

“Siapa kau sebenarnya?” desak Ami. Tapi, Amat ingin tahu alasannya menjauh.

“Kenapa kau menghindar dariku, Mi?” Mereka saling tatap, sebuah garis merah memenuhi matanya dan kerut di kening serupa jalan rusak.

“Jelaskan dulu siapa kau sebenarnya?” Ami bangkit dan memunggungi Amat.

“Kau benar-benar sudah dipengaruhi warga. Kau bukan lagi Ami yang kukenal.”

Berceritalah Amat tentang kematian:

Pada masa Orde Baru, sepasang kekasih telah melakukan hubungan haram di ladang milik keluarga si perempuan. Mereka ditemukan bertelanjang di semak-semak kebun jagung. Buruh tani yang pertama kali yang menemukannya segera memukul mereka dengan batang bambu. Mereka terkejut dan segera berpakaian. Namun, mereka telah tertangkap basah dan warga sudah menyeret mereka keliling kampung. Seluruh warga melemparkan telur busuk atau lumpur pada wajah mereka. Desa itu menjadi ganas ketika seorang ingin membakarnya.

Peristiwa semacam itu sering kali terjadi. Di kota-kota lebih parah lagi. Namun, karena di sana uang bisa menutupi lubang mulut yang bocor. Tidak ada berita pemerkosaan atau hubungan intim di gang-gang yang gelap.

Suasana menjadi lebih tenang ketika Pak RT dan orang tua mereka datang. Biarkanlah mereka hidup, mereka juga manusia seperti kita. Tapi, biarlah mereka menebus dosa dengan cara lain. Janganlah menghakimi sendiri. Kata seorang Ibu sambil menangis memandang anak perempuannya yang cantik berlumuran lumpur dan berbau busuk.

“Tahukah kau siapa sepasang kekasih itu?” Ami menggeleng.

Setelah disepakati oleh warga. Mereka tidak boleh lagi menginjak tanah ini walau pun saat lebaran, mereka hanya akan tinggal di dasar hutan. Maka, sore itu mereka diantar oleh ayah-ibu mereka ke hutan. Hutan yang sering dibicarakan banyak orang tentang keganasan binatang buas, tentang kematian yang terus memakan korban.

Mereka pun tinggal di sana. Membangun rumah kecil beratap jerami dan berdinding bambu, serta beralas kain batik. O, betapa hidup di hutan menyenangkan? Tidak ada manusia mengusik mereka, undang-undang empat lima hanya berlaku di desa. Mereka hidup bersama hewan-hewan dan berlaku sebagaimana hewan lakukan. Kera yang manis menyuapi pisang pada kekasihnya. Singa yang gagah mendekap kekasihnya dengan hangat. Elang dan gagak berterbangan mengitari mangsa.
Tidak ada yang lebih akrab dari tinggal di hutan.

Waktu terus bergulir, sepasang kekasih yang tinggal di hutan sudah berumur satu tahun. Mereka akan menjadi seorang bapak dan ibu. Sang istri sedang mengandung dan hanya menunggu hitungan hari bayi itu akan keluar. Yang menjadi soal adalah: di hutan tidak ada tenaga medis atau dukun yang bisa membantu istrinya melahirkan. Sedangkan mereka tidak boleh kembali ke desa.

Suatu malam terdengar bren meletuskan tembakan. Salakan anjing, aungan serigala, dan jeritan kera memenuhi malam-malam itu. Mereka tidak bisa tidur sepanjang malam. Pemburu telah kembali menjajah hutan. Mereka memikirkan nasib hewan-hewan di hutan. Kera-kera yang manis dan singa yang gagah itu. Apa kalian baik-baik saja.

Setelah sempat hening beberap jam. Mereka akhirnya terlelap. Sangat lelap sampai tak mendengar suara ketukan pintu. Kera-kera menaiki atap rumahnya dan bergelayutan di sana-sini. Satu kera kecil masuk lewat jendela yang terbuka. Membuka pintu dari dalam dan singa yang gagah—yang selalu dipuja oleh mereka mengaungmengagetkan mereka yang tertidur lelap. Satu-dua ekor singa berlompatan ke arah si lelaki, mencakar hingga darah memenuhi wajahnya. Sang istri menjerit ketakutan, kera-kera yang manis telah melukai kekasihnya. Ia melemparkan batang bambu pada kera. Mereka meloncat dan hinggap di bambu itu.

Singa yang gagah merangkul, mencakar, dan menggigit leher si lelaki. Dia tidak dapat bergerak lagi setelah mendorong sang istri pergi. Kera-kera yang manis mengikuti sang istri pergi. Tapi tidak lama mereka kembali ke rumahnya. Sang istri tidak tahu harus berbuat apa selain menyelamatkan anaknya. Ia yakin, tidak lama lagi singa itu akan mencakar lehernya sampai berlubang.

Entah mengapa ia menjadi tidak yakin yang terjadi malam itu. Ia kembali ke rumahnya dan segumpal pertanyaan mengapung. Mengapa mereka menyerang kita? Kera-kera yang manis dan singa yang gagah berubah menjadi monster raksasa yang haus darah. Apakah kita pernah menyakiti mereka? Pertanyaan itu terus saja berulang dan tidak mau hilang.

Ia temukan suaminya terkapar dengan kepala berlumuran darah. Ia seret suaminya ke luar rumah. Ia akan membawa suaminya ke perbatasan hutan. Di sana pasti ada orang, pikirnya dan mereka akan menolong nyawa suaminya.

Tapi Tuhan berkata lain. Sang istri mati setelah melahirkan anaknya. Orok menangis di selangkangan, seokor serigala datang membawa si orok. Dan aungan serigala terdengar sepenjuru hutan.

“Apakah kau sudah tahu siapa suami istri yang tinggal di hutan?” Ami menggeleng.

“Percayakah kau bahwa orok itu adalah aku?” Ami terperanjat lantas kembali duduk di samping Amat dengan wajah muram penuh penyesalan.

Selokan Mataram, 21/05/2019.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan