Kebenaran yang Bercerita

461 kali dibaca

Siang itu, melalui pengeras suara masjid Baitul Mukminin, menggema pengumuman bahwa Kiai Salam telah meninggal dunia dikarenakan sakit. Dari teras rumah, kulihat rumahnya sepi. Hanya istri dan kedua anaknya di sana. Keluarganya yang menetap di desa Kenduri juga tidak datang. Aku pun enggan untuk melayat meski rumahku bersebelahan dengan rumahnya.

Bangunan pondok pesantren yang menjulang megah tiga lantai di belakang rumahnya itu juga lengang dan sepi. Tepat seminggu lalu, semua santri yang menetap di bangunan itu pindah ke pesantren milik Kiai Marjo, seorang kiai muda kaya raya yang baru setahun menetap di Desa Kenduri. Kabarnya, dia seorang pejabat dan pengusaha sukses dari Jakarta yang ingin berdakwah menyebarkan Islam di Desa Kenduri. Menurut Ahmad, Marjo adalah alumni salah satu pesantren besar di Kediri.

Advertisements

Kiai Salam adalah pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Hikam dan mantan kepala desa Kenduri yang baru lengser tahun lalu. Masyarakat mengenalnya sebagai orang yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat. Namun, semenjak beredar kabar tentang pondok pesantrennya yang dibangun dengan dana korupsi, ia dijauhi. Sejak itu pula, aku enggan memanggilnya ‘kiai’.

Dulu, aku sangat mengaguminya ketika pondok pesantrennya tengah berkembang. Namun setelah mendengar cerita Kang Ahmad sebelum kematiannya tentang kasus yang telah dilakukannya, terlebih dugaan korupsi dana desa untuk membangun pesantren, aku miris dan bergidik. Cerita yang kudengar dari Kang Ahmad agaknya bisa kupercaya, karena dia adalah salah seorang santri yang tinggal di Pesantren Salam.

Sebab itu, kabar tentang kematian Salam tidak sama sekali disambut oleh masyarakat Desa Kenduri dengan duka, tetapi dianggap macam angin lewat yang dibiarkan begitu saja. Melihat sepinya rumah Salam dari pelayat, aku masuk ke dalam rumah. Kudapati Ayah dan Ibu masih fokus dengan tayangan televisi.

Kutanya ayah, “Ayah tahu tentang Kiai Salam?”

“Kiai kok mantan pejabat, jelas banyak korupnya. Beda jalur, Mat. Ibarat kiai itu jalurnya lurus, dia bengkok. Ha-ha-ha…” Ayah tertawa.

“Pantaslah. Dulu, dia anak orang miskin. Besar jadi pejabat. Tahu banyak uang mending dikorupsi. Kebingungan cara menghabiskan, dibuatlah pondok pesantren untuk menutupi aib. Padahal, dulu dia mondok di Jombang katanya, tapi masih saja menerjang larangan agama,” lanjutnya tanpa menolehkan barang sedikit pun wajahnya padaku.

“Ibu juga ogah melayat, Le. Orang seperti itu tidak pantas diselawat. Munafik,” seloroh ibu lalu menutup pintu rumah yang semula terbuka. Sejurus kemudian, ibu kembali menonton televisi.

Karena beberapa kali aku menyaksikan keganjilan-keganjilan saat proses pemakaman orang bengis dan munafik di media sosial, diam-diam aku juga ingin melihat proses pemakaman Salam, barangkali ada keganjilan juga dan dapat aku ambil pelajaran.

Ayah dan ibu masih khusyuk menonton televisi. Tanpa pamit aku membuka pintu rumah. “Mau ke mana, Mat?” tanya ayah sebelum aku keluar.

“Main, Yah, bareng teman-teman Rahmat. Sudah ditunggu di lapangan,” jawabku berbohong.

Di luar rumah, langit sedang mendung. Tanpa menoleh dan mengawasi rumah Salam, aku berjalan menuju kuburan. Di tengah jalan kudapati Pak Minto –penjual sayur keliling setiap pagi di desa– nongkrong di gubuk bersama banyak orang. Lirih-lirih kudengar mereka juga sedang membicarakannya.

“Bayangkan, Ndro, anggaran pembangunan desa sebanyak itu dibuat untuk membangun pesantren!” kata salah seorang di gubuk. “Mana bisa berkah kalau macam itu caranya.”

“Munafik!” sahut yang lain.

Tanpa kuindahkan dan kusapa orang-orang itu, aku tetap berjalan menuju kuburan. Tak jauh dari gubuk, kudapati Bu Surti –salah seorang penjual di pasar yang jualannya selalu aku beli tiap pagi– juga sedang merumpi bersama banyak ibu-ibu. Lirih-lirih terdengar olehku: “Bagaimana besok siksanya di akhirat, Mbak? Kata Kiai Manab, orang yang pernah sekali makan harta masyarakat saja siksanya pedih banget, apalagi…” Aku tidak tahu lanjutannya. Derap langkahku sudah terlampau jauh dari gerombolan mereka.

Aku tiba di kuburan. Pak Syuhada dan Pak Ngajiman sedang menggali liang kubur untuk Salam dengan mencangkulnya. Melihat aku mendekat, Pak Syuhada menghentikan ayunan cangkulannya.

“Aku heran, Mat, tanah yang kugali ini sangat empuk sekali, tidak seperti tanah biasanya.” Tiba-tiba Pak Syuhada mengatakan seperti itu. Entah, aku tidak tahu makna tanah empuk yang dimaksud olehnya. Aku tidak pernah menggali liang kubur.

“Apa Pak Syu juga ikut benci pada Salam??” tanyaku penuh penasaran.

“Tidak pernah sedikit pun aku berani membenci kiai, Mat. Orang yang benci terhadap orang saleh adalah orang yang bodoh. Hanya orang-orang jumud yang membenci kiai,” seloroh Pak Syuhada sembari menghentikan ayunan cangkulnya.

Pak Ngajiman tetap khusyuk menggali kubur. Ia diam sedari tadi, tidak berbicara barang sekata pun. Mungkin, diam-diam dia juga membenci Salam.

“Apa Pak Syu tidak mendengar kabar tentang Salam?” celetukku lagi.

“Aku kenal Kiai Salam, Mat. Aku tahu bagaimana sikap beliau. Kalau kamu membenci, itu hakmu. Aku akan tetap kagum terhadap kesabaran beliau dalam menghadapi fitnah,” jelas Pak Syuhada.

“Apa menurut Pak Syu kabar tentangnya itu fitnah?”

“Firasatku.”

Aku duduk di samping Pak Syu, di dekat liang yang ia gali, menunggu jenazah Salam datang.

Menjelang sore, ketika matahari merangkak bersembunyi di balik mega-mega dan senja telah menyorotkan binar cahayanya pada semesta, kulihat lima orang mengantarkan Salam ke pembaringan terakhir. Derap langkah mereka lebih nyaring terdengar dari suara kalimat tauhid.

“Itu Kiai Salam, Mat,” kata Pak Syuhada. Pak Ngajiman telah pulang setelah selesai menggali kubur.

Jenazah Salam semakin mendekat. Aku mencium bau yang harumnya tidak pernah aku cium sebelumnya. Semakin mendekat, bau itu semakin tajam. Pada akhirnya, setelah jenazah itu dibuka, aku turun ke liang kubur untuk membantu menurunkan jenazahnya.

Ketika tanganku akan menggapai jenazahnya dari atas liang, sebuah tangan terlebih dahulu meraih jenazah itu. Tangan itu putih sekali. Tak hanya itu, orang-orang berjubah putih tiba-tiba berbondong-bondong menghampiri kuburan. Kalimat tauhid berkumandang dan bergema terdengar sahut-sahutan. Keras sekali.

Aku merasa gamang. Takut. Apakah yang disampaikan oleh Pak Syuhada’ adalah kebenaran, bahwa kabar tentang Salam adalah fitnah belaka?

***

Pagi itu, saat Selamet menjaga parkir di pasar, ia melihat Marjo mengenakan jas hitam layaknya orang-orang kantoran di warung kopi depan pasar. Ia mengajak Marjo kenalan. Marjo memperkenalkan dirinya sebagai bos besar di Jakarta. Padahal, sebenarnya dia adalah buron di Jakarta karena kasus korupsi. Ia bersembunyi di Kenduri agar tidak tertangkap polisi.

Singkat cerita, mereka berdua membicarakan bisnis yang prospek untuk menghasilkan pundi-pundi uang yang banyak di Desa Kenduri. Selamat yang sedari awal memendam dendam pada Kiai Salam karena telah kalah dalam pemilihan kepala desa enam tahun lalu, usul kepada Marjo untuk mendirikan pondok pesantren sebagai mata pencaharian. Selamet memberi gambaran pada Marjo perhitungan jariah setiap santri di pondok pesantren yang dibangun oleh Kiai Salam dua tahun lalu.

“Agar pondok pesantren kita cepat mendapatkan banyak murid, kita bikin saja kabar kalau Salam telah melakukan korupsi. Kita suap beberapa bawahan Salam untuk mendukung fitnah itu, Bos,” usul Selamet. “Urusan itu gampang,” lanjutnya. “Serahkan saja padaku! Bos bikin saja bangunan untuk tempat bermukim anak-anak. Nanti guru-gurunya gampang. Banyak orang-orang pintar. Mereka sangat butuh uang.”

“Datanglah besok ke rumah Pak Kepala Desa, Met. Bilang ke Pak Kepala Desa kalau dana desa tahun lalu dikorupsi Salam untuk membangun Pondok,” pinta Marjo sambil menepuk-nepuk pundak Selamet. “Besok kalau semua santri Salam pindah ke pondok yang aku bangun, kuangkat kau jadi pimpinannya.”

“Siap, Bos,” jawab Selamet.

Marjo berdiri dari duduk sambil memberikan amplop putih pada Selamet lalu berjalan menuju bangunan yang sudah ia siapkan untuk pondok pesantren.

Tak perlu waktu lama Selamet menyebarkan fitnah ke seantero Desa Kenduri. Ia memberikan sebagian uang –yang diberikan oleh Marjo– ke beberapa bawahan Kiai Salam untuk menyebarkan fitnah. Ahmad, anaknya, disuruh pulang dari pondok pesantren milik Kiai Salam dan diberi uang juga untuk mengajak teman-temannya pindah ke pondok pesantren milik Marjo.

Setelah fitnah itu menyebar ke semua lini masyarakat, Ahmad melancarkan misinya. Ia mengajak teman-temannya di pondok untuk makan gratis di warung Mak Iyem yang terkenal mahal. Setelah semua temannya makan, ia bilang kalau semua itu adalah bentuk kedermawanan Kiai Marjo.

Tak lupa Ahmad juga memprovokasi mereka untuk pindah ke pondok pesantren milik Marjo di dekat rumahnya. Mereka kemudian berbondong-bondong pindah.

***

Pondok pesantren milik Kiai Marjo dikepung banyak polisi. Kabar itu dengan cepat tersebar di masyarakat. Mendengar kabar itu, masyarakat berbondong-bondong menuju rumah Kiai Marjo untuk memastikan sebab kejadian. Aku yang mendengar kabar tentang ramainya kiai Marjo dari Ayah juga langsung menuju rumahnya. Sampai sana, rumah Kiai Marjo telah dilingkari oleh tali kuning dari pihak kepolisian.

Semua masyarakat dan santri yang hadir terheran-heran dengan kejadian itu. “Jangan-jangan yang korupsi Selamet si tukang bual itu, Bu,” kata seseorang. “Mungkin, Yu,” jawab yang lain. “Dua tahun ini ia mendadak kaya raya.”

Aku menghampiri polisi yang berdiri menunggu teman polisinya meringkus Marjo dan Selamet di dalam rumah besarnya. “Ada apa ini, Pak?” tanyaku penuh heran.

“Mau menangkap Marjo, Mas. Ia telah mengorupsi uang negara sebanyak lima triliun. Sudah lima tahun ini dia hilang. Kemarin Pak Jenderal Yoga menyuruh kami untuk menangkapnya di sini. Kabarnya, Pak Marjo di sini mendirikan pondok pesantren yang dibangun dengan uang tersebut,” jawabnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan