Kebahagiaan Mereka

1,116 kali dibaca

Semilir angin sepoi-sepoi membuat rintikan air dari langit mulai membasahi korden jendela kamar Rhafisqy. Suara azan dari corong masjid pun mulai terdengar, sebentar kemudian terdengar pula suara puji-pujian yang diiringi musik alam berupa air hujan yang membentur atap rumah.

Rafisqy terbangun dan beranjak dari tempat tidurnya. Sepertinya ia mengalami mimpi buruk, terlihat dari tubuhnya yang bermandikan keringat. Wajahnya nampak begitu ketakutan.

Advertisements

“Rhafisqy, bangun sayang. Ini sudah jam 4.17, nanti kamu terlambat salat subuh!” ucap ibunya dengan suara tinggi.

“Iya, Bunda,” Rhafisqy menjawab malas-malasan.

“Astaga mimpi apalagi ini… huufftt…,” kata Rhafisqy pada dirinya sendiri setelah tersadar dari mimpi yang dialaminya. Ia meraih gelas yang berada di atas nakas tak jauh dari ranjang tidurnya. Lalu ia meminum air tersebut sambil mengusap keringat yang bercucuran di dahi.

Beberapa menit kemudian Rhafisqy beranjak pergi meninggalkan kamarnya menuju ke kamar mandi untuk melakukan ritual bersih-bersih diri. Setelah selesai mandi ia mengambil wudhu lalu melaksanakan salat subuh. Usai salat ia masih merasa dihantui oleh mimpinya. Seusai mengganti baju ia berjalan menuju ruang makan dengan perasaan tak karuan, masih terngiang-ngiang oleh mimpi tersebut.

“Rhafisqy, ada apa? Cerita kalau ada masalah,” ucapan ayahnya tersebut membuyarkan lamunannya.

“Tidak ayah, aku baik-baik saja,” jawab Rhafisqy sambil menunjukkan seulas senyum.

Hari ini adalah hari penerimaan rapor di sekolahnya. Sejak mengalami kecelakaan, kemampuan mengingat Rhafisqy mulai melemah. Pada saat jam pelajaran konsentrasinya sering pecah. Itu semua disebabkan oleh benturan yang menghantam kepalanya ketika terjadi kecelakaan. Mulai saat itu Rhafisqy merasa tidak percaya diri bahwa ia akan menjadi juara kelas. Dan mimpi yang ia alami tadi malam semakin membuatnya gelisah. Ia bermimpi nilainya jelek sekali untuk semester ini.

Setelah sarapan keluarga kecil tersebut selesai, Rhafisqy dan ayahnya berangkat menuju ke kantor. Karena jarak antara kantor dan sekolah tidak jauh, maka Rhafisqy berangkat bersama ayahnya. Sesampainya di sekolah ia sangat gelisah. Saat berjalan di koridor menuju kelasnya, ia hanya memberikan senyuman kecil untuk menjawab sapaan teman-temannya. Muka keruhnya masih terbawa sampai dia duduk di bangkunya.

“Rhaff… mukamu kok kusut gitu? Kan, sekarang hari pembagian rapor, biasanya kamu senang bakalan juara,” ucap Reza yang telah menjadi temanya selama kurang lebih dua tahun terakhir ini.

“Apa aku masih bisa juara semester ini, Za?” tanya Rhafisqy kepadanya .

“Mana aku tahu. Kan, aku bukan guru, Raf,” sahut Reza menjawab pertanyaan Rhafisqy dengan ketusnya.

Kriiingggg!!!. Bel sekolah pun berbunyi, pertanda bahwa jam pelajaran pertama sudah selesai. Rasa gelisah pada diri Rhafisqy semakin menjadi-jadi. Raut wajahnya tampak tegang. Beberapa menit kemudian Bu Rere memasuki ruang kelas. Derap langkah kakinya membuat jantung Rhafisqy semakin berdebar-debar.

Setelah semua murid menerima rapor, Bu Rere mulai mengumumkan rangking siswa, dimulai dari rangking terbawah. Di situlah suasana seantero kelas mulai tegang. Begitu juga dengan Rhafisqy. Ia adalah anak yang paling gelisah di antara teman-temanya yang lain. Setelah mengumumkan rangking siswa-siswi, Bu Rere beranjak pergi meninggalkan kelas. Tak lupa Bu Rere juga mengucapkan selamat kepada anak yang berhasil menjadi juara kelas. Anak-anak mulai riuh, ada yang memberi selamat kepada temannya, ada pula yang malah meledek.

“Selamat ya Rhaf, dapat juara tiga…,” tiba-tiba Reza datang menghampiri Rhafisqy. Suara Reza itu sedikit membuatnya kaget.

“Huffttt… Dapat juara tiga saja diucapin selamat, Za,” sahut Rhafisqy dengan wajah cemberut.

“Rhaff, harusnya kamu itu bersyukur. Mungkin memang ini yang terbaik untuk kamu. Apalagi, kan, kamu juga habis kecelakaan. Sekarang itu yang penting kepala kamu sudah nggak kenapa-napa, sudahlah brooo, disyukuri saja…,” ujar Reza untuk menyemangati.

“Yaa kalau soal kecelakaan memang sangat berpengaruh pada ingatanku, tapi gimana lagi, Za,” ucap Rhafisqy sambil mendengus kesal. Tiba-tiba Rayyan datang dan ikut bergabung dalam obrolan itu.

“Rhafisqy, seharusnya kamu itu bersyukur banget, nggak malah frustrasi seperti ini. Asal kamu tahu, takdirmu tidak seburuk takdir kakak perempuanku. Dia dulu juga sekolah di sini, tapi sekarang sudah di Jerman. Dia selalu menjadi juara kelas. Dia selalu disayang sama guru-guru. Tapi sekarang sudah beda. Sudah berubah semuanya. Sekarang dia hanya tergelatak di ranjang rumah sakit,” ucap Rayyan setelah mendengar keluhan-keluhan Rhafisqy.

“Berkacalah pada Teresha, Rhaf. Dia gadis yang mudah mensyukuri nikmat. Banyak cobaan dalam hidupnya, tapi lihatlah, dia tetap enjoy,” ceramah Rayyan lagi.

Sekarang Rhafisqy sedang duduk sambil mengamati nilai-nilai yang tertera di lembaran rapornya. Meskipun sudah mulai menerima nilai yang didapatkannya, tapi ia masih memendam rasa kecewa. Rhafisqy mulai sadar bahwa sebenarnya dia adalah anak yang sangat beruntung mendapatkan teman-teman yang sangat perhatian kepadanya, dan tak segan-segan untuk memberikan saran agar ia tidak terlelap dalam kesedihan.

Ia kemudian teringat pada sosok Teresha, salah satu temannya yang sering dirundung kesedihan itu. Rabu, 22 Mei 2018. Sekitar dua tahun yang lalu, tragedi kecelakaan lalu lintas menimpa seorang gadis penyandang penyakit kanker stadium 2 itu. Kecelakaan tersebut tidak memakan nyawanya, tapi sebagai gantinya ia mengambil kaki kiri gadis tersebut. Gadis itu bernama Reteresha Panemorfi. Seperti namanya yang dalam bahasa Yunani “Panemorfi” memiliki arti cantik, memang benar dia sangat cantik, tapi sayang tidak memiliki mahkota benang sutera di kepalanya layaknya gadis-gadis lainya. Selain cantik, dulu dia adalah anak yang berprestasi, selalu menjadi juara kelas. Betapa malangnya dia, masa-masa gemilang itu kini hanya menyisakan cerita.

“Ya Tuhan, aku adalah anak tunggal di dalam keluargaku, seharusnya aku memperjuangkan yang terbaik agar orangtuaku merasa bahagia, tapi mengapa engkau tidak mengizinkannya Tuhan,” ucap Rhafisqy lirih pada dirinya sendiri.

“Sebenarnya aku iri sama kamu, Teresha. Kamu terlihat riang meskipun divonis penyakit kanker stadium 2, tapi kenapa aku tidak bisa bahagia ketika aku mendapat rangking tiga? Apalagi, kan, rangkingku turun ada penyebabnya utamanya, bukan karena aku malas belajar, tapi karena kecelakaan pada hari itu. Sejak saat itu daya ingatku mulai melemah. Tapi mengapa aku tidak bisa merasakan kebahagiaan meskipun aku mendapat peringkat 3 di kelas, mengapa kamu bisa bahagia dengan rangking yang kau dapatkan?”

Suasana batin Rhafisqy semakin berkecamuk.

Rayyan dan Reza memandangi Rhafisqy yang kini berwajah murung.

“Pokonya yang terpenting, Tuhan telah memberikan kebahagiaan kepada hidup kita. Dan ingat bahwa Tuhan memberikan kebahagiaan dan kesedihan kepada setiap manusia itu dengan porsi yang berbeda-beda. Mungkin kamu saat ini frustrasi, Rhaf, dengan pencapaian kamu. Tapi jangan terlalu dibuat sedih. Intinya disyukuri saja, memang frekuensi kebahagiaan kita tak sama. Kesedihan kita juga beda. Kepintaran kita juga beda. Orang tua kita juga beda. Pokoknya beda semua, deh,” Rayyan kembali berceramah.

“Yan, memangnya kamu ke sini cuman mau ngomong itu ya?” sahut Rhafisqy.

“Yup! Hati yang jarang menerima siraman rohani akan mengeras, Rhaf. Ha-ha-ha. Apa bakat ceramahnku sudah semakin tampak?”

“Huft. Aku cuma terngiang-ngiang oleh mimpi burukku semalam… ,” Rhafisqy menceritakan mimpi tentang nilai buruknya dengan panjang lebar.

“Lah cuma mimpi doang dipikirin. Dasar kamu itu, ahhh. Yang penting kamu itu harus semangat biar bisa jadi bintang kelas lagi baby. Oke?” jawab Reza sambil mengusap-usap bahu Rhafisqy, berusaha untuk menenangkan dan menyemangatinya.

“OK, terima kasih. Apalagi aku juga bersyukur, karena mimpi itu nggak jadi kenyataan,” ucap Rhafisqy sambil sesekali mendengus kesal. “Sekali lagi makasih ceramahanya pak haji,” ucap Rhafisqy dengan sedikit tertawa.

“Iyaa. Dan untuk kamu Rhafisqy, Tuhan memberikan kehidupan yang indah untukmu. Tuhan memberikan kepintaran tanpa meminta kembali nikmat lain yang diberikan-Nya. Kamu hanya divonis bahwa daya ingatmu melemah sementara, bukan permanen. Belajarlah dari kisah hidup Teresha itu.” ucap Rayyan lagi.

“Iya, aku mengerti. Semuanya milik Tuhan,” jawab Rhafisqy dengan perasaan sedih sekaligus senang karena pemikirannya telah disadarkan oleh temannya.

“He-em, iya-iyaa,” ucap Rhafisqy sambil sedikit memicingkan matanya pada Reza.

“Haii, kamu kenapa?” Rayyan bertanya sambil memegang pundak Rhafisqy.

“Enggak aku nggak nangis,” jawab Rhafisqy dengan nada meyakinkan.

“Baperan banget kamu, Rhaf,” ucap Reza sambil mengusap bahu Rhafisqy.

“Eehhh… Enggak usah nangis juga kali. Aku tahu Rhaf, mungkin kamu itu bersedih karena terlalu memberatkan tanggung jawab kamu sebagai anak tunggal, tapi beda dengan aku, aku sih juga ngarep buat berprestasi seperti kamu, tapi ya gimana lagi. Otakku tak se-encer kamu,” ujar Reza untuk menjawab curahan isi hati Rhafisqy.

“ Aku juga tidak tahu kalau semisal rangking yang aku dapatkan kali ini, mungkin akan berubah di kemudian hari, semuanya aku serahkan kepada yang Maha Kuasa. Kita hanya tinggal bermain cilukba dengan takdir,” ujar Rayyan untuk menyahuti perkataan si Rhafisqy. Setelah itu ia pergi keluar kelas meninggalkan Rhafisqy dan Reza.

ilustrasi: kompasiana.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan