Kamar Kosong

1,384 kali dibaca

Aku selalu mencium aroma dupa dari kamar yang tak seorang pun diizinkan masuk. Kamar itu selalu terkunci untuk siapa pun, kecuali ayah. Sejak bayi sampai umur sembilan tahun, aku tidak tak pernah mengetahui isi kamar itu. Ayah melarangku masuk ke dalamnya dengan alasan entah mengapa.

Ketika ayah masuk ke dalam kamar itu dan meletakkan dupa, aku bisa merasakan suasana yang ganjil. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan, ketika ayah masuk ke dalamnya. Pernah suatu hari, aku mencoba mengintip kamar itu, tetapi ayah langsung mencegahnya, menarik lenganku dengan tangannya yang perkasa. Ia langsung memarahiku dengan wajah yang benar-benar penuh amarah. Selanjutnya, aku tidak mau mengintip kamar itu lagi. Misterius dan penuh tanda tanya. Satu-satunya yang bisa aku perbuat hanyalah membayangkan apa isi dari kamar kosong itu, meskipun hal itu tidak akan menjawab apa pun, kecuali lamunan yang tak ada ujung.

Advertisements

Sampai aku menginjak usia remaja, rahasia kamar itu belum juga terungkap. Itu selalu menjadi pertanyaanku di waktu malam sebelum ayah memasangkan selimut untukku. Terlalu sering, pertanyaan itu aku bawa ke dalam mimpi. Aku bertemu dengan seorang perempuan berambut panjang, mengenakan jubah putih, berwajah buruk rupa seperti habis dicakar-cakar binatang buas. Bola mata berwarna merah menyala. Tentu, itu adalah mimpi buruk. Tak cuma satu atau dua kali mimpi itu menghantuiku setiap malam yang membuat aku terjaga dengan kening basah karena keringat.

Dengan adanya kamar misterius itu, aku tidak berani untuk lewat di depannya jika malam hari. Entahlah. Aku selalu membayangkan perempuan yang ada di dalam mimpiku akan menjeratku dengan rambutnya yang panjang. Lalu aku dicakar-cakar dengan kuku-kukunya yang runcing dan hitam. Tubuhku dilempar dari lantai dua. Sungguh mengerikan. Aku bergidik membayangkannya.

Di malam hari, aku mendengar suara lonceng jam berbunyi berasal dari kamar itu, di waktu tengah malam. Hanya di waktu tengah malam. Anjing-anjing di luar sana melolong saling sahut. Di musim kemarau, angin membawa hawa dingin yang membuat malam menjadi kelam. Itu sudah cukup bagiku untuk merasa takut dan untuk melawan rasa takutku, aku bersembunyi di balik selimut.

Aku kira, ayah menjawab dengan mengarang-ngarang sebuah cerita saat aku bertanya, ada apa di kamar itu? Tentu, aku sebagai salah satu penghuni rumah ini perlu tahu yang sebenarnya. Ayah mengatakan, jika di kamar itu adalah sebagai tempat untuk penyimpanan benda-benda pusaka keluarga.

“Jika kamu ingin masuk ke sana, kamu harus berumur tujuh belas tahun dulu,” ucap ayah.

“Kenapa begitu?” tanyaku. Aku tahu, dari wajah ayah, menandakan kalau ia sedang kebingungan mencari jawaban. Persekian detik, ayah baru menemukan jawabannya.

“Karena jin yang ada pada benda pusaka itu tidak suka dengan anak kecil.”

“Memangnya kenapa anak kecil sepertiku sampai-sampai jin itu tidak suka?” Ayah terdiam. Aku yakin sekali, jika kenyataannya tidak seperti itu.

Pada suatu malam di musim semi, aku hendak ke kamar mandi, ada bayangan mengikuti langkahku. Aku berbalik badan, tetapi bayangan itu lenyap. Bayangan itu selalu menguntit dari belakang punggungku.

Sesampainya ke kamar mandi, aku melihat dari pantulan kaca, bayangan itu tampak jelas seperti perempuan yang ada di mimpiku. Benar-benar perempuan yang ada di mimpi-mimpi burukku. Sejenak aku tidak bisa berkata-kata. Selanjutnya aku menjerit sampai pembantuku menghampiri.

Pembantuku membantu aku berjalan ke sofa di ruang tamu sambil menyodorkan air putih. Ia memberi isyarat dengan menyilangkan telunjuk, lalu membuka telapak tangannya dengan melambaikannya. Pertanda tidak ada apa-apa. Ia juga menyatukan telapak tangan kanan dan kiri, menempelkan ke pipi. Ia menyuruhku untuk masuk ke kamar untuk kembali tidur. Ia selalu menemaniku ketika ayah tidak ada di rumah. Sudah lama ia bekerja di rumah ini.

“Siapa perempuan itu?” tanyaku, namun ia hanya terdiam membisu penuh misteri. Aku yakin, perempuan paro baya itu tahu tentang rahasia kamar kosong dan perempuan yang sering menghampiri di dalam mimpiku dan ia benar-benar ada, tidak hanya di dalam mimpi.

Setelah aku desak, pembantuku memberi isyarat lagi, bahwa ada seseuatu hal yang pernah terjadi. Tetapi, isyarat yang ia berikan tidak mampu untuk kuterjemaahkan. Ia membuat lingkaran dengan kedua tangannnya menyerupai hati. Kemudian lingkaran berbentuk hati itu terpisah saat ia renggangkan.

***

Sejak bayi, aku tidak pernah melihat ayah dan ibu hidup bersama. Yang aku tahu, hanya foto di dalam pigura yang ayah simpan di gudang. Aku juga tidak mengerti mengapa ayah tidak memasang foto itu dan membiarkannya usang penuh debu. Apa ini ada hubungannya dengan perempuan buruk rupa yang selama ini menghantuiku?

Aku juga tidak tahu, perempuan berambut panjang, berwajah buruk, berbola mata merah menyala itu benar-benar ada atau sedakar mimpi atau bahkan perempuan itu tidak pernah ada, yang ada hanyalah khayalanku semata. Ayah seperti merahasiakan sesuatu. Ia tak pernah menceritakan jika ada hantu di rumah ini? Atau mungkin, ayah tidak tahu tentang adanya hantu di rumah ini. Tetapi, aku rasa ayah pasti tahu dengan apa yang terjadi.

***

“Tadi malam, aku bertemu hantu,” ucapku pada ayah. Ayah seperti tak percaya padaku. Ia hanya tersenyum mendengar cerita yang benar-benar aku alami.

“Kamu terlalu banyak menonton film horor,” jawab ayah singkat.

Memang orang dewasa seperti itu, tidak pernah percaya dengan apa yang dikatakan anak kecil.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Yah?”

“Tidak ada apa-apa,” ucapnya sambil menciumku.

***

Lambat laun, aku mulai terbiasa dengan kedatangan hantu perempuan itu. Ia mengubah wujudnya di hadapanku menjadi perempuan yang meneduhkan. Ia cantik, walaupun ia sebenarnya hantu. Kami semakin akrab. Aku sering bercerita hari-hariku di sekolah dan hal-hal lain yang menurutku harus diceritakan. Hantu itu benar-benar menyenangkan dan tempat yang nyaman untuk bersandar. Ia adalah teman yang setia yang belum pernah aku temukan selama ini. Selalu datang di saat aku butuh. Sungguh hantu yang baik, meskipun kadangkala ia tak mengubah wujudnya menjadi perempuan cantik, aku tetap senang atas kedatangannya.

Aku tak peduli jika aku berteman dengan hantu. Aku tak pernah kesepian lagi, jika ditinggal ayah keluar kota. Bahkan aku tidak perlu ditemani pembantuku yang bisu itu. Meskipun hantu, aku rasa tak ada yang lebih menyenangkan dari siapa pun, termasuk ayahku sendiri. Setiap malam, aku selalu tertawa riang di kamar. Sampai suatu malam, gelak tawaku terdengar oleh pembantuku. Ia mengetuk-ngetuk pintu. Aku membuka pintu, tetapi ia tidak melihat sesosok hantu yang duduk di tempat tidurku.

Hantu itu sudah kenal baik denganku, bahkan juga ia menganggapku sebagai teman dekat. Aku tidak keberatan dengan hal itu, meskipun ia adalah hantu. Apa yang membedakan antara hantu dengan manusia, jika hantu lebih baik?

“Aku senang mendatangimu, karena aku suka dengan anak sepertimu.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Entahlah, Delina. Menurutku, tidak ada alasan untuk tidak menyayangimu.”

Hantu itu pernah bercerita kepadaku, tentang seorang perempuan yang dibunuh oleh suaminya dan jasadnya tidak dikuburkan. Lelaki itu pasti tidak punya hati, sehingga membunuh istrinya sendiri.

“Maukah kamu menerima kado pemberian dariku?” ucapku. Ia agak terkejut. Aku menyodorkan kado itu kepadanya.

“Kenapa kamu memberikannya padaku?” tanyanya.

“Aku bingung harus memberikan kado itu pada siapa. Teman-temanku selalu merayakan hari ibu, sedangkan aku tidak punya ibu. Kata ayah, ibu meninggal setelah melahirkan aku. Aku mohon, terimalah kado itu!” pintaku.

Hantu itu memelukku. Tubuhnya dingin. Wajahnya yang cantik mencium keningku. Walaupun tubuhnya dingin, tapi kecupannya tetap hangat. Ia selalu menciumku di malam hari ketika aku mau tidur. Ia membelai rambutku. Mengiringi tidurku dengan sebuah nyanyian pengantar tidur. Aku menyukai semua itu.

Aku mulai tertidur. Ia bangkit dari tempat tidurku. Seketika aku pun terbangun dari tidurku. Ia melayang menuju pintu. Tubuhnya menembus pintu, melayang bertelanjang kaki menuju kamar yang aku sebut dengan kamar misterius itu.

Suara ketukan kaki menaiki tangga terdengar. Ayah menaiki tangga. Ayah mendapatiku masih terjaga. Ia tersenyum.

“Kenapa belum tidur? Ini sudah malam,” ucap ayah.

Ia menyuruhku untuk tidur, kemudian menciumku. Selanjutnya ia mematikan lampu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan