Kalalah dan Kedudukan Anak Perempuan

3,742 kali dibaca

Bagi Umar Ibn Khattab, ada tiga perkara yang tetap menjadi misteri hingga Nabi Muhammad wafat. Ketiga perkara tersebut adalah kalalah, riba, dan kekhalifahan. Menurut Umar, Nabi Muhammad tidak pernah memberi penjelasan dan menghukumi tiga persoalan tersebut tuntas, dan tetap menjadi perkara yang terus diperselisihkan para ulama hingga kini.

Terhadap tiga persoalan tersebut, Umar Ibn Khattab pernah mengatakan, “Tiga hal yang jika diperjelas keterangannya oleh Rasul akan menjadi hal-hal yang lebih kusenangi dari kenikmatan duniawi: kalalah, riba, dan kekhalifahan.”

Advertisements

Terbukti, memang, hingga kini kalalah merupakan salah satu persoalan yang paling banyak diperselisihkan oleh para sahabat dan para pakar tafsir. Kalalah berkaitan dengan hukum dan sistem waris dalam Islam. Titik krusialnya ada pada ketiadaan anak (keturunan langsung) bagi orang yang meninggal dan meninggalkan warisan. Dan karena itulah ia disebut kalalah.

Secara etimologi, kalalah adalah bentuk masdar dari kata “kalla” yang memiliki arti lemah. Adapun, pengertian kalalah dari segi istilah hukum waris Islam adalah seseorang yang tidak memiliki ahli waris ushul (ayah dan seterusnya) dan ahli waris furu (anak dan seterusnya). Ahli waris yang dimiliki hanya hawasyi (kerabat).

Menurut jumhur ulama, pengertian kalalah adalah seseorang yang meninggal dunia tidak mempunyai anak dan ayah. Para ulama menafsirkannya bahwa kalalah adalah seseorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak, ataupun cucu dari anak laki-laki, dan ayah.

Definisi yang dirumuskan para ulama tersebut sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang anak perempuan. Apakah jika seseorang wafat dan memiliki anak perempuan dihukumi sebagai kalalah atau bukan. Yang disebut walad atau penghalang akan adanya kalalah hanyalah anak laki-laki. Dengan begitu, keberadaan anak perempuan dianggap bulan walad, sehingga saudara seibu dan seayah (hawasyi) juga berhak atas harta waris.

Pada masa sahabat, hanya Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab yang memiliki pendapat paling tegas soal kalalah ini. Keduanya berpendapat bahwa kalalah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua ketika meninggal dunia.

Belakangan, sejumlah mufasir merumuskan pengertian kalalah lebih kompleks yang didasarkan pada Surat An Nisa ayat 12 dan 176. Dalam Tafsir Al-Manar, disebutkan bahwa kata kalla yakillu mengandung arti al-kalal, yaitu kepenatan atau hubungan jauh selain kerabat anak dan bapak, karena lemahnya hubungan kekerabatan mayit dengan kerabat ushul dan furu. Kemudian, dalam Tafsir Ibnu Kasir dijelaskan bahwa kata kalalah diambil dari kata killi yang mengandung makna mahkota yamng membelit kepala dari samping. Maksud kalalah di sini adalah orang yang menjadi ahli waris si mayit dari kerabat yang menyamping atau hawasyi, tidak ada ushul dan furu.

Berikut Surat An Nisa ayat 12:

‌ ؕ وَاِنۡ كَانَ رَجُلٌ يُّوۡرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امۡرَاَةٌ وَّلَهٗۤ اَخٌ اَوۡ اُخۡتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا السُّدُسُ‌ ۚ فَاِنۡ كَانُوۡۤا اَكۡثَرَ مِنۡ ذٰ لِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِى الثُّلُثِ مِنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ يُّوۡصٰى بِهَاۤ اَوۡ دَ يۡنٍ ۙ غَيۡرَ مُضَآرٍّ‌ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ‌ ؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَلِيۡمٌ

Artinya: “Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.

Ayat tersebut turun saat istri Said bin ar-Rabi menghadap Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, kedua putri ini anak Said bin Ar-Rabi yang menyertai tuan dalam perang Uhud dan ia telah gugur sebagai syahid. Paman kedua anak ini mengambil harta bendanya, dan tidak meninggalkan sedikit pun, sedang kedua anak ini sukar mendapatkan jodoh kalau tidak berharta.” Rasulullah kemudian bersabda: “Allah akan memutuskan persoalan tersebut.” Maka turunlah ayat hukum pembagian waris seperti di ayat tersebut.

Berikut Surat An Nisa ayat 12:

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi, jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Berdasarkan suaru riwayat, Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad Ibn Jafar, telah menceritakan kepada kami Syubah, dari Mu­hammad Ibn Munkadir yang menceritakan bahwa ia pernah mende­ngar Jabir Ibn Abdullah mengatakan: “Rasulullah masuk ke dalam rumahku ketika aku sedang sakit dan dalam keadaan tidak sadar.” Jabir melanjutkan kisah­nya, “Lalu Rasulullah berwudlu, kemudian mengucurkan bekasnya kepadaku; atau perawi mengatakan bahwa mereka (yang hadir) menyiramkan (bekas air wudlu) kepada Jabir. Karena itu aku sadar, lalu aku bertanya, ‘Sesungguhnya tidak ada yang mewarisiku kecuali kalalah. Bagaimanakah cara pem­bagiannya?’” Lalu Allah menurunkan ayat faraid.

Kedudukan Anak Perempuan

Merujuk pada dua ayat tersebut, beberapa ulama mencoba memahami kata ‘walad’ yang terdapat pada kalimat laisa lahu walad. Sebagian mengatakan, maksud walad pada ayat hanya untuk anak laki-laki, tidak termasuk anak perempuan. Tetapi, menurut sebagian ulama yang lain, yang dimaksud dengan walad adalah anak laki-laki dan perempuan.

Ada dua alasan kenapa para ulama masih berbeda pendapat soal kedudukan anak perempuan sebagai walad atau bukan. Pertama, saudara perempuan tidak akan mendapat seperdua dari harta warisan jika mayit memiliki anak perempuan. Jika ia bersama-sama dengan anak perempuan si mayit, kedudukannya hanya sebagai asabah ma’al qhair. Memang, ada kemungkinan saudara perempuan mendapat seperdua, dengan syarat ahli waris hanya dia bersama-sama dengan seorang anak perempuan saja. Tetapi, bagian ini pun dari sebab kedudukannya sebagai asabah, bukan merupakan bagian tetapnya atau fardh-nya.

Kedua, saudara laki-laki tidak akan mendapat seluruh harta jika ada anak perempuan dari si mayit, dan dia hanya mendapat sisa harta setelah bagian anak perempuan.

Dari alasan-alasan tersebut, jelaslah bahwa adanya anak perempuan mempengaruhi bagian yang telah tercantum dalam ayat. Maka, dari situ sebenarnya sudah jelas bahwa seseorang tidak dikatakan sebagai kalalah jika dia masih meninggalkan anak perempuan. Artinya, di sini kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama belaka, masing-masing sebagai walad, dan orangtuanya yang meninggal tidak bisa disebut sebagai kalalah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan