Jimat Keluarga Pengemis

1,350 kali dibaca

Rupaku memang sudah tak elok lagi. Lusuh, kucel, keriput. Mungkin karena itulah kini aku terselip di tempat yang paling tersembunyi. Di tempat yang jorok dan tersisih ini, jauh dari sapuan mata, diimpit benda-benda yang apek dan bau angus, sebagian basah sebagian lembab, aku menjadi yang terlupakan.

Entah sudah berapa lama aku menjadi yang terlupakan, tersisih di sini, seperti benda yang tak bernilai. Tentu dia, pemilik tempat ini, bukan orang pertama yang menyisihkan diriku. Jika dia orang yang pertama, tentu rupaku akan masih licin, halus, mulus. Tapi dengan rupa yang sudah lusuh, kucel, keriput ini menunjukkan bahwa aku telah melalui masa yang panjang, berpindah dari satu tangan ke lain tangan, berpindah dari satu tempat ke lain tempat, dan berganti-ganti orang dari beragam golongan yang menguasaiku.

Advertisements

Hingga, suatu hari, di sinilah aku tersisih, lalu terlupakan. Tentu, hanya orang-orang kayalah yang menyisihkan keberadaanku, melupakanku, atau menganggapku receh. Lamat-lamat aku masih ingat, hari itu lelaki necis bertubuh subur membawaku pulang ke rumahnya.

Begitu memasuki rumah, ia segera meletakkan barang-barang mewah belanjaannya di kamar khusus, dan aku mencium aroma wewangian menguasai ruangan itu. Tapi kamar itu jelas bukan untukku.

Setelah meneliti satu per satu barang-barang belanjaannya, ia segera beringsut, menenteng kantung kertas, melangkah ke belakang rumah, memasuki dapur. Kemudian secara serempangan ia melemparkan kantung kertas itu begitu saja. Isinya berloncatan keluar, berserakan. Ada struk-struk belanjaan. Ada uang receh koin dan uang kertas kembalian belanjaan. Ada beberapa kartu nama. Ada tisu bekas basah oleh ingus. Ada kondom yang belum sempat terpakai. Ia kemudian menutup pintu dapur, dan berlalu begitu saja.

Rumah sebesar itu, semewah itu, sungguh terasa sangat sepi lantaran lelaki itu tinggal seorang diri. Ia juga tak selalu berada di rumah. Mungkin di lain tempat ia punya rumah kedua atau ketiga atau ke berapa. Sesekali ia datang membawa teman. Beberapa hari sekali seseorang datang buat bersih-bersih rumah.

Meskipun jarang ditinggali, rumah besar ini selalu terjaga kebersihannya, selalu terjaga sirkulasi udaranya, selalu terjaga aroma wewangiannya kecuali di bagian belakang, bagian dapur. Dapur memang jarang memperoleh perhatian. Pintunya jarang dibuka. Hanya sesekali dibuka kalau ada yang mau mengambil peralatan makanan atau menaruh sisa-sisa makanan. Atau menjerang air untuk menyeduh kopi. Itulah yang menyebabkan ruangan dapur itu lembab, apek, dan kadang beraroma amis, juga angus.

Entah setelah berapa lama sejak hari itu, di suatu sore, pemilik rumah tergopoh-gopoh masuk ke dapur, mengambili uang receh yang berserak di dapur. Tapi tak semua berhasil dikantungi. Beberapa uang koinnya melenting berjatuhan, dan yang berhasil dimasukkan ke dalam saku celana pendeknya cuma selembar uang dua ribu rupiah.

Lelaki itu kemudian menyusuri jalan setapak yang melingkari sebuah danau, jogging. Ia memang mulai khawatir dengan berat badannya. Lemak-lemak sudah semakin subur dan kian memberati tubuhnya. Di sela-sela jogging, ia berniat membeli minuman pada pedagang asongan, tapi urung karena lupa membawa dompet. Ia terus jogging, diselingi lari-lari kecil, hingga keringatnya mulai bercucuran.

***

Ketika gelap mulai turun, ia berpapasan dengan perempuan paro baya yang menggandeng tangan putrinya. Dari jauh, kedua perempuan itu tampak bagai siluet. Saat berpapasan, tampak nyata kedua perempuan itu mengulurkan tangan sembari berucap, “Om… kasihani kami. Sudah beberapa hari kami belum dapat rezeki.”

Langkah lelaki itu terhenti, seketika meraba sakunya, kemudian merogohnya. Ia baru ingat di kantung celananya ada uang receh yang dipungut dari dapur. Selembar uang kertas dua ribu rupiah itu kemudian ia serahkan kepada kedua pengemis itu. Lelaki itu kemudian berlalu.

“Inilah rezeki pertama kita hari ini, Bu,” kata pengemis cilik itu sembari mencium uang kertas lusuh yang baru diterimanya.

Si ibu melirik, mengambil uang kertas itu dari tangan putrinya, lalu melakukan hal yang sama. “Semoga ini menjadi penglaris kita esok hari, Nak,” katanya usai mencium uang itu.

***

Itulah untuk kali pertama aku merasa sangat berarti: dicium seseorang dengan tulus.

Sebab, jangankan dicium, karena rupaku sudah lusuh, kucel, dan keriput, apalagi nilainya cuma dua ribu rupiah, ada rasa setengah jijik orang-orang memegangku, atau memasukkannya ke dalam dompet. Jika ada orang yang terpaksa membawaku pulang ke rumahnya, seringkali aku disurukkan di tempat-tempat yang tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh lelaki tadi, atau dilemparkan ke arah tukang parkir atau disedekahkan kepada para pengemis.

Tapi di tangan kedua pengemis ini, aku merasa diperlakukan istimewa. Dicium dengan penuh keharuan, bergantian. Tapi, lihatlah, itu belum seberapa jika dibandingkan bagaimana nanti mereka memperlakukan diriku, selembar uang kertas lusuh, kucel, keriput dengan teraan angka yang sudah mulai buram, dua ribu rupiah.

Selepas isya mereka baru sampai di rumah, yang berupa sebuah gubuk reyot di tepi sungai. Di dalam gubuk itu hanya ada selembar kasur lusuh yang sudah gepeng, yang dihiasi tembelan di sana-sini. Kasur itu pun mereka pungut dari tempat pembuangan sampah.

Benda paling berharga di dalam gubuk itu adalah kulkas satu pintu. Eh, sebentar, sebenarnya itu adalah bekas kulkas. Atau kulkas bekas. Atau rongsokan kulkas. Benda itu juga mereka pungut dari tempat pembuangan sampah. Mereka memungut benda itu bukan untuk dijadikan mesin pendingin karena memang sudah tidak berfungsi. Kompresor dan kondensornya juga sudah tidak ada. Kulkas itu tinggal kerangkanya. Rongsokan kulkas yang sudah karatan itu mereka ambil untuk dijadikan lemari. Di dalam kulkas bekas itulah mereka menyimpan segala kekayaan.

Maka, di dalam gubuk itu, tempat istimewa adalah bagian atas atap kulkas satu pintu. Atap kulkas itu mereka perlakukan seperti meja dan diberi taplak. Di situlah kedua pengemis itu, terutama sang anak, menaruh benda-benda, jika punya, yang dianggap berharga. Di situ terlihat ada pengilon, bedak sasetan, sepotong gincu, dan sisir rambut yang sudah ompong. Eh, ada juga boneka barbie yang telah kehilangan sepasang kakinya. Jika kita melihatnya sambil duduk, boneka barbie itu juga akan terlihat seperti sedang duduk.

Tentu saja aku juga dianggap sebagai benda istimewa, dan karena itu setelah dielus-elus dan dirapikan, aku ditaruh di atas kulkas itu dengan cara hati-hati, persis di samping boneka barbie itu. Yang mengejutkan, ketika kedua perempuan itu hendak berangkat tidur, mereka berdiri di depan kulkas. Si ibu yang kemudian mengambilku, mencium diriku di kedua sisi, lalu menyerahkan kepada putrinya. Pengemis kecil itu juga melakukan hal yang sama. Setelah itu, mereka bersama-sama berdoa, agar esok hari beroleh rezeki yang lebih banyak lagi.

Aku kembali ditaruh di samping barbie. Aku begitu terharu melihat bagaimana mereka memperlakukan diriku begitu istimewa. Aku benar-benar merasa berarti. Ketika mereka mulai terlelap, tanpa kusadari tiba-tiba aku turut mendoakan mereka. Aku berdoa agar teman-temanku, baik yang sudah lusuh seperti diriku maupun yang masih licin, mau menghampiri kedua pengemis ini.

Keesokan harinya, sebelum berangkat mengemis, ritual itu mereka ulangi. Mereka bergantian menciumku, lalu berdoa bersama-sama untuk limpahan rezeki. Mereka pergi setelah kembali meletakkan diriku di samping barbie dengan penuh hati-hati. Sekali lagi aku merasa terharu dan begitu dihargai. Saat melihat langkah kaki mereka meninggalkan gubuk, sekali lagi, tanpa kusadari tiba-tiba aku turut mendoakan mereka.

Itulah hari-hari yang kusaksikan selama berada di dalam gubuk ini. Aku tak pernah dibelanjakan. Aku tak berpindah tangan. Aku telah menjadi milik mereka. Tiap hari, aku selalu dicium ketika mereka hendak berangkat mengemis, atau ketika mereka hendak berangkat tidur. Dan, percaya atau tidak, setiap sehabis dicium mereka, diam-diam aku mengamini doa-doa mereka. Selalu seperti itu.

Entah karena kegigihan usaha mereka atau tersebab doaku yang terkabul, yang aku lihat, tiap hari mereka membawa pulang rezeki dalam jumlah lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Hingga, suatu hari, mereka mulai tidak mengemis lagi ketika sudah mampu membuka warung kecil di depan gubuknya. Semakin hari kian banyak orang datang membeli barang dagangan mereka. Semakin hari kian banyak teman-temanku yang berkumpul di gubuk ini.

Meskipun mereka sudah tidak mengemis lagi, dan warungnya semakin maju, ternyata ritual mereka tak terlupakan. Setiap hendak berangkat tidur, mereka menciumku secara bergantian lalu bersama-sama berdoa dan aku mengamininya. Pagi hari menjelang buka warung, hal yang sama terus mereka ulangi dan aku tak henti-hentinya mengamini doa-doa mereka.

Lama-lama aku menyadari, karena tak pernah dibelanjakan, aku bukan lagi sebagai alat tukar, melainkan jimat bagi keluarga pengemis ini.

Ilustrasi: Barli Sasmitawinata.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan