Jelajah Pondok di Sumatra (2): “Horja” dan “Martammat” di Nabundong

3,401 kali dibaca

Pada kesempatan pertama Jelajah Pesantren di Sumatra (1), kita sempat berkenalan dengan KH Abdullah Harahap, Pimpinan Pesantren Nurul Falah Panoumpuan. Selain menjelajahi dunia pesantren di Sumatra, kita juga akan melihat jejaring yang terjalin di antara pesantren dan ulama di Sumatra Utara. Salah satu jejaring yang terjalin itu adalah bahwa ternyata KH Abdullah Harahap adalah alumnus Pondok Pesantren Nabundong, pesantren Nahdlatul Ulama (NU) perintis di Tapanuli Selatan yang akan kita ulas dalam jelajah pesantren di Sumatra Utara berikutnya.

Kali ini kita akan berkenalan lebih lanjut dengan Pondok Pesantren Nabundong. Saya sendiri mendengar cerita tentang pondok pesantren yang didirikan oleh Ayahanda Haji Ahmad Daud Siregar itu dari Elisan Fitriani Pulungan yang kebetulan sempat mengajar di sana selama empat bulan sebelum yang bersangkutan hijrah ke Depok mengikuti suaminya.

Advertisements

Sebagaimana umumnya pesantren di wilayah Tapanuli Bagian Selatan, Pondok Pesantren Alhasyimiyah Darul Ulum ini ternyata lebih dikenal dengan nama Pondok Lama atau Pesantren Nabundong Lama sesuai dengan lokasinya.

Dimulai dari Persulukan

Menurut riwayat Syeh Ahmad Daud Siregar, setelah menuntut ilmu di Kedah, Malaysia, mendirikan Pondok Persulukan (1925) di Nabundong Pasar Matanggor, Padang Lawas Utara, Sumatra Utara. Salah satu yang menarik dari pembahasan mengenai pondok pesantren di Tapanuli Bagian Selatan, termasuk Nabundong dan Panompuan, adalah bahwa pondok dimulai dengan persulukan.

Pondok persulukan tersebut kemudian dikembangkan menjadi pondok pesantren dengan nama Daarul Ulum sesuai dengan nama tempat beliau belajar di Makkah. Di sana, Syekh Ahmad Daud belajar kepada H Idris Air Hitam Kedah Malaysia. Tuan Nabundong, demikian Syekh H Ahmad Daud Siregar dipanggil.

Pondok persulukan inilah yang menjadi penanda khas pondok-pondok pesantren di Tabagsel hingga sejauh ini. Barangkali ini terjadi karena pengaruh sufisme yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri kepada murid-muridnya yang kembali ke Kedah. H Idris Hitam-lah yang kemudian mengajarkannya kepada Syekh Ahmad Daud. Selanjutnya, Syekh Ahmad Daud mengajarkannya kepada murid-muridnya yang kelak membuka pondok pesantren di daerah masing-masing.

Kisah Pondok Darul Ulum

Satu lagi yang khas dari pondok yang jarak tempuhnya dari Kota Padangsidimpuan kurang lebih 1,5 jam tersebut adalah panggilan ayah atau ayak kepada pengajar terutama yang sudah senior. Selain itu, yang juga khas adalah bahwa santriwan selama menimba ilmu mondok di sopo seluas 2 x 3 meter. Para santriwan wajib masak sendiri, belanja sendiri, dan berbenah pondok sendiri.

“Mereka memang sudah diajari mandiri sejak dini. Tidak ada yang boleh bermanja-manja selama menjadi santri. Pemandangan itu masih terlihat sampai tahun ajaran 2005/2006,” kata Elisa Fitriani Pulungan yang akrab dipanggil Fitri.

Sedangkan, santriwati berkegiatan pribadi di asrama yang sudah disediakan oleh pengelola. “Tapi ketika itu (2005) masih sangat sederhana. Saya dan santriwati tidur berlapiskan tikar pandan di lantai dua salah satu gedung pesantren. Lantai satunya adalah dapur. Di dapur itu tersusun kompor-kompor alat memasak para santriwati. Ada yang satu kompor untuk satu santriwati dan ada yang dipakai untuk dua atau tiga orang santri,” tambah Fitri.

“Memang, ada santri yang lebih nyaman mempersiapkan apa-apa sendiri sedangkan yang lain dapat berbagi dengan dua atau tiga orang yang lain,” imbuhnya.

Santri dan Masyarakatnya

Pengalaman yang paling berkesan bagi Elisa Fitriani Pulungan, mantan pengajar Ponpes Nabundong lama, adalah ritual “martammat” pada tahun 2005. Martammat berakar pada kata tammat atau tamat yang berarti lulus. Akan tetapi, martammat bukan sekadar wisuda.

“Pada hari mengajar, seperti biasa, saya bergegas dengan menumpang mobil sewa Elf dari Padangsidimpuan menuju Nabundong,” Fitri bercerita. “Sesampai di lokasi, saya kaget karena ternyata sedang ada keramaian. Saya lihat ada beberapa kuali besar berisi daging kerbau dan beberapa kuali berisi sayur nangka muda. Itu khas horja atau pesta adat Tapsel,” Fitri menambahkan.

Pada hari akhir pembelajaran atau yang di pesantren lain disebut akhirussanah, Pondok Pesantren Nabundong selalu mengadakan acara martammat. Uniknya adalah bahwa acara tersebut dilakukan secara adat.

Sebelumnya, pada malam harinya dilaksanakan kegiatan yang menampilkan atraksi kesenian yang menjadi minat dan bakat para santri. Tidak kurang dari nasyid, syair, lagu, rebana, dan shalawat dzikir khas Angkola kreasi santri dan masyarakt sekitar ditampilkan.

Pada inti acara martammat, paling tidak hingga tahun 2005, dihadiri oleh segenap perangkat adat, pemuka masyarakat, harajaon, hatobangon Nabundong dan sekitarnya diundang untuk hadir. Seekor kerbau, yang merupakan hewan adat masyarakat Batak Angkola, disembelih dan dimasak oleh santri dan pada gilirannya akan dimakan bersama-sama. Kelulusan para santri tidak hanya dilepas oleh pimpinan pesantren, namun juga oleh masyarakat adat setempat. Nabundong adalah pesantren dan pesantren adalah Nabundong. Sebuah identitas budaya yang terbentuk berkat dialog yang terjadi tersu-menerus di antara pesantren dan masyarakatnya hingga saat itu.

Saat ini, Pesantren warisan Syekh Ahmad Daud Siregar tersebut terbelah menjadi dua; Pondok Lama Darul Ulum dan Pondok Baru Syekh Ahmad Daud An Naqsabandi. Ada perunahan besar yang terjadi pada pondok lama. Sopo pondokan sudah tidak ada lagi. Santriwan sekarang tinggal di asrama seperti halnya santriwati.

Pada kesempatan berikutnya, kita akan membahas Pondok Baru yang nampaknya lebih condong untuk mempertahankan metode lama yang diwariskan Tuan Nabundong.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan