Pandemi Covid-19 ternyata berimbas ke mana-mana. Tak hanya menyebabkan banyak orang meninggal karena terpapar virus mematikan ini. Tak hanya banyak orang jatuh miskin karena kehilangan sumber pendapatan. Rupanya, angka perceraian juga mengalami peningkatan signifikan selama masa pandemi lebih dari delapan bulan ini.
Menurut data dari Kementerian Agama, angka perceraian di Indonesia memang masih cukup memprihatinkan. Setiap terjadi lima pernikahan, akan diikuti dengan satu kasus perceraian. Berdasarkan data Badan Peradilan Mahkamah Agung Indonesia, dari Januari hingga Agustus 2020, terjadi 306.688 kasus perceraian. Terjadi kenaikan signifikan dibandingkan dengan tahun 2019.
Selama masa pandemi, ada dua faktor menonjol sebagai penyebab kasus perceraian, yaitu ekonomi dan kekerasan rumah tangga. Selain itu, alasan lain di balik maraknya kasus perceraian, yaitu kejenuhan di rumah yang membuat rasa gundah di hati hingga menyebabkan pertengkaran antar-pasangan suami istri.
Berbagai faktor penyebab kasus perceraian tidak selayaknya dianggap remeh. Bagaimanapun, pernikahan adalah ikatan kuat nan suci yang telah dilakukan oleh sepasang insan yang memilih mahligai pernikahan dalam menjalani hidupnya.
Dalam Islan, pernikahan dikenal sebagai mitsaqan ghalidza, artinya pernikahan bukanlah perjanjian yang bisa dimain-mainkan. Terdapat sebuah hadits dari Ibnu Umar yang menjelaskan bahwa Nabi bersabda:
أبغض الحلال إلى الله الطلاق
Artinya: “Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.” (HR Abu Dawud Nomor1863, Ibnu Majah Nomor 2008).
Hadits ini mengisyaratkan bahwa, jika tidak ada alasan syari, pasangan suami istri akan lebih baik tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya. Karena, pernikahan adalah suka duka bersama dalam menjalani kehidupan, setiap masalah pasti ada solusinya. Jika ingin memutuskan perceraian, ingatlah bagaimana perjuangan cinta hingga halal. Semoga hal itu bisa membantu kita untuk tetap mempertahankan ikatan pernikahan. Ketika pasangan memutuskan untuk bercerai, harus disadari bahwa akan ada banyak korban, salah satu dampaknya pada mental anak yang tidak bisa menerima kenyataan perpisahan keluarga kecilnya.