Jadi Santri itu Susah dan Berat…

8,007 kali dibaca

Jadi santri itu memang berat dan susah. Harus memiliki ketabahan dan kekuatan ekstra, lahir dan batin, fisik dan mental, untuk bisa menjalani kehidupan dalam tradisi santri. Saat masih menuntut ilmu, santri harus memiliki kekuatan psikoligis berpisah dari orang tua, menjalani hidup mandiri dalam lingkungan pesantren. Ini merupakan ujian hidup dasar yang harus dijalani oleh seorang santri. Tradisi berpisah dengan orang tua untuk menuntut ilmu ini sudah berjalan berabad-abad dalam komunitas santri.

Tak hanya keluarga rakyat jelata yang harus merelakan berpisah dengan anaknya untuk menjadi santri, bahkan anak keluarga ningrat dan elite sekalipun harus rela berpisah dengan keluarga ketika menjadi santri.

Advertisements

Raden Mas Burhan (Ronggo Warsito), keluarga elite Keraton Surakarta, harus berpisah dengan keluarga ketika menjadi santri di Pesantren Tegalsari asuhan Kiai Hasan Besari di Solo. Syech Nawawi al-Bantani, ulama besar Nusantara, sudah harus berpisah dengan orang tua sejak kecil untuk menuntut ilmu. Pada usia delapan tahun, Syech Nawawi dengan kedua adiknya yang masih kecil, Tamim dan Ahmad, sudah berpisah dengan orang tuanya untuk menuntut ilmu pada KH Sahal, seorang ulama dari Banten. Setelah itu, menjautkan berguru pada Syech Baing Yusuf Purwakarta dalam usia yang belum genap 15 tahun. Tradisi ini dipertahankan sampai sekarang.

Selain berpisah dari orang tua, menjadi santri juga harus menjalani laku prihatin. Makan dan main dibatasi. Mereka tidak bisa makan seenaknya sebagaimana layaknya anak-anak bukan santri.  Untuk makan dan ke kamar mandi, mereka harus antre dan berbagi dengan sesama santri. Ketika anak-anak seusianya bebas makan apa saja, keluyuran di mal untuk berlibur dan bermain, main game dan HP sepanjang waktu, maka para santri hanya makan ala kadarnya di pesantren, membaca syair shalawat dan dadham kitab sambil memukul meja sebagai hiburan. Semua ini dilakukan sebagai latihan pengendalian diri, mengekang nafsu dan memperkuat keteguhan jiwa.

Untuk memperkuat kepekaan rasa dan ketajaman batin, santri juga dituntut melakukan berbagai laku spiritual. Ketika anak-anak lain sedang tidur lelap, para santri harus bangun untuk salat malam dan dzikir. Ketika anak-anak lain bebas jajan dan makam, santri harus mengekang rasa lapar dengan berpuasa. Saat anak-anak lain sedang asyik jalan-jalan, santri harus khusyuk munajad kepada Allah. Semua ini dilakukan sebagai upaya pembersihan diri. Menghapus berbagai debu dan kotoran yang melekat dalam hati yang bisa menghalangi pancaran Nur Ilahi pada diri para santri.

Tak hanya diasah secara mental-spiritual, para santri juga diasah secara intelektual-rasional. Di tengah menjalani laku prihatin itu, para santri juga harus mengaji, berdikusi, muthalaah, mendaras, dan menghafal kitab. Para santri tidak hanya dituntut memiliki kemampuan spiritual, akhlak, dan moral yang tinggi, tetapi juga menguasai khazanah keilmuan keislaman dan pengetahuan yang kuat. Semua ini diakukan karena santri tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan yang luas, daya intelektual tinggi, tetapi juga akhlak yang baik dan kepekaan spiritual yang tinggi.

Laku hidup santri yang berat dan susah ini tidak berhenti saat menuntut ilmu. Saat sudah terjun ke masyarakat, para santri juga menghadapi berbagai stigma negatif dan pandangan pejoratif dari kalangan non-santri, terutama kaum modernis. Santri sering dianggap sebagai komunitas katrok, tradisional, konservatif, anti-kemajuan, dan berbagai tudingan negatif lainnya. Bahkan, ketika isu terorisme, intoleransi, dan radikalisme merebak di kalangan masyarakat, maka banyak yang mengkaitkan gerakan tersebut dengan pesantren. Dan kembali santri mendapat tudingan negatif. Meskipun secara faktual, kultural, dan normatif, tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dan tradisi santri.

Cara PKI

Stigma negatif dan pandangan pejoratif terhadap santri ini juga berdampak saat melakukan kompetisi dalam berbagai ranah kehidupan, terutama ranah politik dan ekonomi. Dalam ranah politik, terjadi peminggiran peran politik kaum santri. Hal ini dilakukan pertama dengan mengecilkan dan menututp-nutupi peran sejarah kaum santri dalam perjuangan bangsa. Hampir tidak ada buku sejarah yang mencatat perjuangan kaum santri pada bangsa dan negara, sebaliknya hanya dipenuhi para tokoh dan kelompok nasionalis-modernis non-santri. Padahal, secara faktual, banyak gerakan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang dimotori oleh kiai dan santri.

Salah satu contoh menganai “penggelapan dan pengkerdilan” peran sejarah kaum santri dalam perjuangan kebangsaan adalah peristiwa “Resolusi Jihad” yang diserukan oleh para kiai NU yang mampu menggerakkan santri untuk melawan tentara Sekutu, hingga berujung pada terjadinya peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya. Peristiwa inilah yang menjadi momentum dicetuskannya Hari Pahlawan.

Tapi, anehnya, hampir tidak ada satu sejarawan negeri ini, apalagi sejarawan asing, yang menulis peran santri dan kiai dalam peristiwa monumental ini. Bahkan, ketika ada seorang mahasiswa UI yang ingin meneliti dan mengungkap sejarah ini, langsung ditolak oleh sang pembimbing (saya tahu dan kenal pembimbing tersebut) dengan alasan itu sejarah lokal dan berbagai alasan lain yang seolah akademik. Padahal, banyak sejarah lokal yang juga ditulis oleh sejarawan, seperti gerakan petani Banten, peristiwa tiga daerah di Jawa Tengah, dan sejenisnya. Dari sini terasa bahwa alasan tersebut dibuat-buat untuk menutupi peran sejarah santri.

Sikap ikhlas dan tawadlu santri telah menbuat “penggelapan” sejarah ini berlangsung selama puluhan tahun. Belakangan mulai ada kesadaran dari elite kekuasaan untuk mengapresiasi perjuangan santri dengan memberikan ruang politik kepada kepada santri. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya Hari Santri oleh Presiden RI Joko Widodo di setiap tanggal 22 Oktober sebagaimana tertuang dalam Kepres Nomor 22 Tahun 2015. Tapi tampaknya, hal ini belum bisa diterima secara baik oleh kelompok lain yang masih berprasangka negatif dan memandang pejoratif terhadap santri. Masih ada upaya untuk menolak keberadaan hari santri dengan terus membuat argumen yang mengerdilkan keberadaan Hari Santri.

Tidak hanya melalui wacana dan perdebatan, penolakan Hari Santri juga dibuktikan dengan berbagai tindakan provokatif yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mengganggu dan membuat kekacauan saat Hari Santri, terutama pada peringatan Hari Santri dua tahun terakhir, 2018 dan 2019.

Pada tahun 2018, provokasi dilakukan oleh orang yang mengibarkan bendera HTI di tengah upacara peringatan Hari Santri di Garut yang berujung pada insiden pembakaran bendera HTI oleh anggota Banser. Peristiwa ini segera menyulut kontroversi dan provokasi yang menyudutkan Banser.

Setahun kemudian, pada 2019, peristiwa provokasi terjadi lagi di Cianjur. Segerombolan orang membawa bendera HTI dan atribut FPI mendatangi acar pengajian dalam rangka Hari Santri di alun-alun Cianjur. Mereka naik ke panggung dan ngotot membubarkan acara untuk memancing emosi panitia agar timbul kerusuhan. Untungnya, panitia tidak terpancing, sehingga bentrok bisa dihindarkan. Dan kembali, peristiwa ini kemudian “digoreng” di medsos sehingga menimbulkan kontroversi yang bisa membelah umat.

Beberapa peristiwa tersebut cukup bisa dijadikan indikasi bahwa ada upaya untuk membuat sitgma negatif Hari Santri agar timbul kesan bahwa Hari Santri selalu bikin rusuh, memancing kontroversi, dan memecah belah umat. Apa yang terjadi juga membuktikan bahwa yang benci santri dan selalu membubarkan acara-acara santri ternyata tidak hanya PKI. Mereka yang suka membawa bendera HTI dan pakai atribut FPI ternyata juga tidak suka terhadap kegiatan santri. Meski dengan dalih yang berbeda, namun perilaku dan sikap mereka terhadap santri dalam kasus ini sama persis dengan PKI.

Melihat berbagai peristiwa yang ada dan berbagai tudingan negarif dan pandangan pejoratif yang dialamatkan kepada santri, semakin membuktikan bahwa jadi santri itu susah dan berat. Kondisi memang telah berubah, terknologi memang telah maju, tapi pandangan, sentimen, dan prasangka terhadap santri ternyata masih belum banyak berubah. Kondisi seperti ini harus dipahami oleh para santri.

Dengan memahami situasi dan cara pandang kelompok lain yang seperti ini, maka akan bisa menjaga kedewasaan dan kearifan sikap para santri sehingga tidak mudah terjebak dalam sikap frustrasi dan emosi yang bisa menghilangkan karakter dan nilai-nilai santri yang selalu tawadlu, sabar, dan berkhlakul karimah.

Selamat hari santri…  Semoga santri tetap sehat dan istiqamah menjaga negeri, bakti kiai dan menebar damai. Tetaplah jadi santri meskipun jadi santri itu susah dan berat.

Multi-Page

One Reply to “Jadi Santri itu Susah dan Berat…”

Tinggalkan Balasan