Izinkan Aku Tak Kembali Padamu, Bu

1,573 kali dibaca

Di sebuah reruntuhan rumah yang diterjang longsor kemarin malam, Naryati mengais barang-barang yang masih bisa digunakan. Longsor yang menimpa rumahnya di desa Selopuro hanya menyisakan ruang tidurnya. Walaupun kehilangan harta bendanya, ia masih bersyukur karena ia dan Alfi, anak semata wayangnya, masih selamat.

Yati sudah terbiasa dengan berbagai macam kehilangan. Beberpa tahun lalu ia kehilangan rumahnya karena untuk pengobatan suaminya yang menderita sakit lever. Ia tidak pernah menyesal ketika harta bendanya habis untuk menolong nyawa suaminya, walaupun berakhir dengan kematian suaminya. Satu-satunya rumah sewa gratis yang sekarang ia tinggali sudah tenggelam oleh tanah longsor bersama harta bendanya.

Advertisements

***

Minggu, 14 Februari 2021, pukul 23.00 di SDN Ngetos 3.

“Sampai kapan kita tinggal di sini, Bu?” tanya Alfi.

“Aku tidak tahu, Al. Bu Santo, yang memberikan tempat tinggal kepada kita ini, masih belum ketemu.”

“Berarti kita sudah tidak punya tempat tinggal?”

“Sudah, jangan berangan terlalu jauh. Kita harus bersyukur karena kita masih diberi rahmat berupa kehidupan untuk berbuat amal kebaikan, Nak. Ingat pesanku, harta benda itu bisa dicari. Tetapi kehidupan tidak bisa. Jadi kita harus mensyukurinya.”

“Iya Bu.”

Yati selalu menanamkan budi pekerti kepada Alfi. Ia berharap kelak Alfi bisa menjadi anak yang bisa membanggakan orang tuanya.

Keesokan paginya, Yati pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan. Dengan mendatangi setiap penjual di pasar, ia menawarkan tenaganya.

“Assalamuaikum, Bu. Apa ada pekerjaan untuk saya?”

“Waalaikumsalam. Di sini pekerjanya sudah banyak. Lagian sekarang pasar sepi Bu, karena Corona.

Hari ini, hampir semua lapak di pasar sudah didatangi tapi tak ada yang berminat menggunakan tenaga perempuan empat puluh tahunan itu. Dengan berjalan layu, Yati memutuskan pulang ke pengungsian. Di tengah perjalan, terlihat Alfi sedang berjalan menghampirinya dengan membawakan sebuah nasi bungkus yang didaptkan dari pengungsian untuk ibunya.

“Yati, berhenti!” terdengar suara mememanggilnya dari arah kanan. Seorang laki-laki itu berlari kecil menghampiri Yati.

“Siapa itu, Bu?” Alfi bertanya sambil memberikan nasi bungkus kepada Yati.

Wajah Yati terlihat gugup ketika melihat laki-laki itu. Ia tak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Alfi.

“Tolonglah kasihani aku, Yat! Sekarang rumahku sudah hancur diterjang longsor. Anakku dan kritis di rumah sakit. Dulu aku mengasihanimu dengan meminjamimu uang ketika suamimu kritis. Apa ini balasanmu terhadap kebaikan keluargaku?” Santoso berkata dengan wajah merah padam.

“Bukan itu maksudku, Pak San. Dulu saya terpaksa meminjam uang kepada Bapak karena semuanya sudah kujual untuk menolong nyawa suamiku. Sekarang saya sedang mencari pekerjaan untuk mengangsur utangku, tapi…”

“Sudah sejak tiga tahun, kamu selalu berkata berniat mencari kerja untuk melunasi utangmu!” Santo diam sejenak. “Sekarang aku bingung untuk kehidupan sehari-hariku, apalagi ditambah biaya pengobatan keluargaku, aku bosan alasan yang sama. Anakmu aku bawa, ambilah jika kamu sudah membayar utangmu!”

“Tapi, Pak…”

“Pahamilah keadaanku, Ti. Aku tidak menginginkan anakmu. Aku hanya ingin kamu mengembalikan uangku. Seandainya aku memiliki uang untuk tambahan biaya pengobatan istiku dan biaya hidupku, aku tak mau seperti ini!”

“Ibu… ibu…,” Alfi menangis ketika digendong Santo. Yati pun seolah tak berdaya melihat anaknya dibawa.

“Jangan menangis, Paman Santo baik hati. Aku akan menjemputmu nanti malam.”

Perkataan Yati membuat Alfi sedikit tenang. Alfi yang sudah akrab dengan Santo dan Dewi, anak Santo, menambah ia semakin tenang.

Setelah membawanya melewati beberapa gang sempit dalam pasar, Santo menjelaskan kepada Alfi bahwa ia berniat mengajaknya ke rumah sakit.

“Lihatlah Dewi dan Bibi Zainab yang sedang kritis itu, Al.” Santo mengangkat Dewi untuk menengok sebuah jendela kaca ruang ICU. Ia kemudian menunjukkan kepada Alfi keadaan Dewi dan istrinya yang sedang terbaring dengan infus, ventilator, dan monitor jantung di dalam ruangan itu.

“Ibumu pasti ke sini nanti malam. Aku titip sebentar Dewi dan Bibi Zain ya? Jangan ke mana-mana. Aku mau beli makan siang untuk kita.”

Usai berpesan kepada Alfi, Santo pergi. Terbesirlah niat Alfi untuk mencari ibunya. Alfi pun menggunakan kesempatan itu untuk pulang ke pengungsian dengan berjalan kaki. Ia mengelilingi semua ruang di pengungisan. Tetapi ia tidak menemukan ibunya. Mbah Nem yang melihat Alfi sedang kebingungan bertanya kepadanya.

“Kamu dari tadi mondar-mandir, apa yang kamu cari, Nak?”

“Apa Mbah Nem melihat ibuku?”

“Ibumu belum kembali sejak tadi pagi. Bukankah kamu tadi dipamiti bahwa ia akan ke pasar?”

“Iya Mbah, aku akan menyusulnya ke sana.”

Alfi memutuskan kembali ke pasar dengan berjalan kaki. Ia berharap akan menemukan ibunya di sana. Tetapi, sampai senja datang ia tidak menemukan ibunya.

***

“Santoso itu orang baik, ia akan menjaga Alfi,” kata hati kecil Yati.

Malam itu ternyata Yati memutuskan menerima ajakan yang pernah ditawarkan Pitoyo kepadanya. Pitoyo pernah menawarkan kepadanya untuk melamar menjadi pembantu di Jakarta. Rencananya, jika ia sudah bekerja, ia akan mengajak Alfi.

Bu Lik yakin memutuskan untuk pergi ke merantau ke Jakarta?”

“Aku tidak ada pilihan lain, Pit. Di sini, aku hanya luntang-lantung bekerja serabutan tapi tidak ada hasilnya.”

“Di sana, mungkin Bu Lik bisa dapat pekerjaan sebagai pembatu.”

“Tidak mengapa, Pit.”

“Jika begitu, mari ikut saya sekarang.”

***

Sementara itu, Santo pun kebingungan mencari Alfi di rumah sakit yang tak kunjung ketemu. Santo pun akhirnya memutuskan untuk mencoba mencari di pengungsian.

“Ini sudah hampir malam, ke mana kamu, Al?” Ia hampir putus asa untuk mencarinya karena seluruh lokasi pengungsian itu sudah dikelilinginya, tetapi belum menemukannya. Teman-teman Alfi juga ditanyainya, tetapi tak mengetahuinya. Akhirnya, ia menanyakan kepada Mbah Nem, tetangga Yati, yang sedang duduk di bawah pohon akasia di dekat dapur umum.

“Tadi siang ia menyusul ibunya ke pasar,” jawab Mbah Nem.

“Terima kasih, Mbah.”

Santo langsung menuju ke pasar. Ketika hendak memasuki pasar, terlihat Alfi sedang menangis tersedu di depan gapura pasar. Santo menghampirinya.

“Alfi, sudah jangan menangis.” Santo merasa bersalah karena telah memisahkan Alfi dari ibunya.

“Ayo ikut aku kembali ke rumah sakit. Kita tunggu ibumu di sana.”

Alfi hanya terdiam.

“Ibumu pasti menjemputmu, tapi tidak di sini.” Dengan sabar, Santo merayu Alfi agar mau kembali ikut ke rumah sakit.

“Sini Al, aku gendong, kamu pasti capai, kan?”

Karena Alfi berpikir ibunya tak akan kembali malam ini, akhirnya ia naik ke punggung Santo untuk kembali ke rumah sakit.

Sesampainya di teras ruang ICU, Santo mengintip keadaan keluarganya di sana. Ia melihat para tim medis melepaskan semua alat medis yang dikenakan Dewi malam itu. Belum sembuh sedihnya kehilangan anaknya, dini hari itu Zain menyusul anaknya menghadap Ilahi.

Hati Santo sangat terpukul, tetapi ia berusaha tampak tegar di hadapan Alfi. Santo menggandeng Alfi menuju ruang dokter jaga.

“Kondisi istri Bapak sudah menurun dalam dua hari terakhir. Tim medis sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi hasil yang menentukan Allah. Besok pagi, jenazah keluarga Bapak akan kami makamkan dengan protokol kesehatan walaupun hasil tes swab belum keluar. Bapak tidak perlu memikirkan biaya perawatan selama ini.”

“Baik Pak, terima kasih bantuannya kepada kami.”

***

Dua puluh tahun sudah berlalu, Alfi sekarang sudah lulus sebagai salah satu yang terbaik dari program pascasarjana Unair. Santo pun diundang dalam wisuda kelulusan.

“Saya sangat beruntung menemukan sosok Ayah yang mendidik saya dengan sabar. Yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan sehingga bisa meraih gelar megister di perguruan tinggi,” kata Alfi dalam penyampaian kesan dan pesan perwakilan mahasiswa.

“Allah memang memiliki sifat ar-rahman dan Ar-rahim. Allah tidak mungkin membuat makhluknya sengsara. Alhamdulillah, Allah telah menitipkan Alfi kepada saya.”

Santo merasa inilah saatnya menikmati sisa hidupnya. Perjuangan membesarkan Alfi telah berakhir.

Perjalanan pulang ke rumah meraka diiringi canda tawa. Hal yang mengejutkan, ketika sampai di rumahnya yang mungil, di sana terlihat sosok perempuan tua sedang duduk di teras rumah.

“Selamat malam, Pak San.”

“Bu Yati?”

“Iya Pak.”

Alfi langsung bersalaman sambil mencium tangan ibunya.

“Bagaimana kabarmu, Nak?”

“Alhamdulillah, Bu, Baik.”

Perasaan Santo sangat hancur ketika melihat Yati. Ia merasa akan kehilangan sosok yang sangat disayanginya.

“Pak San, saya mengucapkan terima kasih telah membesarkan Alfi selama ini. Saya ke sini ingin mengembalikan uang yang pernah saya pinjam dan sedikit hadiah kepada Bapak.” Santo pun diberikan seamplop uang.

“Saya berencana mengajak Alfi untuk berjalan-jalan sebentar. Sambil mengobrol empat mata dengan Alfi.”

“Iya Bu, silakan.”

Mereka pun meninggalkan Santo. Terlihat mereka memasuki sebuah mobil berwarna putih. Santo pun memasuki rumahnya sambil membuka amplop. Ia terkejut melihat uang yang diberikan Yati sangat banyak. Terlihat ada sepucuk surat di antara uang itu.

“Saya mohon maaf dulu menitipkan Alfi kepada Anda. Sebenarnya saya berniat menjemput Alfi secepatnya tetapi saya belum mampu. Sedikit uang ini hanya sebagai ungkapan terima kasih saya kepada Anda. Tetapi jika Bapak merasa belum cukup bisa membicarakan kepada saya.”

Santo merasa mungkin ini sudah saatnya ia berpisah dengan Alfi. Tetapi, ia masih berharap Alfi akan mengetuk pintu rumahnya untuk kembali membahagiakannya di hari tuanya.

***

Tiga hari telah berlalu, tak seorang pun mengetuk pintu rumah Santo. Dipandanginya WA-nya, yang berisikan pesan-pesan kepada Alfi untuk menanyakan kabar dan kegiatan Alfi bersama ibunya.

“Kau mungkin sudah bahagia bertemu dengan ibu, Al.”

Ia beranjak dari tempat duduknya kemudian memutuskan untuk pergi ke warung. Alangkah terkejutnya ketika ia membuka pintu, Alfi sedang ada di depan rumahnya.

“Alfi, silakan masuk. Aku menunggu kedatanganmu sejak malam kepergianmu.”

“Ayah, aku…”

“Duduklah dulu, aku akan mencarikan kamu sarapan. Aku tidak memasak hari ini karena sendirian. Jangan pergi seperti waktu kamu kecil.” Sambil tersenyum Santo berdiri dengan cekatan agar tidak kehilangan waktu dengan Alfi, tetapi Alfi menahannya.

“Ayah tidak usah pergi mencarikan aku sarapan. Biarlah aku yang akan memasak untuk Ayah setiap harinya.”

“Apa maksudmu? Apa kamu tidak akan tinggal bersama ibumu?”

“Duduklah dulu, Yah. Biarkan aku bercerita.”

Alfi menceritakan, memang benar ia ditawari untuk tinggal bersama Yati dan keluarga barunya. Yati terpaksa menikah karena terdesak kebutuhan hidupnya. Ia tidak menyalahkan ibunya menikah lagi. Tetapi, ia memohon izin kepada ibunya sebelum memenuhi permintaannya membaktikan dirinya untuk merawat Santo sebelum kembali kepada ibunya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan