Islam Tradisional dan Keterbukaan Sosial

960 kali dibaca

Pesantren adalah representasi pendidikan Islam tradisional yang menurut para pakar Islam Nusantara disebut sebagai “the great traditional Islam education“. Hal ini nampak utuh saat pesantren menawarkan kurikulum berbasis kolaboratif, fikih dan tasawuf.

Al-Qur’an dan Hadis menjadi sumber utama dasar pendidikan pesantren, ditunjang dengan ijma’ dan qiyas. Pendekatannya pun dihiasi dengan tirakat atau penempaan diri, zikir, salat malam, puasa, dan lain sebagainya.

Advertisements

KH Husain Ilyas menjelaskan bahwa “Pendidikan Islam tradisional memang nyatanya terus ada, namun pergerakannya menyesuaikan dengan perkembangan dan kontekstualisasi jaman.” Hal ini memiliki interpretasi bahwa tradisi sebagai prinsip tidak menutup diri untuk menerima perkembangan sosial dan pengetahuan.

Pesantren secara umum dipahami sebagai ruang pendidikan Islam yang memiliki karakter tradisional. Bahkan tidak jarang beberapa kalangan menyebutnya sebagai kolot dan jumud. Hal ini tergambar pada bagaimana cara pandang mereka yang kerap membenturkan pesantren dengan strata sosial rendah.

Namun, lamat-lamat pandangan itu dibantah dan dibuktikan dengan berbagai pengalaman santri yang turut berkiprah dalam membangun kehidupan sosial. Kita bisa lihat bahwa sejak abad ke 18-20 banyak tokoh santri Nusantara yang turut berkiprah menjadi pendidik di luar Nusantara. Karyanya pun menjadi rujukan sampai hari ini.

Syeh Nawawi Bantani, Syeh Mahfud Termas, Kyai Hasyim As’ari, Mbah Maimun Zubair, di masa Modern ada pemikiran Gus Dur, Gus Mus, KH Husain Ilyas, Romo Yai Agus Sunyoto dengan Atlas Walisongo nya. Di Post-modern ini ada Gus Yahya misalnya, dan lain sebagainya.

Artinya, kiprah santri secara pemikiran turut serta mewarnai gerak dan pembangunan sosial. Hampir dalam semua lini sosial, pemikiran santri itu juga turut mewarnai, bahkan mendominasi.

Sehingga, predikiat pendidikan tradisional itu memang menjadi tanda bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam dengan prinsip tradisi atau kultur yang dijaga ketat, namun sama sekali tidak stagnan. Pesantren justru turut serta mengambil ruang-ruang dan turut mengisi porsi-porsi dalam perkembangan dan kemajuan jaman.

Pendek kata, pesantren juga menempatkan diri pada gerak dan laju perkembangan jaman. Bahkan mengawal kemajuan tersebut. Pribumisasi Islam yang ditawarkan Gus Dur bukanlah konteks kejumudan, tetapi kontekstualisasi Islam dalam ruang-ruang sosial masyarakat itu sangatlah penting.

Budaya dalam setiap negara dan wilayah itu berbeda, Islam yang menjadi agamanya secara fiqih dasarnya sama. Namun apakah kemudian dipaksakan dalam ruang-ruang sosial yang secara geografis dan tatanannya berbeda dengan wilayah lahirnya Islam? Hal ini tentu membutuhkan pola ijma’ dan qiyas.

Sehingga pendidikan Islam, khusunya pesantren dapat berkiprah dan membersamai kontekstualisasi Islam sebagai agama dan nilai, agar terus bergerak sesuai dengan jaman. Karena dinamika pengetahuan tidak berhenti namun terus menemukan perubahan-perubahan.

Oleh sebab itu, pesantren adalah bagian dari wadah pendidikan untuk menyambut perubahan-perubahan tersebut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan