Ingsun dalam Tasawuf Mistik Syeikh Siti Jenar

2,900 kali dibaca

Wacana ke-Aku-an sebenarnya ide abadi yang muncul sepanjang zaman. Dalam konteks Islam Indonesia, Syeikh Siti Jenar salah satu tokoh sufi yang memperkenalkan gagasan tentang ke-Aku-an yang merupakan bagian dari perjalanan hidup sejatinya.

Sebelum Syeikh Siti Jenar, sudah banyak tokoh sufi yang telah mencapai pemahaman yang secara sempurna akan ke-Aku-annya. Akan tetapi, untuk kasus Syeikh Siti Jenar, pengantara ke-Aku-annya itu justru disambut dengan tuduhan bahwa ia adalah orang yang keluar dari agama bahkan tidak beragama.

Advertisements

Ke-Aku-an atau Ingsun atau Ananiyyah, atau the I-amness merupakan sesuatu yang inhern dalam kehidupan setiap manusia. Karena ingsun merupakan sumber dari kisah penciptaan. Hanya, tidak setiap manusia mau dan/atau mampu menerimanya sebagai bagian dari dirinya.

Syeikh Siti Jenar sudah secara tidak langsung telah menghayati dua wilayah sekaligus, yaitu: Ingsun dalam konteks raga/fisik/badan dan Ingsun dalam konteks the Ultimate Reality. Pada konteks Ingsun raga berorientasi pada pijakan tubuh fisik yang meliputi bukan hanya pada badan melainkan jiwa dan juga nyawa.

Pada konteks ini Syeikh Siti Jenar melalui muridnya —Ki Kebokenongo— menguraikan bahwa agama seharusnya mengarahkan setiap para pemeluknya menjadi orang yang hidup menyatu dengan alam dan merdeka. Yakni hidup yang berupaya menerima realitas kebaikan (becik, goodness) dengan keburukan (ala, badness), kehidupan (urip, life) dengan kematian (pralaya, death), dan Tuhan (Gusti, God) dengan hamba (kawula, slave).

Dalam kaitannya dengan Ingsun ragawi akan senantiasa berhadapan dengan keburukan, kematian, dan kehambaan. Ketiga hal tersebut menjadi realitas wajib yang melekat pada setiap manusia. Pada tataran ini, Ingsun ragawi adalah Ingsun yang relatif. Ingsun ragawi adalah yang senantiasa berubah wujud, bentuk, dan tempat.

Pada Ingsun inilah yang disebut oleh Paul F Knitter sebagai anthropocentrism. Pada Ingsun ini pula manusia sebagai imago dei, citra ilahi yang nyata. Bahkan berpijak pada Ingsun ini pulalah kesadaran akan adanya Pencipta (Khaliq, Creator), ciptaan (makhluq, creatures), dan etika (akhlak, ethic).

Hubungan antara Tuhan dan hamba itulah yang secara sosial dan ruhani melahirkan hukum-hukum yang mendamaikan. Hukum-hukum yang tidak diatur dan ditentukan oleh penguasa yang mengatasnamakan agama, melainkan hukum-hukum yang berpijak pada setiap kesadaran diri individu yang tercerahkan yang senantiasa mendamaikan diri, orang lain, dan alam sekitar.

Sementara itu, Ingsun dalam konteks Ilahi adalah Ingsun yang Abadi. Ingsun dalam hal ini merupakan Ingsun yang senantiasa berkaitan dnegan the Ultimate Reality, Tuhan, Gusti, atau Sang Kebenaran. Ingsun Ilahi adalah Ingsun sebagaimana yang dikatakan dan disaksikan oleh Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, dan Ismaili.

Ingsun dalam hal ini adalah Ingsun yang hanya diperintah secara langsung oleh Tuhan. Proses penciptaan kesadaran akan Ingsun Ilahi pada diri manusia biasanya melalui perjalanan spiritual yang disebut dengan ittihad dan hulul.

Pada saat seseorang merasakan dirinya Ingsun Ilahi itu biasa disebut dengan wahadat al-Syuhud atau wahdat al-wujud. Biasanya pula orang yang mengalami demikian sering mengatakan sesuatu (yang disebut dengan syatohat) yang terkadang berlawanan dengan pandangan masyarakat umum. Meskipun demikian, sebagian kalangan muslim memahami bahwa orang yang mencapai puncak syatohat tidak bisa dihukum sesuai dengan hukum agama.

Implikasi dari Ingsun Ilahi adalah adanya pemahaman bahwa Ingsun Ilahi yang bersemayam dalam diri manusia adalah Ingsun Sang Abadi, Ingsun Yang Mutlak. Ingsun inilah yang merupakan the Ultimate Reality yang harus disembah oleh setiap hamba.

Ingsun Sang Abadi ini juga bersemayam di dalam diri manusia, hanya saja tidak semua orang menyadarinya. Selain itu, tidak semua orang meneladani Tuhan secara baik. Oleh karena itu, meskipun setiap manusia adalah Ingsun Ilahi, tetapi tidak setiap orang pula mengakui dirinya sebagai Tuhan.

Untuk bisa memahami bahwa dirinya adalah Tuhan Yang Nyata, manusia harus melewati latihan spiritual serta perjalanan ruhani serta perjalanan ruhani yang tidak mudah. Manusia yang mengaku dirinya sebagai Ingsun Ilahi dia harus meneladani sifat-sifat Tuhan dan bersifat sebagaimana sifat 20 yang ada pada Tuhan.

Orang yang telah mampu meneladani perbuatan Tuhan, maka orientasinya akan senantiasa pada bagaimana menjunjung tinggi kebaikan, Tuhan, dan kehidupan. Ketiga hal tersebut disebut oleh Paul F Knitter sebagai biocentrism. Suatu paham yang berorientasi pada keabadian, yaitu kebaikan abadi, Tuhan, dan kehidupan itu sendiri. Suatu keabadian yang tidak hanya beroriemtasi atas nama Tuhan, melainkan juga atas nama seluruh makhluk Tuhan yang diberi kesempatan hidup oleh Tuhan. Karena, dalam diri seluruh makhluk itu Tuhan menampakkan Diri-Nya. Meskipun demikian, Tuhan adalah berbeda dengan seluruh makhluk-Nya.

Bisa disimpulkan bahwa ajaran Ingsun berupaya mengembalikan kesadaran manusia pada kesejatiannya, terutama berkaitan dengan agama. Ingsun membuka kesadaran bahwa setiap manusia harus menerima kenyataan hidup ini yang selalu berpasangan baik-buruk, kehidupan-kematian, dan Tuhan-hamba. Kebaikan, kehidupan, dan Tuhan adalah realitas Abadi Tuhan. Sedangkan, keburukan, kematian, dan hamba adalah realitas manusia. Ajaran Ingsun menjembatani kesenjangan antara manusia dan Tuhan itu sendiri. Wallahu a’lam.

Catatan: Menukil dari beberapa tulisan Aris Fauzan dalam Jurnal Afkaruna.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan