Imah dan Pesta Pernikahannya yang Kedua

989 kali dibaca

Di pagi hari yang melelahkan, kabar bahagia menyeruak di antara para nelayan yang sedang membagi rata hasil tangkapan ikan sebelum didistribusikan ke pasar. Saat itu ada konglomerat memborong ikan tangkapan seluruh nelayan di pangkalan mereka.

Heru saat itu merasa sangat lelah. Sebab, sepanjang malam, di tengah angin kencang dan gelombang bergulung-gulung. Badai itu membuatnya duduk jatuh di pinggiran perahu, tenaganya seperti terkuras habis. Namun, semuanya terbayar lunas dengan harga ikan yang naik satu tingkat dari sebelumnya. Sayangnya, tak berselang lama kabar burung itu sampai.

Advertisements

Seorang bocah laki-laki menghampirinya setelah berlari cukup jauh.Badannya gempal dengan kulit sawo matang, ia terduduk mengatur napas.

“Kenapa kau berlari seperti orang dikejar hantu? Ingin kurus? Atau bagaimana?” tanya Heru dengan nada heran.

“Paman, Bi Imah mau melahirkan,” napasnya masih menderu.

“Ada di mana sekarang?” seketika wajah Heru tegang sekaligus senang.

“Di puskesmas desa. Pak Jarwo tadi yang membawanya.”

“Kenapa tidak menyusulku dari subuh tadi?” wajah Heru memerah, urat lehernya menegang tatkala mendengar nama Jarwo.

“Paman kan baru turun dari perahu, masak iya aku harus bersemedi untuk menunggu? Sudahlah paman, aku hanya mengantarkan kabar. Segeralah ke puskemas, Bi Imah membutuhkan.”

Tanpa menoleh lagi, bocah laki-laki yang bernama Ucok itu berjalan menjauh, meninggalkan Heru dengan wajah kesalnya seperti anak kecil merajuk.

Ternyata sesampainya di puskesmas buah hatinya sudah melihat dunia dengan remang-remang. Bayi itu terbungkus sarung batik, tangisnya pecah sebelum didekap oleh sang ibu di dadanya.

“Biar aku azankan.” Heru tersenyum penuh haru.

“Sudah Bang, Bang Jarwo tadi yang menggantikan Abang.”

“Mana dia sekarang? Kurang ajar sekali!” Mata yang tadi pagi menatap galak Ucok kembali di tampilkan pada istrinya. Tanpa perlu menunggu jawaban, Heru bergegas keluar, membawa pisau kecil yang ia simpan di balik gulungan sarungnya.

Bagaikan Hiroshima dan Nagasaki yang di bom oleh Amerika serikat, luluh lantak dan penuh kemalangan. Suasana hati Heru terbakar api cemburu, semuanya seakan hitam pekat, tak peduli anak pertama yang dinanti selama sepuluh tahun telah lahir.

“Dasar bangsat!” Ujung pisau Heru manyentuh kemeja putih pria dengan perawakan Melayu itu, seketika darah merembes dari bahunya.

“Heru, maksud kau apa?” tangannya menahan sakit di bahu kirinya. Seketika orang-orang melihat tanpa berusaha melerai. Ada yang takut, tak peduli, bahkan ada yang menjadikannya sebuah tontonan dengan dalih sebagai ganti dari suntuknya mencium bau obat.

“Kau memang tak pernah rela Imah bersamaku, kenapa? Kau dendam karena aku mengambilnya darimu, hah?!” sorot mata Heru menyalak tajam.

“Heh, jaga mulut kau. Aku tidak pernah dendam meskipun kau menarik paksa Imah dari rumahnya, mengurung dan memaksanya untuk hidup dengan kau, karena terlilit utang. Tidak sedikitpun aku ingin merebutnya, sebab aku masih sadar diri dan masih punya rasa hormat.” Darah yang ditampung oleh jari-jarinya menetes ke lantai puskesmas desa yang sudah berwarna cokelat hampir menyerupai tanah di sana.

“Halah bajingan kau! Brengsek!” Sekali lagi tangannya teracung, siap menancapkan kembali pisaunya lebih dalam di bahu Jarwo.

Banyak bibir melongo, tanpa perlu melerai; ini tontonan yang menarik.

“Berhenti!” Suara melengking dari lorong paling pojok, tertatih membawa infus menghampiri dua laki-laki yang dari dulu mencintainya.

“Bang Heru, apakah kau tak punya malu? Sudah kukatakan tadi malam jangan pergi melaut, aku akan melahirkan, tapi tetap saja kau tak mendengarkan. Jika tidak ada Bang Jarwo, mungkin aku akan kehabisan darah dan anak itu tidak akan menangis ketika dilahirkan melainkan memejamkan mata tanpa perlu membukanya.”

Tangis Imah pecah, bahunya terguncang. Bagaimanapun sepuluh tahun mereka hidup bersama tanpa cinta, Imah tetap menunggu buah hati, mencoba menghilangkan cinta dari Jarwo, kekasih pertamanya.

“Kau tahu, akibat keterlambatanku melahirkan, anak itu memiliki kelainan. Aku tidak paham benda apa ataupun alat tubuh yang mana yang membuatnya seperti itu.” Imah sudah terduduk di kursi tunggu, orang-orang mulai bersimpati, menghampirinya.

“Semuanya pasti gara-gara kau Jarwo, keluargaku terkena bala.” Lagi, pisaunya diacungkan tepat di wajah lawannya.

“Berhenti Mas! Kau memang tidak pernah berubah, sangat memalukan!” Untuk pertama kalinya Imah membentak suaminya tanpa ada niat untuk mendurhakainya.

“Ya, kau memang lebih mencintai Jarwo. Dari dulu tidak pernah berubah, mungkin anak itu adalah anak Jarwo. Mulai saat ini kutalak kamu.” Heru, sang sang pelaut tangguh itu, meninggalkan istrinya bersama Jarwo, kepala desa yang dikenal sangat dekat dengan rakyatnya.

Tuduhan Heru memang bukanlah hal biasa, serumpang apa pun kisah cintanya. Anak laki-laki bisu itu adalah benih dari rumah tangganya. Imah tidak pernah menyesal menikah lalu melahirkan anak yang dituduh diperoleh dari perselingkuhan. Tapi ia menyayangkan anaknya akan hidup tanpa ayah.

***

“Aku akan menikahimu,” ucap Jarwo dengan tegas setelah dua tahun dari kejadian itu.

Imah tidak langsung menerima lamaran Jarwo. Sebab, ia takut orang-orang akan berpendapat bahwa sangkaan dari mantan suaminya benar. Namun ternyata banyak masyarakat mendukungnya, termasuk tokoh yang disegani. Mereka hormat kepada Jarwo, sebab dikenal sebagai kepala desa yang jujur dan berdedikasi tinggi terhadap desanya.

“Tuhan tidak pernah salah dalam menggariskan takdir, begitupun hati yang enggan salah dalam mencintai.” Jawaban Imah ini yang akhirnya mendorong masyarakat desa itu membuat pesta pernikahan kedua bagi Imah selama tiga hari tiga malam, dengan beragam tasyakuran diwarnai dengan petik laut.

ilustrasi: katadata.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan