Idul Adha, Perempuan, dan Subjek Sejarah

666 kali dibaca

Memasuki perayaan Idul Adha dan musim haji, umat muslim kembali diingatkan pada momentum kisah Ibrahim dan Ismail. Pengorbanan keduanya menjadi hikmah yang sepatutnya diteladani dan dikenang dalam sejarah Islam. Di sisi lain, Idul Adha juga tidak terlepas dari peran perempuan mulia bernama Siti Hajar. Pengorbanan dan kegigihannya telah menjadikan subjek dari rukun-rukun haji dan tentunya membentuk peradaban yang tak boleh terlupakan.

Menurut Badriyah Fayumi dalam seminar virtualnya “Perempuan dan Idul Adha” tahun lalu, Siti Hajar mencontohkan akal budi, keimanan dan ketakwaan yang sangat sempurna. Ia mampu mengalahkan rasa takut, sepi, dan marah lantaran ditinggalkan di lembah tandus tanpa pepohonon. Sedangkan, ia harus merawat Ismail yang masih dalam gendongan.

Advertisements

Saat di lembah dan mulai kehabisan bekal, Ismail menangis. Siti Hajar lekas melangkahkan kakinya dan berlari-lari kecil menuju bukit Shafa dan Marwah tanpa henti demi mencari setitik air. Ia pun juga memohon pertolongan Allah dengan hati yang luruh. Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir, Allah kemudian memberinya pertolongan dengan memancarkan air dari bawah tanah yang disentuh kedua kakinya di kamarnya dengan mengucapkan “tham, tham, tham” (makanan, makanan, makan).

Peristiwa tersebut menjadi refleksi perjuangan perempuan dalam mempertahankan kehidupan manusia. Siti Hajar sebagai role model jihadnya seorang perempuan. Ia bahkan tidak berjuang untuk dirinya sendiri, melainkan memperjuangkan kehidupan bagi anaknya yang masih kecil. Kini, hasil jerih payahnya berwujud mata air zamzam telah menjadi sumber kehidupan sepanjang masa dan mampu mengobati segala macam penyakit.

Dari konteks cerita tersebut pula merefleksikan bahwa perempuan adalah wasilah kehidupan dan keberkahan. Dikisahkan Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya berdua di Makkah untuk menjalankan perintah Allah. Siti Hajar kemudian mengemban beban ganda membesarkan Ismail seorang diri tanpa kehadiran sang suami.

Dalam website Mubadalah.id KH. Husein Muhammad menuturkan, Ali Syari’ati, pemikir kontemporer menggambarkan Siti Hajar sebagai ibu yang bertanggung jawab, pengembara. Dalam kegelisahannya kehilangan seorang pelindung, ia tetap penuh cinta. Meskipun terasing dari kaumnya, menyendiri, tiada rumah, dan tak berdaya, ia menjadi perempuan optimis dengan penuh harapan. Cinta dan harapan tersebut telah mengetuk pintu langit dan menjadikannya teladan bagi seluruh muslim khususnya muslimah di muka bumi ini.

Hal tersebut diwujudkan dalam kegigihannya menolak godaan setan agar tidak menyerahkan Ismail untuk dikorbankan. Siti Hajar melempar batu kepada setan. Peristiwa tersebut menjadi rukun haji romyul jumroh di hari tasyrik. Siti Hajar mengabaikan rayuan tersebut sebab ia menyakini pertolongan dan kasih sayang Allah sangat luas. Karena, dia telah berulang kali merasakan pahit dan manisnya cobaan.

Syaikh Umar mengisahkan dalam buku berjudul Kisah-Kisah Shahih dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bahwa alasan berpindahnya Hajar dari Palestina ke Mekkah ialah kecemburuan Siti Sarah atas kelahiran Ismail. Rasulullah SAW menyampaikan pula dalam perjalanannya ke Mekkah, Hajar menyeret bajunya di belakang untuk menghapus jejak kakinya agar tidak diketahui oleh Siti Sarah. Kelembutan Siti Hajar sebagai perempuan rela pergi mengasingkan diri untuk menjaga perasaan Siti Sarah yang sangat ia hormati.

Keistimewaan Idul Adha tidak hanya berkelindan pada peran Ibrahim dan Ismail. Namun, juga peran perempuan Siti Hajar yang pengorbanannya seringkali terlupakan. Perjuangan yang melahirkan peradaban dan menghancurkan stigma-stigma buruk terkait perempuan. Idul Adha menjadi momentum mentadabburi nilai-nilai moral lahiriah dan bathiniah. Tanpa pendamping suami, ia menjadi perempuan tangguh, mandiri merawat Ismail dengan penuh cinta. Tanpa keraguan pula, ia yang menegaskan Ibrahim untuk tetap menjalankan perintah Allah.

Keberadaan air zamzam telah tertulis dalam salah satu ayat Al-Qur’an  “wa ja’alnaa min al-ma’i kulla sya’in hayy” (dan kami jadikan dari air segala yang hidup). Dari lakon Siti Hajar Allah menyisipkan hikmah bahwa sosok perempuan berperan besar bagi kehidupan di sekitarnya. Hajar adalah perempuan yang berkorban untuk membangun peradaban mulia yang tidak boleh terlupakan sepanjang masa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan