Hikayat Botol

1,547 kali dibaca

“Pernahkah kau berpikir bagaimana rasanya jika hidup sebagai sampah? Maksudku, benar-benar sampah. Sampah plastik, kertas, botol, kaleng, daun atau sampah apapun. Pernahkah?” botol itu mulai bercerita kepada Abu.

“Aku dulu juga seorang manusia…,” botol itu memang ajaib. Tidak seperti botol-botol lain. Ia memiliki kemampuan untuk berbicara. Abu menemukan botol itu saat perjalanan pulang di sungai belakang tempat tinggalnya yang membentang membelah kota yang penuh dengan gedung-gedung nan menjulang seakan-akan ingin menyinggung langit itu.

Advertisements

Ketika itu Abu mendengar suara memanggilnya dari sungai. Abu mencari-cari dari mana sumber suara itu berasal. Ia melihat banyak sampah, banyak sekali, sungai itu bagaikan sungai sampah yang isinya semua sampah dan bukan air. Matanya menjelajahi tumpukan sampah itu. Akhirnya ia melihat sebuah botol yang terimpit di antara sampah-sampah berbagai rupa yang banyak sekali di pinggir sungai yang airnya pun tak mengalir saking banyaknya sampah. Ia perhatikan dengan saksama botol itu. Ternyata itulah botol yang mengeluarkan suara. Tanpa pikir panjang Abu langsung mengambil botol itu.

***

Semenjak hari ditemukannya botol itu, kehidupan Abu sedikit berubah. Ia yang biasanya setelah bekerja seharian di jalanan kota langsung istirahat di sebuah rumah kecil, sempit, kumuh, dan bau, yang bahkan tak layak disebut sebagai rumah dan dihuni pula oleh teman-teman sependeritaan dengannya, mendadak sering berkeluyuran sendirian dengan membawa botol itu. Ketika berada di rumah pun ia sering terlihat tertawa sendiri sambil menggenggam botol. Tentu saja hal itu membuat teman-temannya heran.

Ternyata si botol suka bercerita kepada Abu. Si botol meminta Abu mengajaknya melihat-lihat kota pada malam hari sembari menceritakan kisahnya. Kisah-kisah yang ia alami ketika masih menjadi manusia dahulu kala.

“Kau tahu kalau teman-temanku sesama sampah sering protes kepada kalian, para manusia?”

“Aku tidak tahu itu. Memangnya sampah bisa protes?”

“Tentu bisa. Namun, kami melakukan protes tidak dengan meneriakkan kekesalan di jalan-jalan sambil membawa kertas-kertas bertuliskan tuntutan-tuntutan. Ya, karena kami hanya sampah dan lagi pula tidak semua sampah bisa berbicara dengan bahasa manusia.”

“Lalu, sebenarnya apa yang kalian inginkan?”

“Kebersihan.”

“Kebersihan?”

“Ya. Kebersihan.”

“Apa maksudnya?”

“Kami tahu bahwa kami adalah sampah. Yang di mata manusia merupakan sesuatu yang kotor, bau, menjijikan, tidak berguna, tidak layak untuk dipandang, dan tidak diharapkan kehadirannya. Namun, mereka lupa bahwa mereka dulu sempat menggunakan kami. Membutuhkan kami. Maka dari itu kami protes.”

Botol itu berbicara dengan ketenangan yang aneh. Dan Abu yang ikut merasa aneh tetap berusaha tenang.

“Protes seperti apa yang kalian lakukan?”

“Tidak lama lagi kau akan melihatnya.”

Malam menampakkan gelapnya. Bulan berusaha menerangi, tetapi awan seolah tak mengizinkan cahaya jatuh ke kota itu.

***

Pagi baru saja merekah. Abu bersama si botol sudah siap untuk menyusuri jalanan kota. Saat berada di atas sebuah jembatan, si botol meminta Abu untuk berhenti dan melihat ke sungai di bawah jembatan itu. Itu adalah sungai yang sama di mana Abu menemukan si botol.

“Lihatlah. Teman-temanku sudah banyak yang berkumpul. Sungai inilah yang akan menjadi titik kumpul kami para sampah sebelum melakukan aksi untuk protes kepada manusia.”

“Semakin banyak saja temanmu.”

“Mereka datang dari seluruh penjuru kota. Mereka adalah sampah-sampah yang dicampakkan begitu saja oleh manusia yang tidak peduli kebersihan dan ketertiban.”

***

Abu selalu membawa botol itu ke mana-mana. Ia mengganggap botol itu adalah temannya yang berguna. Bisa membantu dan memang sangat membantu. Botol itu dapat dimasuki benda-benda seperti batu kerikil atau uang logam sehingga menimbulkan suara yang khas. Suara dari botol itulah yang mengiringi Abu bernyanyi dari lagu ke lagu, dari jalan yang satu ke jalan yang lain, dari perempatan ini hingga perempatan itu. Botol itu membuat Abu lebih riang menyusuri seluruh kota.

***

Abu adalah anak yang berasal dari keluarga yang miskin. Setidaknya itu yang ia tahu. Ia tidak pernah merasakan sekolah karena orang tuanya telah meninggalkannya sejak kecil. Entah di mana orang tuanya sekarang ia tidak tahu. Mungkin telah meninggal karena keracunan makanan seperti kebanyakan orang-orang miskin lainnya. Bukankah makanan sehat dan bersih adalah sebuah kemewahan bagi orang miskin?

Sejak kecil Abu dirawat Bang Rojali. Merawat di sini artinya adalah sekadar memberikan tempat untuk tinggal dan cara untuk mencari uang.

Bang Rojali juga merawat anak-anak lain yang nasibnya tidak jauh berbeda dengan Abu.

***

Senja tiba. Abu yang sudah seharian ini bersama botol itu keliling kota bergegas pulang. Seperti biasa, si botol akan bercerita kepada Abu.

“Pernahkah kau bertemu dengan manusia yang menyanyangi sampah?” tanya si botol.

“Sepertinya tidak,” jawab Abu.

“Aku dulu adalah manusia yang menyanyangi sampah.”

“Kamu menyanyangi sampah? Kasih sayang seperti apa yang kamu berikan?”

“Saat aku masih menjadi manusia, aku sehari-hari bekerja mengambil sampah-sampah yang berserakan. Entah yang ada di tong sampah, sungai, jalanan, selokan, di mana pun. Aku telah kenal dengan banyak sampah. Mereka semua mengeluh terhadap sikap manusia yang seenaknya memperlakukan mereka. Mereka tidak terima. Alam tidak akan menerima kesewenangan manusia. Alam akan membalas, mereka selalu berkata begitu.”

Hingga saat ini Abu masih belum tahu kenapa si botol yang dulunya adalah manusia bisa berubah menjadi seperti sekarang ini. Lagi pula Abu tidak pernah bersekolah, bagaimana mungkin ia akan bisa memikirkan hal-hal yang rumit seperti itu?

“Apakah kamu membenci manusia?” tanya Abu.

“Aku sudah membenci manusia sejak masih menjadi manusia.”

“Apakah kamu juga akan ikut membalas perlakuan manusia?”

“Tentu saja. Aku bersama teman-temanku akan bertindak sebagai penuntut manusia.”

“Kapan kamu dan teman-temanmu akan melakukannya?”

“Besok.”

“Besok?”

“Iya. Besok.”

“Apakah aku juga termasuk manusia yang kamu benci?”

Angin senja terasa dingin, menunjukkan kalau malam hari nanti akan turun hujan.

“Aku tidak membencimu. Namun, aku ingin malam ini kau meninggalkan kota ini. Tinggalkan pula aku bersama teman-temanku. Kau akan melanjutkan perjuangan kami para sampah.”

“Aku?”

“Iya. Setelah besok aku bersama teman-temanku melancarkan aksi tuntutan untuk manusia, kau akan berubah menjadi sampah.”

“Kenapa aku? Aku tidak mau menjadi sampah.”

“Kau akan mengerti saat telah menjadi sampah.”

“Tapi aku tidak mau.”

“Tapi itu sudah takdirmu. Sekarang kau bisa membuangku ke sungai di mana teman-temanku sekarang berada.”

Abu menurut kepada si botol. Ia melemparkan botol itu ke sungai yang sudah membeludak oleh sampah. Botol itu mengucapkan selamat tinggal. Abu lalu pergi ke tempat yang jauh. Meninggalkan kota itu, rumahnya, teman-temannya, Bang Rojali, dan tentunya si botol dengan diiringi hujan gerimis yang perlahan menjadi deras dan tak berhenti selama beberapa hari ke depan.

***

Sejak semalam hujan turun sangat deras di kota itu. Di luar kota hujan juga melanda. Abu masih memikirkan si botol. Botol itu dan sampah-sampah lainnya akan melakukan aksi protes terhadap manusia. Aksi protes seperti apa yang akan ia dan sampah-sampah lainnya lakukan, Abu bertanya-tanya.

Hari sudah siang namun matahari tidak tampak akibat awan hitam terus menutupi. Ia ingin kembali ke kota itu. Ia ingin bertemu dengan si botol. Namun, keinginannya ia tahan. Ia ingat pesan terakhir dari botol itu kepadanya.

“Kembalilah tiga hari setelah aku dan teman-temanku selesai dengan tugas kami.”

Abu pun sedia menunggu hingga tiga hari sambil menatap langit yang terus menjatuhkan air tanpa henti.

***

Di kota itu, bersama sampah-sampah seluruh kota, si botol melancarkan aksinya. Dengan bantuan air hujan dan air sungai dan air got yang meluap-luap menggenangi seluruh kota, para sampah menyebar ke seluruh kota, masuk ke rumah-rumah, kantor, apartemen, hotel, superblok, pasar, sambil membawa kotoran-kotoran manusia kepada manusia itu sendiri, membawa penyakit untuk manusia-manusia itu, dan tidak lupa menyeret kebencian mereka.

***

Tiga hari kemudian, Abu kembali. Ia lihat kotanya telah luluh-lantak, kotor, sangat menjijikan. Sampah-sampah berserakan di mana-mana. Orang-orang sibuk membersihkannya. Abu lalu mencoba mencari si botol. Walaupun sangat banyak botol-botol berserakan di mana-mana, Abu tidak akan lupa pada botol yang dapat bicara itu. Tidak akan ia salah mengenali.

Setelah mencari ke sana-sini, Abu menemukan si botol di sebuah selokan.

“Aku dan sampah-sampah telah selesai melaksanakan tugas. Namun, manusia tetap saja tidak akan sadar. Mereka tetap tidak mau mengerti. Banyak sampah-sampah telah dikumpulkan hanya untuk dibuang lagi kemana saja sesuka mereka. Kini kau yang akan melanjutkan perjuangan kami.”

Botol itu telah sangat reyot. Mungkin akibat benturan dengan benda-benda lainnya selama menjelajahi isi kota.

“Apakah ini saatnya aku menjadi sampah?” tanya Abu.

“Sebenarnya sudah sejak dulu kau menjadi sampah. Kehadiranmu tidak dianggap. Tidak dipedulikan. Kau seperti tidak ada gunanya eksis di dunia ini dalam pandangan manusia. Pernahkah kau berpikir tentang itu?”

“Benarkah?”

“Maka, kini saatnya kau menjadi sampah yang sesungguhnya.”

“Tapi aku belum siap.”

“Kau harus siap.”

“Apakah aku bisa menjadi sampah seperti yang kamu harapkan?”

“Pernahkah kau berpikir tentang bagaimana rasanya jika terlahir sebagai sampah? Maksudku, benar-benar sampah. Sampah plastik, kertas, botol, kaleng, daun atau sampah apapun. Pernahkah?” si botol bertanya, “Aku dulu juga seorang manusia, tapi aku menerima tugas ini. Tugas menjadi sampah. Tugas yang bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada manusia. Apakah kau pun akan menerimanya sekarang? Demi kebersihan di masa yang akan datang?”

“Jika demi kebersihan, aku siap menjadi sampah.”

Setelah itu, keajaiban pun terjadi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan