Hidup-Mati NU untuk NKRI

1,223 kali dibaca

Secara nominal, anggota Nahdlatul Ulama atau NU merupakan yang terbesar di Indonesia di antara organisasi-organisasi massa berbasis keagamaan. Bahkan, dari aspek organisasi kemasyarakan dan keagamaan, ia yang terbesar sedunia. Hampir satu abad ia menjadi garda depan perjuangan kemerdekaan dan kesatuan Negara Republik Indonesia dengan berpijak pada nilai-nilai Islam Nusantara dalam formula Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja).

Saat sekarang ia berada di ambang bahaya karena berhadapan dengan gerakan penghancuran basis pemahaman Aswaja yang selama ini dipegang teguh oleh warga NU. Eksesnya bukan hanya pada keliaran pemikiran dan tindakan yang ditimbulkan, namun juga pada retaknya kesatuan Republik Indonesia yang selama ini ia junjung tinggi.

Advertisements

Dalam pengantar buku Khazanah Azwaja (2016), KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa ancaman itu datang dari tiga arah. Pertama, dari dalam tubuh NU yang dimotori oleh para pemuda yang karena kebelet untuk menggerakan lokomotif pemikiran warga NU, nekat memakai langgam pemikiran liberal dengan meninggalkan pakem berpikir atau manhaji yang selama ini dipegang teguh ulama NU.

Kedua, gerakan transnasional yang atas nama Islam bersyahwat mengislamkan Indonesia dengan mengubah konstitusi, hukum, dan sistem pemerintahan menjadi khilafah. Ketiga, gerakan historisida yang dimotori kaum Wahabi. Gerakan ketiga ini juga mengatasnamakan Ahlussunah Waljamaah dengan ciri khas purifikasi ajaran Islam dari anasir kultural, historis, dan lokalitas.

Di depan tiga ancaman ini, banyak warga NU yang bingung, bahkan sebagian terseret. Maklum, setiap gerakan tersebut ditata secara sistemik dengan kucuran funding yang tidak sedikit. Rata-rata penyandang dananya dari luar negeri. Para penyebarnya juga sudah dididik secara matang dan menguasai medan dakwah. Ditambah lagi beragam aliansi media yang mereka miliki. Sebab itu, agar warga NU tidak mudah terpengaruh gerakan massif tersebut, sangat penting memberikan patokan jelas tentang manhaj Aswaja yang dipegang NU, yaitu moderat, toleran, reformatif, dinamis, dan metodologis.

Dalam sejarah, Aswaja yang dipegang NU memang tidak pernah melakukan tindakan ekstrem. Ia justru menjadi juru damai dari dua belah pihak ekstrem yang bertikai. Bagi Aswaja, pertikaian terjadi karena setiap kelompok terlalu memandang sisi baik kelompoknya sehingga lupa terhadap sisi kelemahannya, dan juga begitu buta melihat sisi positif kelompok lain karena terlalu fokus atau memang sengaja bernafsu mencari kesalahannya.

Aswaja tidak demikian. Akal sehat masih dipertahankan. Ini dicontohkan teolog Aswaja, Imam Asy’ari, ketika mendamaikan golongan Mu’tazilah yang cenderung rasionalis dan Ahlul Hadis yang gandrung tekstualis.

Preseden sikap moderat demikian tentu bukan karena dorongan politis atau mencari aman. Melainkan, didasarkan kepada sabda Rasulullah bahwa paling bagusnya sesuatu adalah yang moderat. Tidak kaku. Ali ibn Abi Thalib dengan tegas mengatakan, ”Ikutilah kelompok yang bersikap moderat yang dapat diikuti orang-orang di belakangnya dan menjadi rujukan bagi orang yang berlebihan alias ekstrem.”

Sangat penting pula mengajak warga NU untuk senantiasa memegang rumusan Aswaja yang dibingkai KH Hasyim Asy’ari, karena ia adalah satu-satunya cara menafsiri Islam yang sesuai dengan konteks keindonesian, tanpa menegasikan ruh ajaran Islam. Terkait dengan itu pula, warga NU harus paham dan merenungi sejarah NU dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, teks resolusi Jihad jilid satu dan dua, serta tidak lupa mendedahkan skeleton poilitik NU. Itu semua sebagai anasir historis untuk menebalkan rasa nasiolisme di tubuh NU.

Di Indonesia sekarang, selepas keran reformasi dibuka, beragam aliran, gerakan, partai dan golongan bermunculan. Di satu sisi, aura demokratis sangat terasa. Di sisi lain, beragam bentrokan sering bergolak antara berbagai pihak. Ini juga merisaukan. Selain masyarakat resah , negara juga terancam karena stabilitasnya semakin digerogoti.

Membayangkan Indonesia sebagai perahu besar, ia seperti berada di tengah samudera dengan badai yang menghantam. Alangkah sangat bijak jika setiap penumpang, apapun agama, aliran, dan etnisnya sama – sama menjaga diri, berbagi, dan bertoleransi tanpa tendensi menguasai perahu karena merasa paling berhak dan paling benar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan