Hermeneutika, Metode Alternatif Memahami Teks Qur’an (1)

878 kali dibaca

Ketika memaknai dan menafsirkan teks kitab suci dari agama-agama yang ada di dunia yang diwahyukan kepada para nabi, pasti menimbulkan pertanyaan. Misalnya, apakah bahasa yang digunakan dalam kitab suci tersebut adalah bahasa Tuhan atau perkataan Tuhan yang dibahasakan oleh nabi sesuai dengan bahasa daerahnya?

Faktanya adalah bahwa bahasa yang digunakan dalam kitab suci adalah bahasa manusia. Pertanyaan selanjutnya, di mana letak kesucian kitab suci itu? Apakah pada aspek bahasa, simbol, atau maknanya?

Advertisements

Sebagai catatan, setelah kitab suci masuk pada bahasa manusia, maka akan terjadi perbedaan pemaknaan dan penafsiran yang berimplikasi pada kebenaran yang bersifat relatif.

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bermaksud untuk meragukan eksistensi kebenaran kitab suci yang telah diyakini umat manusia selama berabad-abad sejak mengenal agama, tetapi untuk mengetahui posisi kitab suci ketika sudah masuk pada wilayah interpretasi dan pamaknaan manusia.

Fakta menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam kitab suci tidak lepas dari bahasa lokal tempat para nabi dilahirkan, seperti kitab suci Weda dalam agama Hindu dengan bahasa Sanskerta, Tripitaka dalam Budha dengan bahasa Pali, Zarathustra dalam Zoroaster dengan bahasa Persia, Taurat dalam Yahudi dengan bahasa Ibrani, Bibel dalam Kristen dengan bahasa Aramaik, Al-Quran dalam Islam dengan bahasa Arab, dan Granth Sahib dalam Sikh dengan bahasa Punjabi.

Mengenai posisi ini, sebagian ulama menilai bahwa kesuciannya lebih pada maknanya, bukan pada bahasanya. Dengan keterbatasan manusia, termasuk para nabi, dalam menangkap dan memahami grand idea dari kitab suci, menjadikan kebenarannya tidak lagi bersifat absolut, tetapi relatif. Hal itu dapat diketahui, Nabi Muhammad sendiri pernah berselisih paham dengan sahabat Umar bin Khattab tentang pelaksanaan perintah Al-Quran pada pembagian harta warisan dan tawanan perang.

Sebagai contoh, Sahabat Umar sendiri tidak mau melaksanakan perintah Al-Quran dalam pembagian harta rampasan perang dan cara memperlakukan tawanan perang. Sahabat Umar lebih memilih menggunakan rasionalitas berpikirnya untuk memutuskan hal tersebut dengan mempertimbangkan dan melihat kondisi masyarakat.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan