Hermeneutika, Metode Alternatif Memahami Teks Qur’an (1)

884 kali dibaca

Ketika memaknai dan menafsirkan teks kitab suci dari agama-agama yang ada di dunia yang diwahyukan kepada para nabi, pasti menimbulkan pertanyaan. Misalnya, apakah bahasa yang digunakan dalam kitab suci tersebut adalah bahasa Tuhan atau perkataan Tuhan yang dibahasakan oleh nabi sesuai dengan bahasa daerahnya?

Faktanya adalah bahwa bahasa yang digunakan dalam kitab suci adalah bahasa manusia. Pertanyaan selanjutnya, di mana letak kesucian kitab suci itu? Apakah pada aspek bahasa, simbol, atau maknanya?

Advertisements

Sebagai catatan, setelah kitab suci masuk pada bahasa manusia, maka akan terjadi perbedaan pemaknaan dan penafsiran yang berimplikasi pada kebenaran yang bersifat relatif.

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bermaksud untuk meragukan eksistensi kebenaran kitab suci yang telah diyakini umat manusia selama berabad-abad sejak mengenal agama, tetapi untuk mengetahui posisi kitab suci ketika sudah masuk pada wilayah interpretasi dan pamaknaan manusia.

Fakta menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam kitab suci tidak lepas dari bahasa lokal tempat para nabi dilahirkan, seperti kitab suci Weda dalam agama Hindu dengan bahasa Sanskerta, Tripitaka dalam Budha dengan bahasa Pali, Zarathustra dalam Zoroaster dengan bahasa Persia, Taurat dalam Yahudi dengan bahasa Ibrani, Bibel dalam Kristen dengan bahasa Aramaik, Al-Quran dalam Islam dengan bahasa Arab, dan Granth Sahib dalam Sikh dengan bahasa Punjabi.

Mengenai posisi ini, sebagian ulama menilai bahwa kesuciannya lebih pada maknanya, bukan pada bahasanya. Dengan keterbatasan manusia, termasuk para nabi, dalam menangkap dan memahami grand idea dari kitab suci, menjadikan kebenarannya tidak lagi bersifat absolut, tetapi relatif. Hal itu dapat diketahui, Nabi Muhammad sendiri pernah berselisih paham dengan sahabat Umar bin Khattab tentang pelaksanaan perintah Al-Quran pada pembagian harta warisan dan tawanan perang.

Sebagai contoh, Sahabat Umar sendiri tidak mau melaksanakan perintah Al-Quran dalam pembagian harta rampasan perang dan cara memperlakukan tawanan perang. Sahabat Umar lebih memilih menggunakan rasionalitas berpikirnya untuk memutuskan hal tersebut dengan mempertimbangkan dan melihat kondisi masyarakat.

Maka, berangkat dari kasus ini, tidak selamanya teks relevan dengan konteks atau kondisi sosial dan tidak harus diikuti perintahnya jika tidak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara luas.

Metode Hermeneutika

Untuk memahami kitab suci ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, teks itu sendiri. Kedua, konteks. Dan, ketiga, penafsir. Ketiga unsur tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain, sebaliknya saling berkaitan.

Teks lahir berdasarkan dialektika dengan konteks, dan kemudian coba dipahami oleh penafsir. Penafsir teks memegang peran yang sangat besar dalam memaknai teks, seperti yang dikatakan oleh Foucault sebagai the reader. Di sinilah manusia mempunyai otoritas dalam memahami dan menafsirkan, kemudian menerapkannya dalam kehidupan riil di masyarakat.

Ketika menafsirkan sebuah teks, maka subjektivitas tidak akan bisa lepas dari seorang penafsir, karena hal ini disebabkan oleh faktor sosio-kultural dalam membentuk pola pikir dan karakteristik seorang penafsir. Ketika seorang penafsir lahir di lingkungan budaya patriarki, maka sedikit tidak pola dan karakter tafsiran yang terkonstruksi akan banyak dipengaruhi oleh sosio-kultural patriarkis. Sebaliknya, ketika penafsir lahir dalam komunitas dan budaya matriarki maka, pola dan karakter tafsirannya akan banyak dipengaruhi oleh sosio-kultural matriarkis tersebut.

Dalam sejarah Islam, dominasi laki-laki jauh lebih kuat dibandingkan dengan perempuan, di mana mereka memiliki kontribusi besar dalam menafsirkan teks yang dibakukan dalam sebuah bentuk kitab. Namun, bagi sebagian orang, kitab hasil tafsiran ulama tersebut kemudian diklaim sebagai barang sakral yang tidak boleh dikritisi, bahkan diposisikan sebagai kitab suci ketiga agama Islam setelah Al-Quran dan hadis.

Melihat fenomena itu, Nasaruddin Umar misalnya mengatakan bahwa, pada umumnya literatur-literatur klasik Islam yang ditulis para ulama seperti kitab tafsir, fikih, akhlak, dan tauhid disusun dalam perspektif androsentris, di mana laki-laki menjadi ukuran segalanya. Padahal, literatur-literatur klasik ini kalau diukur dalam ukuran modern, banyak di antaranya dapat dinilai sangat bias gender. Untuk mengkaji kitab tersebut harus dengan rangkaian kesatuan yang koheren terutama antara penulis atau penafsir dengan latar belakang sosial-kulturalnya.

Untuk mengurangi bias gender dalam pemahaman atau penafsiran teks kitab suci, maka dibutuhkan sebuah metode yang tepat untuk memperoleh makna yang objektif. Bagi sebagian tokoh feminis, hermeneutik merupakan salah satu metode yang cukup representatif untuk mengungkap misteri simbolik di dalam teks, meskipun istilah hermeneutik sendiri tergolong baru dalam tradisi keilmuan Islam.

Syahdan, hermeneutik pada awalnya dikembangkan sebagai alat untuk menafsirkan Bibel, kemudian berkembang sebagai alat interpretasi bidang-bidang ilmu yang lain seperti sastra, budaya, sosiologi, filsafat, dan lainnya. Adapun, tokoh-tokoh yang mengembangkan metode hermeneutik adalah Friedrich Scleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-Gorge Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida.

Kalau ditelisik secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan dan dalam bahasa Inggris disebut hermeneutic. Dalam studi keislaman, padanan kata yang paling dekat dengan makna hermeneutik adalah tafsir, ta’wil, syarah, dan bayan.

Menurut Zygmunt Bauman, heremeneutik merupakan sebuah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kontradiktif, dan masih kabur. Sedangkan, Schleiermacher menjelaskan, hermeneutik merupakan sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma.

Berbeda dengan Schleiermacher, Recouer mengatakan bahwa hermeneutik sebagai interpretasi terhadap simbol-simbol dan sebuah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Apa yang diucapkan dan ditulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita hubungkan dengan konteks yang berbeda. Ricouer menyebut karakteristik ini dengan istilah “polisemi”, yaitu ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan di dalam konteks yang bersangkutan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan