“Hati Suhita” dan Oase Dunia Santri

8,933 kali dibaca

Sastra pesantren akhir-akhir ini sangat ngehit lantaran hadirnya beberapa novel berlatar belakang pesantren dan/atau santri. Sastra pesantren menjadi oase tersendiri di balik derasnya novel karya penulis yang jarang menggunakan latar/tempat pesantren, seperti karya Tere Liye, Andrea Hirata, Pidi Baiq, Dee Lestari, Boy Candra, dan sederet novelis lain. Sehingga, sastra pesantren tetap menjadi primadona para santri dalam mengisi waktu kosong sambari tetap melanjutkan aktivitas hafalan nadhom di pesantren.

Tak ayal, hadirnya novel dengan latar belakang pondok mampu menjadi bom yang siap meledak di pasaran. Terbukti, salah satu karya sastra berbentuk novel dengan latar belakang demikian menempati rating terbanyak dibaca di kalangan santri, seperti Novel Hati Suhita, karya Mbak Khilma Anis. Kondisi tersebut bertambah semarak lantaran sang penulis, Khilma Anis, mengadakan bedah buku di beberapa pesantren di Indonesia. Khilma Anis sendiri sejak kecil dibesarkan di lingkungan pesantren, yaitu Pondok Pesantren Annur,  Keselir, Wuluhan, Jember, Jawa Timur.

Advertisements

Hati Suhita merupakan salah satu karya sastra Ning Khilma Anis yang menarasikan perempuan dengan setting pesantren. Novel tersebut menggiring pembaca kepada kemegahan bangunan pesantren dengan menarik pembaca larut dalam hiruk-pikuk domestifikasi rumah tangga. Ia juga berkisah tentang bagaimana relasi pesantren dengan dunia luar yang dipotret secara apik melalui hadirnya aktifis perempuan, Rengganis. Novel ini lebih tepatnya membicarakan kekuatan cinta yang dilegitimasi takdir, relasi laki-laki dengan perempuan yang melatarbelakanginya, pesantren dengan transformasi pengembangannya, kepopuleran darah ningrat, ketampanan, kekayaan, dan mudahnya akses diperoleh laki-laki yang bernama Abu Raihan Al Biruni.

Pesan tersirat yang disampaikan Ning Khilma Anis di novel Hati Suhita adalah bagaimana seharusnya konsep cinta yang dirasakan Gus Birru dalam menjalani bahtera rumah tangga berjalan dengan penuh kasih. Cinta sangat memusuhi ambisi, melawan kekuasaan, dan tidak peduli dengan status apa pun yang melekat.

Fakta yang terjadi? Pernikahan yang dijalani Gus Birru dengan Alina Suhita kurang lebih 7 bulan lamanya tak mampu membuat hati Gus Birru luluh. Kesunyian, kesepian, dan kesedihan tanpa belaian kasih sayang suami dirasakan Alina Suhita ketika menjalani kehidupan rumah tangganya beserta mertua dengan tangisan serta kepiluan yang tidak bisa dibendung. Puncaknya, Alina Suhita menelan pil pahit berupa diguyang ono blumbang, dikosoki alang alang, disia-siakan dan diabaikan.

Di sisi lain, cinta segi tiga yang dikonstruksi oleh Khilma Anis mengirim pesan sangat jelas bahwa sekuat apa pun komitmen, jalinan asmara, dan janji atas nama cinta yang dijalani Gus Birru dengan Rengganis berakhir dengan sad ending. Apa sebab? Lagi-lagi, Rengganis bukanlah pengabsah wangsa seperti Wara Subrada, Ken Dedes, atau Dewi Mundingsari yang melegenda dalam sejarah kemanusiaan. Rengganis mungkin lupa bahwa Gus Birru adalah “anak sultan” dengan segala pernak pernik kekayaan, garis nasab yang prestisius, karier intelektual, pemahaman agama yang mumpuni, serta mempunyai pesantren besar. Itu semua adalah sederet hal yang tidak mungkin sembarang perempuan bisa memperolehnya. Hanya perempuan yang seimbang, minimal nasab mulia serta memiliki pesantren yang meluluhkan bangunan janji maupun komitmen yang sudah diikat sedemikian rupa. Perempuan itu adalah Alina Suhita.

Alina, dengan segala ketawadhu’an dan kesabaran yang mendarahdaging, hadir dengan citra seorang perempuan saleh versi Khilma Anis. Perempuan saleh tercermin dengan bagaimana Alina Suhita menjalin hubungan sangat intim dengan mertuanya, hafal al-Quran, dan sangat berbakti kepada suaminya, Gus Birru, meskipun sikap suami sangat cuek bahkan tidak menghiraukan segala tindak tanduk yang dilakukan. Alina Suhita paham betul kalau kepada suaminya harus bekti-sungkem, pasrah-ngalah, mbangun-turut, dan setya-tuhu. Usaha Alina Suhita dalam mencintai Gus Birru lambat laun pupus lantaran sikap cuek mendominasi alam pikirnya ditambah Gus Birru masih menjalnin hubungan yang tidak semestinya dengan perempuan lain yang sejak lama dicintainya, yaitu Rengganis.

Cintanya kepada Rengganis dibangun berdasarkan berbagai momen dan kegiatan pengembangan karier intelektualnya. Rengganis-lah satu-satunya perempuan yang mengantarkan Gus Birru meraih, merancang, dan membangun sebuah masa depan. Rengganis-lah yang mengajarinya tentang dunia pergerakan, rancangan program pemberdayaan pesantren, dan sederet aktivitas jurnalistik; bahkan mengenalkan dengan buku-buku filsafat dan gerakan revolusi dunia.

Sosok Rengganis dihadirkan sebagai perempuan yang aktif di berbagai bidang kemahasiswaan mulai aktivitas penerbitan, dunia wacana, teori, filsafat, dan hampir jarang bersinggungan dengan dunia pesantren. Pembawaannya yang sangat elegen dan tegas seperti terpotret di dalam isi novel:

Ah, Rengganis, tanpa dia tentu saja aku hanya diam di pesantren dan menikmati kemewahan dan kenyamanan sendiri. Tanpa dia, aku tidak mungkin bisa melakukan edukasi organisasi dan merebut pengaruh media seperti yang dikatakan Gramsci. Rengganis merupakan perempuan yang melampui zaman. Mungkin itulah yang membuat lidahku kelu setiap hendak memulai bicara dengan Alina, karena dunia kami jauh berbeda (hlm, 168).

Walhasil, ternyata takdir berkehendak lain. Tujuh bulan lamanya Gus Birru menyiksa dalam diamnya, di situlah kekuatan Alina muncul hingga mampu membawa reformasi pesantren al- Anwar secara bertahap. Alina Suhita tetaplah istri sahnya dengan segala hambatan-rintangan yang mengadang. Alina Suhita rela menerima dan bersaksi sepenuhnya atas amanah suami mengucapkan akad suci dunia akhirat. Secerdas apa pun Rengganis,sekuat apa pun Rengganis dan Gus Birru mempertahankan hubungannya, tetap saja Alina Suhita, putri Kiai Jabbar-lah, Pengabsah Wangsa putra mahkota Pesantren al Anwar. Wallahu a’lam.

Penulis                         : Khilma Anis

Judul                           : Hati Suhita

Penerbit                       : Telaga Aksara

Tebal                           : 405 halaman

Tahun terbit                 : Mei 2019

Multi-Page

Tinggalkan Balasan