Hasbi as-Shidiqi dan Fikih Mazhab Indonesia

967 kali dibaca

Secara umum konsepsi ikhwal pembahasan fikih masih mengacu kepada hukum Islam secara khusus. Referensi yang diacu dalam konsepsi ini seringkali hanya mengarah kepada hal-hal yang menyangkut kepada hukum-hukum Islam yang imperatif. Bahkan, di sisi yang lebih naïf tentunya, fikih seringkali dicampur-baurkan dengan syariat. Implikasinya, ia dianggap sakral sebagaimana syariat Islam sendiri.

Padahal, diakui atau tidak, fikih sendiri merupakan produk hukum manusia yang profan dan dibedakan sama sekali dengan syariat. Meski, keduanya masih berkelindan erat sepanjang perjalannya. Pembahasan ini hanya dimaksudkan bahwa fikih itu bisa berubah, lain halnya dengan syariat. Ia bukan monumen yang dimuseumkan dan selalu menjadi tontonan. Lebih dari itu, fikih sering dan terus-menerus dituntut selaras dengan zaman.

Advertisements

Di bagian selanjutnya, fikih juga masih menjadi respons atau jawaban atas zamannya sendiri. Artinya, ia bisa saja tidak sesuai dengan zaman yang lain sesudahnya. Makanya, ia selalu erat dengan kondisi dan realitas di mana sebetulnya kajian fikih itu berkembang. Ditambah lagi, orang yang merumuskannya (mujtahid) masih seringkali dikonstruksi oleh keadaan sekitar. Realitas sekitar akan mengkonstruksi akal mukawwan —meminjam bahasa Abid al-Jabiri—dalam diri manusia, atau mujtahid dalam arti yang lebih sempit.

Dengan demikian, apa yang dilahirkan dari seorang mujtahid masih terdapat selubung sosio-kultural di dalamnya. Selaras dengan itu Wael B Hallaq menyatakana ada semacam simbiosis mutualisme anatara produk hukum dan realitas di mana perumus hukum itu berdiri.[1] Hal ini juga masih menjadi corak mainstream yang dianut dalam khazanah intelektual umat Islam. Bahwa, yang menjadi arus utama yang dianut oleh paham muslim Indonesia masih fikih yang secara genealogis terdapat ketidaksesuaian dengan realitas Indoensia.

Fikih seringkali dianggap nilai yang universal dan cocok diterapkan di mana pun ia berpijak. Padahal, ia tidak selalu begitu. Ada sisi-sisi lain yang memang secara aksiomatik tidak selaras dengan sosio-kultural (negara Indonesia dalam konteks ini). Dari sini, kemudian lahir sebuah gagasan pemikiran sebagai usaha pembaruan.

Embrio dari fikih mazhab Indonesia muncul dari Hasbi as-Shidiqi yang hendak menjadikan fikih bukan barang asing. Dengan ungkapan yang lebih gampang, bahwa fikih dalam pandangnnya, ialah yang sesuai dengan kebutuhan pokok Indonesia. Dalam hal ini, ada masalah-masalah baru yang harus ditetapkan atau bahkan merekonstruksi rumusan yang telah ada karena ketidaksesuaian dengan keadaan. Bermula dari artikel “Memoedahkan Pengertian Islam” gagasan Hasbi as-Shidiqi ini pada mulanya tidak menemukan pijakan.

Waktu itu, di Indonesia diserang simtom pengkultusan dan hal ini berkembang sampai sekarang. Rumusan masalah dalam fikih masa lalu menjadi semacam acuan pokok dan tidak dapat diganggu gugat. Bisa dibaca pikiran ulama Indoensia saat itu yang masih sangat konservatif. Hal tersebut diperparah dengan klaim bahwa pintu ijtihad kemudian tertutup sama sekali.

Sekarang, isu perihal tertutupnya pintu ijtihad harus segara ditinggalkan . Mau tidak mau ada hal yang sangat urgen untuk kembali melakukan pembaruan dalam hukum Islam (fikih). Atau kalau tidak, wacana hukum Islam akan berhenti di titik itu saja dan tidak menemukan relevansinya. Pada akhirnya, ia akan pupus digerus oleh zaman. Gagasan Hasbi perihal fikih Indonesia, bertujuan membangun fikih dengan kepribadian Indonesia yang sangat kental.

Selama ini yang menjadi arus utama dan dianut banyak kalangan justru fikih impor dari luar Indonesia. Itulah mengapa ada banyak sisi permasalahan di Indonesia yang tidak bisa dijawab oleh fikih itu sendiri. Maka, fikih dengan corak dan kepribadian Indonesia menjadi sebuah tuntutan yang sangat serius dan perlu untuk diperhatikan. Dengan motif pemikiran Hasbi yang seperti ini, fikih di sini nantinya lebih akomodatif terdapat budaya dan adat setempat.

Pertimbangan ‘urf  dalam hal ini menjadi sesuatu yang niscaya dalam membentuk fikih berwajah Indonesia. Jika adat dan kebiasaan masyarakat Arab bisa menjadi sumber hukum, hal tersebut sama berlakunya dengan ‘urf dalam konteks keindonesiaan. Secara lebih khusus, fikih Indonesia dimsksudkan untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan pokok masyarakat kita. Patut dicatat, gagasan ini tidak terlepas sama sekali dari rumusan ulama terdahulu. Artinya, ada sisi-sisi yang masih diadopsi utamanya yang masih relevan dengan konteks Indonesia.

Pertimbangan kemaslahatan dalam wacana fikih Indonesia juga mempunya titik terangnya. Gagasan fikih Indonesia Hasbi lebih menekankan pada ijtihad kolektif dan kebersamaan yang mencakup banyak pakar agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Hakikatnya, fikih Indonesia ini berusaha semaksimal mungkin mengaktualkan tanpa harus meninggalkan rumusan ulama terdahulu. Namun, juga tidak sampai pada taraf mengkultuskan terhadap rumusan yang telah dihasilkan mereka. Demikian.

 [1] Askin Wijaya Ragam Jalan Memahami Islam(Yogyakarta: IRCiSoD, 2019) hal. 253-254.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan