Harapan Semu Mbah Setu

2,958 kali dibaca

Saat mentari hampir tenggelam di peraduan, senyum Mbah Setu terkembang menyertai putaran roda sepeda tuanya. Bulir-bulir keringat telah membasahi kaus lusuh yang ia kenakan. Jalan becek dan genangan air berkecipak karena tergencet ban sepeda pancalnya. Beberapa kali ban yang tak lagi bermotif itu selip dan bahkan nyaris membuatnya terjungkal. Tapi Mbah Setu tak hirau, terus menggenjot pedal yang berpacu dengan angin sore. Kawanan agas yang berseliweran di depan wajah pun tak mengganggu suasana hatinya, Mbah Setu terus melaju mengejar waktu.

Selawat tarhim mulai bersahutan dari corong-corong musala di beberapa sudut kampung yang ia lewati. Dan setiap teringat kata-kata Sukari waktu di ladang tadi, sudut hati Mbah Setu selalu berbunga-bunga. Tak hanya itu, sesekali bibirnya pun menyunggingkan secercah senyum. Sebuah harapan yang siang-malam mengeram dalam ruang kepalanya akan berubah menjadi nyata dalam hitungan beberapa hari ke depan. Kata-kata Sukari itu terus terngiang-ngiang di telinga, menyejukkan hati, meluruhkan segala letih yang mendera tubuhnya setelah seharian bekerja di ladang.

Advertisements

“Surlopo nge-bel aku tadi pagi, Mbah. Katanya mau pulang bulan Maulud ini. Sekarang bulan Sapar akhir nggeh, berarti beberapa hari lagi dia akan sampai rumah, Mbah,” ucap Sukari, memberi tahu ketika berjumpa dengan Mbah Setu di ladang tadi siang. Seketika dada Mbah Setu berdebar bahagia.

Di kampung pesisir itu tidak semua orang punya gawai. Adapun, tetangga Mbah Setu bernama Sukari itu punya seorang putra yang masih sekolah kelas sebelas di SMA Harapan. Pembelajaran daring yang akhir-akhir ini diterapkan oleh sekolah-sekolah mau tak mau membuat Sukari membeli gawai pintar untuk menunjang sekolah putranya. Seekor kambing bunting pun terjual di pasar untuk membeli gawai.

Kedua kaki Mbah Setu terus mengayuh pedal. Lelaki tua itu baru sampai rumah ketika kumandang adzan berakhir di musala berjarak lima rumah dari kediamannya. Ia lantas mengetuk pintu beriringkan salam. Mbah Nem menjawabnya dengan suara lirih. Perempuan yang dinikahi Mbah Setu hampir lima puluh tahun lalu itu telah sempurna mengenakan mukena. Dia duduk bertimpuh sambil memutar tasbih di atas sajadah lusuh berbau apek; menanti Mbah Setu datang untuk menjadi imam salatnya. Kakinya sering terasa linu untuk melangkah ke musala.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

2 Replies to “Harapan Semu Mbah Setu”

Tinggalkan Balasan