Haji Markotop

1,877 kali dibaca

Di depan rumahnya, Markotop merentangkan spanduk yang cukup besar dengan tulisan yang juga gede-gede: H. Markotop. Seakan ia ingin bilang pada semua orang, bahwa dirinya kini telah mendapat gelar haji. Dengan waktu penantian yang sangat lama, dan menghabiskan uang yang tak sedikit jumlahnya, akhirnya Markotop memang sampai juga ke tanah suci, dan dengan sendirinya pula ia mendapat gelar haji.

Namun, orang-orang kampung sepertinya tak mengindahkan perihal itu. Di kampungnya, gelar haji seolah tak punya arti. Markotop yang jauh-jauh pergi ke tanah suci, dan pulang dengan bangga hati, ternyata tak dapat sambutan apa pun dari orang-orang kampung. Dengan hati kecewa ia harus menelan ludah sendiri. Sebab, tak ada perayaan apa pun. Tak ada suara petasan atau irama rebana yang menyambut kepulangannya. Semua terasa lengang dan menyakitkan hati Markotop.

Advertisements

Markotop yang sudah naik haji itu kesal bukan alang kepalang. Ia tak terima, bila segala usaha dan perjuangannya untuk bisa pergi ke tanah suci, tak dipandang sekilas pun. Muka Markotop merah padam, urat-urat sarafnya mulai menegang. Namun, lagi-lagi ia tak punya sesuatu untuk pelampiasan. Ia tak bisa memarahi warga kampung, mengingat orang-orang kampung memang begitulah jalan pikirannya.

Meski begitu, Markotop tak mau apabila segala usaha dan perjuangannya berakhir sia-sia. Ia telah naik haji. Ia juga ingin dipanggil sebagai haji, Haji Markotop. Maka, berbagai cara ia lakukan demi sebuah harga diri, demi usahanya selama ini, dan demi gelar haji di depan namanya.

Akhirnya ia menemukan cara. Ia mengundang orang-orang kampung ke rumahnya, menjamu mereka. Setelah semua orang kampong berkumpul melingkar, Markotop mengutarakan niatannya itu:

“Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu,” kata Markotop mengawali pidato. “Seminggu yang lalu, saya pergi ke tanah suci, ke Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji.”

Beberapa orang yang hadir waktu itu saling bertukar pandang. Ada yang masih asik makan, dan ada pula yang hanya termangu bisu seolah mengerti. Mekkah bagi mereka —orang kampung lugu— adalah negeri antah-berantah. Mereka acap mendengar nama kota itu, namun, kerap pula mereka tak mempedulikan dunia khayal yang hanya ada di dalam tempurung kepala mereka.

“Pak,” seseorang mengangkat tangan tinggi-tinggi. Lelaki itu merasa berbangga hati disorot oleh berpasang-pasang mata. Maka, dengan penuh percaya diri, ia meneruskan kata-katanya. “Mekkah itu di mana, Pak?”

Tawa pun meledak. Beberapa orang kampung tertawa meledek ke arah orang yang bertanya itu. Tak sedikit pula orang mengatai orang yang bertanya itu dengan sebutan “Dasar bodoh!” atau “Gitu aja kok gak tahu.

Yang diledek dan ditertawai malah menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Ia sedikit malu, tapi tetap membanggakan diri. Markotop sendiri hanya memasang muka risi. Pertanyaan orang itu, dan tawa-tawa tidak jelas orang kampung, membuat darahnya semakin naik. Namun, sebagai seseorang yang telah mendapatkan gelar haji, ia mengelus-elus dada, meyakinkan diri untuk selalu sabar, sabar lagi, dan sabar.

“Kalian yang tertawa, tahu apa itu Mekkah?” tanya Markotop dengan nada lembut yang dibuat-buat.

Seketika tawa mereka terhenti. Suasana menjadi lengang sementara waktu. Orang-orang yang tertawa tadi menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum menyeringai. Kini, balik orang yang bertanya tadi tertawa terpingkal-pingkal. Ia senang, sebab bukan hanya ia yang tidak tahu pada Mekkah. Atau, ia tertawa hanya untuk membalas tawa-tawa mereka.

Setelah keriuhan itu reda, Markotop kembali meneruskan pidatonya, “Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu. Mekkah itu tanah suci, tak sembarang orang bisa ke sana. Sekali lagi, Mekkah itu tanah suci, dan saya baru saja dari sana. Dengan begitu, sekarang saya sudah menjadi seorang haji.”

Kembali mereka —orang-orang kampung lugu— bertukar pandang. Seperti sebelumnya, ada yang masih asik makan, dan ada pula yang termangu bisu seolah mengerti. Namun, kelengangan itu tak berlangsung lama. Sebab, tiba-tiba mereka berbondong-bondong menyalami Markotop, dan berucap, “Selamat, Pak. Selamat, Pak.”

Bahagia mekar di hati Markotop. Sebab, sebentar lagi orang-orang akan memanggilnya Haji Markotop! Ia akan berbangga-bangga dengan gelar itu. Ia adalah seorang haji, dan sudah sepantasnya di panggil Haji Markotop. Namun, lagi-lagi kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Setelah perjamuan di rumahnya itu, Markotop jalan-jalan santai keliling kampung. Selain ingin menikmati udara pagi, ia juga ingin menikmati gelar barunya sebagai seorang haji. Namun, ada yang mengusik telinganya. Orang-orang kampung memang menyapanya. Namun, masih terdengar di telinga kanannya, kata “Markotop” atau “Pak Markotop” masih melekat sebagai namanya. Ia kesal, sebab nama haji di depan namanya kembali lenyap begitu saja.

Markotop pulang dengan uring-uringan. Langkahnya tergesa-gesa, mukanya merah padam seperti singkong telat diangkat dari dalam tungku. Napasnya kembang kempis, dan dadanya remuk redam. Namun, ia adalah Markotop, tak pernah kehabisan cara agar bisa dipanggil haji. Haji Markotop.

Ia membuat spanduk yang cukup besar. Spanduk itu menempel jelas di tembok depan rumahnya. Selain itu, ia juga membuat poster-poster kecil, berisi wajahnya, dan tentu juga sebuah tulisan gede-gede: H. Markotop. Poster-poster itu tersebar di seantero kampung.

Dengan begitu, Markotop berharap tak ada yang lupa lagi dengan gelar di depan namanya. Dalam pikirannya, orang-orang kampung akan melihat poster dan spanduk itu, dan kemudian membacanya dan menyapanya dengan sebutan: Haji Markotop. Namun aneh, orang-orang kampung tetap saja memanggil namanya yang asli: “Markotop” atau “Pak Markotop”. Ia lupa, bahwa kebanyakan orang kampungnya buta aksara.

Ia sangat kesal, marah, dan kehabisan kesabaran. Markotop menyewa mobil pikap sebagai altenatif terakhir. Dengan mobil itu ia keliling kampung. Dengan pengeras suara, ia mulai orasi, “Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu tercinta, jangan panggil saya lagi dengan sebutan ‘Pak’. Tapi panggil saya dengan sebutan ‘Haji’. ‘Haji Markotop!’ Siapa…?”

“Haji Markotop!” serempak orang-orang menjawab.

“Sekali lagi. Siapa?”

“Haji Markotop!”

Namun, di tengah-tengah kerumunan orang kampung itu, masih ada satu orang yang menceletuk, “Kenapa kami harus memanggilmu Haji Markotop?!”

“Karena saya memang seorang haji. Saya orang-orang pilihan. Saya orang-orang terbaik. Dan kalian harus memanggil saya siapa?” tanya Markotop lebih menggebu-gebu lagi.

“Haji Markotop!”

“Sekali lagi. Siapa?”

“Haji Markotop!”

Dan sandang haji telah melekat pada nama Markotop sejak hari itu. Ia tak  memerlukan cara apa pun lagi agar di panggil “Haji Markotop”.  Sejak kejadian menghebohkan itu, Markotop telah mendapat gelar haji resmi dari orang-orang di kampungnya.

Markotop amat sangat senang. Tiap ia berjumpa dengan orang-orang kampung, maka, orang-orang kampung itu akan menyapanya dengan sebutan, “Assalamualaikum Haji Markotop”. Terlihat elok dan enak didengar di telinga. Haji Markotop, begitulah orang-orang kampung kini memanggil namanya.

Namun, dari waktu ke waktu, telinga Markotop atau Haji Markotop kembali terusik. Ia merasa terganggu dengan sebutan haji. Sebab —entah bagaimana hal itu bisa terjadi— orang-orang kampung memanggil dengan sebutan haji bukan hanya pada Markotop seorang. Mereka —orang kampung lugu— menyapa dengan sebutan haji kepada siapa pun. Seakan-akan, mereka semua berhak memiliki gelar itu.

Maka terciptalah banyak haji di kampung itu. Orang satu ke orang lainnya menyapa dengan sebutan “Haji”, begitu pun sebaliknya. Bagaimana bisa, pikir Markotop.  Haji-haji yang muncul di kampungnya, atau lebih tepatnya wabah haji itu, terus menyerang telinga Markotop. Sejak saat itu, seperti orang-orang kampung yang seenaknya memberi gelar pada nama sendiri, Markotop ingin menambahi namanya dengan gelar Kiai, sehingga keseluruhan namanya menjadi: K.H. Markotop.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan